Ustaz Wasino (kiri) bersama Ki Gw |
Menyambangi Ali dan Umi di Pucang, Bawang, Banjarnegara
sebenarnya tidak diagendakan. Ketika Ali menawarkan mampir, Suko tampak ragu.
Ia minta pendapat saya. Dapat dimaklumi, mengingat masih ada agenda sambang
Wasino di Tretep, Temanggung. Saya serahkan hak memutuskan itu kepada Suko.
“Manut,” jawab saya. “Saya kan senior, tidak kualat kalau menolak.”
Terlalu dalam Suko menafsirkan jawaban saya. Kalau senior tidak
kualat, sebagai junior Suko takut kualat. Ia mengiakan ajakan seniornya, Ali. Berhasil.
Motif tersembunyi saya menemukan prangko. Kesanggupan Suko untuk mampir ke
Pucang itu prangko untuk menyampaikan rindu saya pada sensasi keroyokan mi
rebus. Sebenarnya Suko punya alasan untuk menolak. Dulu ia pernah mampir ke
rumah Ali.
Pukul 2 siang kami berpamitan. Ali, Umi, dan Kayla (?)
mengantar sampai jalan raya. Begitu mobil berjalan, serangan kantuk mulai saya
rasakan. Dua faktor patut dicurigai sebagai penyebab: memang sangat kurang
tidur atau kecewa karena gagal bernostalgia dengan santapan favorit perantau muda di kota yang jauh dari sanak saudara. Sepanjang perjalanan dari
Banjarnegara sampai Wonosobo, saya sebentar melek sebentar tidur.
Setelah mobil berbelok ke jurusan Dieng, saya tidak boleh
tidur lagi. Pasalnya, Mas Sopir belum paham rute ke Tretep. Aplikasi peta navigasi
saya aktifkan. Sampai di simpang tiga Wonosobo-Dieng-Tambi, kami bimbang: lurus
ke arah Dieng atau belok kanan ke arah Wisata Alam Patean, Tambi. Waze
bilang lurus. Kami pun lurus.
Sebelum pasar Kejajar, kami diarahkan untuk berbelok ke
kanan. Saya baca tulisan yang terpampang di papan petunjuk arah: Gunung Prau.
Saya mantap. Sebelum berangkat dari Semarang, Suko sempat mengatakan, Tretep
itu terletak di bawah Gunung Prau. Saya tidak tahu, Gunung Prau itu di sebelah
mana. Yang saya ingat hanya nama pena seorang penyair Jawa: Cantrik Gunung
Prau. Mungkin saja penulis gurit “Piweling” itu tinggal di sekitar situ.
Medannya ekstrem. Sempit, naik turun, berkelok-kelok di
antara tebing dan jurang, pun di sana sini rusak parah. Beruntung, Suko membawa
pengemudi istimewa. Kelincahannya mengendalikan setir berpadu dengan
kepiawaiannya mengendalikan emosi. Tak tampak tanda-tanda mengeluhkan kondisi
jalan. Hanya sesekali mengungkapkan keraguannya: benarkah ini jalannya?
Ladang dan hutan mendominasi pemandangan sepanjang jalan. Di
daerah lembah juga ada sawah beberapa petak. Setiap kali terlihat permukiman
jauh di depan mata, seketika pula kami menjadi tenang: belum kesasar ke
planet lain. Namun, begitu sejauh mata memandang tidak tampak perkampungan,
hati kami kembali mengecil: benarkah kami akan menemukan rumah Wasino, mantan
bendahara kami itu?
“Anggap saja tamasya, ya, Mas,” kata saya sambil menoleh
kepada Mas Sopir yang tetap fokus pada kemudinya.
Akhirnya sampai juga kami di jalan yang lumayan mulus. Laju
mobil bisa sedikit dipacu. Namun sayang, ketika tengah enak-enak memacu
mobilnya, Mas Sopir terganggu oleh aba-aba saya, “Belok kiri, Mas.” Ia ragu.
Jalan ke kiri itu gang kecil. Pengerasannya memakai blok beton dua lajur. Saya
tunjukkan peta navigasi. Mas Sopir mengalah.
Kami memasuki permukiman. Jalan berganti paving block
(duh, tidak menemukan padanan kata paving di KBBI). Saya salah membaca
peta. Akibatnya, kami harus berputar kembali. Nahas. Mobil kami berpapasan
dengan mobil bak terbuka di gang yang sempit. Kami berhenti. Mobil barang,
lawan kami, mencoba menepi ke sisi kanan. Maju mundur berkali-kali hingga
akhirnya berhenti mepet bangunan. Mobil kami bergerak sangat pelan. Kreeekkk! Bodi
kiri mobil Suko tergaruk “kuku” seng di ujung pintu bak mobil lawan yang
menjorok ke luar. Lecet.
Suko boleh menggerutu. Saya siap disalahkan. Saya
tunggu-tunggu gerutunya, tak kunjung terucap. Padahal saya sudah menyiapkan
jawaban: tidak satu gores pun mobil terluka, kecuali sudah tertulis di
lauhulmahfuz. Lagi pula, Suko perlu belajar menjadi orang kaya. Bagi orang
kaya, mobil adalah alat transportasi, bukan koleksi barang antik. Mobil lecet
dan penyok akibat senggolan kendaraan lain tidak menurunkan harga diri
pemiliknya. Paling-paling, yang turun hanya nilai jual mobilnya. Orang kaya
tidak memikirkan nilai jual mobil bekas tunggangannya. Bila perlu, ia justru
mengupahi siapa pun yang mau membantu menyingkirkan mobil rombeng dari garasinya.
Saya makin khawatir. Rute yang dipilihkan waze itu tampaknya
sekadar jalur mobil bak terbuka pengangkut
hasil bumi. Jalannya membelah ladang tembakau, jambu biji, jeruk limau, dan aneka
tanaman pangan lainnya. Jalan makadam itu punya banyak lubang di sana sini. Ada
lubang yang lebar, ada yang dalam, dan ada yang lebar dan dalam.
Mas Sopir kembali menunjukkan kecakapannya. Dengan tenang ia
kemudikan mobil melintasi segala rintangan. Permukaan jalan yang tidak rata nyaris
tidak menimbulkan guncangan mobil sedikit pun. Roda-roda mobil tetap bergerak
halus ketika menuruni dan mendaki “kolam” dengan bebatuan berserakan. Tak pernah
terdengar bunyi gesekan sasis dengan batu-batu sebesar kepala yang menyembul
dari permukaan jalan.
“Kalau sampainya, sih, tetap sampai, Pak. Nggak
mungkin tersesat. Cuma, map itu memang kadang nggak peduli
kondisi jalan,” kata Mas Sopir, seperti bermaksud menenangkan saya.
“Mungkin sekadar cari rute terpendek, begitu, ya, Mas?” tanya
saya, menebak.
“Iya. Yang penting mobil bisa masuk,” sahutnya. “Bisa juga
setelannya salah. Map-nya disetel motor, padahal untuk mobil,” imbuhnya.
Kena, deh! Yang muncul di layar waze memang
gambar sepeda motor. Saya tidak tahu kalau jenis kendaraan yang dipakai bisa diatur.
Pun saya tidak tahu apakah saya pernah memilih sepeda motor sebagai setelan di
navigator digital yang saya pakai itu. Memang baru sekali itu saya memakainya
untuk memandu mobil. Sebelum-sebelumnya selalu WinAir100 yang menjadi
kliennya.
Setelah hampir setengah jam menikmati perjalanan selambat
bekicot, akhirnya sampai juga kami di jalan aspal. Kami yakin, itu terusan
jalan yang kami lalui sebelum belok kiri ke jalan blok beton tadi. Jalannya
sempit, menanjak, dan berkelok-kelok, tapi lumayan mulus.
“Puskesmas Tretep” tertulis di papan nama, di kanan jalan.
Lega. Nama instansi pemerintah yang berfungsi sebagai layanan kesehatan itu
tercantum di peta lokasi yang dikirimkan oleh Wasino. Berarti, rumah Wasino
sudah dekat. Beberapa meter kemudian, kami sampai di pertigaan. KECAMATAN
TRETEP. Tulisan yang tersusun dari huruf-huruf raksasa itu membentang di pagar pekarangan
yang menghadap ke arah kedatangan kami. Saya tidak memperhatikan, di pekarangan
itu terdapat bangunan atau tidak.
Kami mengambil jalur yang belok ke kiri. Sesampai di samping
masjid, ada aba-aba dari HP saya bahwa kami sudah sampai di tempat tujuan.
Aplikasi peta navigasi saya tutup. Ponsel beralih ke fungsi utamanya. Saya hubungi
nomor Wasino. Tidak diangkat. Saya telepon lagi. Masih belum diangkat. Saya
ulang telepon lagi. Tetap tidak diangkat.
Saya harus mencari narasumber di sekitar lokasi. Tidak ada
orang melintas di jalan atau beraktivitas di luar rumah. Akhirnya muncul
seorang ibu-ibu berjalan cepat ke arah kami. Ups, dia keburu berbelok
masuk ke sebuah rumah beberapa meter sebelum sampai di tempat kami berdiri.
Saya kejar. Dia sudah bablas ke bagian belakang bangunan. Untung, saya
masih mendapati seorang laki-laki dewasa sedang bekerja di rumah yang seperti difungsikan
untuk bengkel itu. Dari beliau, saya memperoleh petunjuk arah menuju rumah
Wasino.
Sampai. Maksudnya, kami sampai di lokasi yang ditunjuk informan
yang saya tanyai tadi. Belum jelas, yang mana rumah Wasino. Dua orang merajang
daun tembakau di dalam rumah. Di belakangnya ada mobil, di dalam rumah yang
sama. Ketika kami tanyakan rumah yang kami cari, keduanya menunjuk rumah di
sebelah kanannya.
Kami bergeser ke rumah sebelahnya itu, masuk ke terasnya. Salam
kami tidak menemukan jawaban. Sepi. Beberapa saat kemudian, barulah orang yang
kami cari itu keluar. Necis.
“Eee ... Teguh,” teriaknya, girang.
“Oalaaah ... tadi lagi mandi ternyata,” sahut saya sambil
bersalaman.
Wasino anak desa. Namanya sudah mengindikasikan asal-usulnya
itu. Wajar kalau ia masih memegang teguh adab menyambut tamu: mandi bersih, berdandan
rapi, plus gupuh.
Rumah Wasino yang di Butuh, Purworejo, dulu sangat desa.
Jalannya tanah bercampur pasir. Rumah kampung yang sederhana itu menghadap ke
hamparan sawah datar nan luas. Suasananya sangat tenang—saya tidak rela kalau tenang
itu diganti sepi. Kehidupan masyarakatnya terasa tenteram—bukan tintrim.
Wasino diasuh oleh alam dan kultur eksotis yang tenang,
damai, dan tenteram itu. Ia berhasil mempertahankan identitasnya itu sampai
ketika menjadi remaja yang sehari-hari terpapar budaya perkotaan. Bisa dibilang
primitif untuk ukuran remaja terpelajar yang berhasil memenangi perebutan kursi
kuliah di kampus pelat merah di ibu kota provinsi. Dalam beberapa situasi,
perilakunya naif. Sekadar untuk menyeberang jalan raya, misalnya, ia rela
membayar ongkos naik becak.
Baluran tanah dan celupan air desa kelahirannya sedemikian
kuat membentuk pola sekaligus mewarnai kepribadian Wasino. Guyuran budaya urban
yang tak jarang bercampur badai budaya manca tak sanggup mengaburkan pola dan
melunturkan warna kepribadian ruralnya. Frustrasi akibat gagal memodifikasi desain
kepribadian orisinal itu barangkali yang membuat kota enggan menerima Wasino
sebagai penduduknya. Lepas sarjana, ia dilempar kembali ke desa yang lebih ndesa
daripada kampung halamannya.
Wasino menerima takdir-Nya untuk menjadi guru PNS di
Kecamatan Tretep, Kabupaten Temanggung. Itu dusun di atas awan yang—menurut peta
demografi abad ke-11 SM—hanya dihuni oleh para dewa bersama kawanan jatayu, burung
tunggangan makhluk indraloka. Pembaca tidak perlu mencari literatur arkeologi
prasejarah untuk menguji kesahihan informasi ini. Menurut kabar yang belum
pernah diwartakan, satu-satunya literatur yang memuat informasi gaib yang
merujuk pada suhuf Al-`Awuriyyah ini adalah tulisan ini sendiri.
Rupanya, Tretep dan Wasino ditakdirkan menjadi pasangan albumen
(putih telur) dan yolk (kuning telur). Tretep berperan merawat
orisinalitas Wasino dan menumbuhkan tunas-tunas penerusnya. Wasino bertugas membudidayakan
Tretep agar menjadi pesemaian tunas-tunas itu. Demi mewujudkan desain
sinergisme alam dan manusia itu, didaulatlah seorang gadis Tretep menjadi
cangkangnya.
Dari rahim gadis pribumi Tretep yang kelak menjadi Nyonya
Wasino (atau, lebih pas Jeng Wasino?) itu, lahir dua perjaka (ketika lahir
dulu: bayi). Yang sulung baru saja memboyong gelar sarjana di bidang bisnis dan
logistik dari sebuah universitas di Negeri Tirai Bambu. Sementara, bungsunya
masih duduk di kelas 6 MI. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, kata pepatah
Melayu. Kacang mangsa ninggala lanjaran, kata bebasan Jawa. Kedua-duanya
mewarisi karakter tipikal ayahnya: bersahaja.
***
Di balik kesahajaan yang melekat pada sikap hidupnya, Wasino
menyimpan azam yang tidak sederhana. Tertantang oleh gagasan adik iparnya, ia
merintis pondok pesantren. Tiga petak tanah pekarangan—tidak jauh dari rumahnya—dibelinya. Yang satu, berdiri
bangunan rumah tinggal di atasnya. Ini yang sekarang menjadi tempat tinggal dan
ruang belajar untuk 12 santri. Yang satunya beserta bangunan gudang. Satu unit
lagi, tanah kosong. Entah, berapa dan dari mana lembaran-lembaran rupiah yang
kini menjelma tanah dan bangunan aset yayasan itu.
Tidak tanggung-tanggung. Jauh sebelum pondok beroperasi, yayasan yang menaunginya sudah mendapatkan pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM pada 2015. Yayasan Al-Muflihun Temanggung, namanya—seperti tampak di foto. Untuk merancang model pendidikannya, Yayasan tak sungkan menimba pengalaman dari Pondok Modern Tazakka, yang berdiri di atas tanah seluas lebih kurang 13 hektare di Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang.
Adalah Ustaz Wahyudi, adik Jeng Wasino, pengasuh utama Pondok Pesantren Modern Al-Muflihun di Desa Tretep, Kecamatan Tretep, Kabupaten Temanggung itu. Belum genap seumur jagung ia pulang ke Tretep. Sebelumnya, pria kalem bernama lengkap Wahyudi Sarju Abdurrahim itu tinggal di Mesir selama 26 tahun.
Selepas dari Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (1996), ia menimba ilmu di Ma`had Bu`uts Al-Azhar Kairo dan lulus pada 2001. Setamat S-1 Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar Kairo, Ustaz Wahyudi melanjutkan S-2 di Ma`had `Ali Lidirasah Islamiyah Kairo (lulus 2011). Masih tinggal di Kairo, Ustaz Wahyudi juga sempat menyelesaikan studi S-2 Manajemen Ekonomi Syariah, Universitas Sebelas Maret Surakarta (2013-2014). Sekarang ia sedang proses merampungkan S-3 di Jurusan Ekonomi Islam, American Open University Cairo, Egypt.
Selain menimba ilmu untuk kemudian dibagi kembali, di negeri Ummu ad-Dunya ia juga aktif di sejumlah organisasi. Salah satunya, ia dipercaya sebagai Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Kairo.
Sebelum kembali ke Tanah Air, ia curhat kepada suami
kakaknya, “Masa, ketika pulang nanti saya hanya menjadi dosen, Mas?” Kalimat itulah pemantik
azam Wasino untuk merintis pondok pesantren di “negeri awan” yang telah
mempertemukan dirinya dengan pendamping hidupnya. Pondok Pesantren Modern
Al-Muflihun adalah benih peradaban. Disemai di tengah kesejukan alam dan budaya
Tretep, insyaallah, kelak bunganya siap mengharumkan peradaban bumi pertiwi dan
buahnya menyegarkan peradaban bumi tanpa bertepi.
Ada yang tidak tahan menunda hasrat untuk turut berkontribusi?
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar