N = nama komponen; F = fungsi komponen; R = risiko bila komponen tidak ada |
Dalam tiga bulan terakhir, saya empat kali ditanggap untuk mementaskan cerita yang sama. Yang menanggap juga sama. Tempat pentasnya pun sama. Hanya penontonnya yang berganti pada setiap pentas.
Karena ceritanya sama, empat pementasan itu juga menampilkan
lakon yang sama: sepeda. Pada tiga kali pentas yang pertama, saya menampilkan
20 model sepeda unik. Ada sepeda konferensi dan sepeda pesta, yang dikendarai
dan dikayuh beramai-ramai. Ada sepeda terbalik, yang berbelok ke kiri ketika
setang diputar ke kanan dan sebaliknya. Ada sepeda burung pemangsa, yang dikendarai
dengan posisi telungkup. Ada sepeda juggernow, yang roda depan dan
setangnya ganda.
Penasaran? Ah, lihatlah sendiri di sini https://www.youtube.com/watch?v=0LS41SiVEs4&t=312s.
Yang tiga kali saya tampilkan itu pun hanya video di kanal YouTube Ilmuwan
Top itu.
Setelah menyaksikan pentas 20 sepeda unik hasil kreativitas
gila itu, para penonton saya minta bekerja secara berkelompok. Tiga sampai
empat anggota per kelompok. Kepada mereka saya ajukan tiga pertanyaan: (1)
apakah sepeda bisa disebut sebagai organisasi; (2) yang mana, di antara 20
model sepeda tadi, yang menurut mereka adalah model terbaik; dan (3) dari cara
kerja sepeda, pelajaran apa yang dapat kita tarik ke tata kerja organisasi.
Pertanyaan pertama dan kedua saya pakai sebagai penggembira
saja. Saya tidak peduli apakah jawaban mereka masuk atau keluar akal. Untuk
pertanyaan pertama, misalnya, semua kelompok menjawab ya. Saya tidak mengejar
dengan pertanyaan apakah sebutan organisasi bisa disematkan kepada makhluk tak
hidup. Yang penting, mereka punya alasan logis untuk menjawab ya.
Jawaban untuk pertanyaan kedua berbeda-beda. Alasan untuk
memilih model sepeda terbaik versi kelompok masing-masing pun cukup seru. Lalu
mereka terkekeh ketika saya kejar dengan pertanyaan ini: “Kalian sudah punya
dana yang cukup untuk memiliki sepeda seperti itu?” Rupanya mereka sadar, mungkin
satu-satunya model sepeda yang terbaik untuk mereka adalah sepeda terbalik itu.
Anehnya, model sepeda gila itu tidak pernah berhasil mengundang minat penonton
pentas saya.
Adalah jawaban atas pertanyaan ketiga yang saya simak secara
serius. Dan ... membahagiakan! Semua kelompok menguraikan jawaban secara
mendetail dan komplet. Tiap-tiap onderdil dijelaskan fungsinya. Hubungan
antarbagian dirunut secara runtut. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan pun mereka
jawab dengan tangkas.
Pada pentas keempat, saya mengubah alur cerita. Para
penonton—hanya lima orang—tidak saya suguhi 20 model sepeda unik. Mereka
langsung bekerja. Lima orang menjadi satu tim. Mereka saya minta menggambar
sepeda. Terserah, menggambar sepeda itu dipercayakan kepada salah seorang atau
dikerjakan secara bergantian, saling melengkapi. Dikerjakan bersama-sama dalam
waktu bersamaan juga boleh.
Setelah gambar sepeda jadi, setiap anggota memilih satu
bagian sepeda. Masing-masing menyebut nama bagian sepeda yang dipilih,
menjelaskan fungsinya, dan memprediksi apa risikonya jika bagian tersebut tidak
ada. Pekerjaan mereka saya abadikan dalam gambar di atas.
***
Sebenarnya sepeda itu bukan lakon yang dipesan untuk saya
pentaskan ceritanya. Kepada audiens itu saya didaulat untuk memaparkan struktur
organisasi dan tata kerja (SOTK) sebuah lembaga. Anak-anak muda itu baru saja
diterima sebagai warga institusi tersebut. Durasi yang dijadwalkan 90 menit.
Menurut hitungan saya, tidak menghabiskan 10 menit untuk menuntaskan lakon inti
itu. Demi menepati jadwal, sepeda saya bon untuk tampil sebagai partai
tambahan. Mungkin para penonton sempat membatin, “Seperti menonton tinju era
Mike Tyson. Partai tambahannya beronde-ronde. Tiba giliran partai utama, usai
dalam satu atau dua ronde saja.”
Kenapa sepeda? Alat transportasi tradisional zero emission
itu satu-satunya kendaraan yang saya pahami tata kerjanya. Saya sempat akrab dengan
sepeda. Selama tujuh tahun, hampir setiap hari saya mengendarainya. Kalau ada
gangguan atau kerusakan pada tunggangan saya itu, saya sering memperbaikinya
sendiri. Pada masa itu, hanya hujan yang turun pagi hari yang biasa menceraikan
saya dari sepeda.
Beruntung, dalam empat kali pentas, saya selalu bertemu penonton
yang kooperatif. Mereka begitu antusias merespons umpan yang saya lempar. Lewat
lakon sepeda, mereka membangun alur cerita yang secara apik mendeskripsikan bagaimana
semestinya sebuah institusi punya SOTK. Berikut ini narasi mereka.
Pengendara sepeda harus menetapkan tujuan: ke mana dia
hendak pergi. Dia mesti mengenal dan memahami medan yang hendak ditempuh selama
perjalanan ke tempat yang dituju. Dia harus memastikan model sepeda yang dikendarai
cocok untuk menempuh medan perjalanan. Dia mesti tahu fungsi setiap komponen sepedanya,
tata hubungan antarkomponen, kerusakan-kerusakan yang dapat mengganggu fungsi
sepeda dan ritme perjalanannya, dan cara mengatasi gangguan-gangguan itu.
Pengendara harus mengerti bahwa, untuk menjalankan
sepedanya, tidak banyak yang perlu dilakukannya. Sepasang tangannya cukup
memegang kedua gagang setang. Kedua kakinya cukup menapak di sepasang pedal—untuk
aktif mengayuh atau sekadar berpijak pasif. Sepasang matanya cukup mengamati kondisi
jalan yang hendak dilintasi sambil memantau situasi di sekitarnya. Kedua
telinganya cukup mendeteksi bunyi yang dihasilkan pergerakan sepedanya dan mewaspadai
suara-suara di sekitarnya. Tidak kalah penting, dia harus peka merasakan laju,
arah, dan kenyamanan sepeda yang dikendarainya.
Ketika berkendara, tidak perlu tangannya bergerayangan memutar-mutar
roda agar sepedanya melaju kencang. Tidak perlu dia menaruh ganjal di depan
roda supaya sepedanya berhenti. Tidak perlu dia berhenti, turun, lalu
mengangkat sepedanya untuk mengikuti jalan yang berbelok ke kanan atau ke kiri.
Tidak perlu dia buru-buru mengganti satu set gir dan rantai ketika tarikannya
terasa berat. Adalah konyol kalau setiap menjumpai jalan menanjak dia menyewa
buldoser untuk mengeruknya atau mendatangkan dump truck untuk menguruk setiap
jalan menurun.
Untuk memutar roda-roda sepedanya, pengendara cukup
mengayuh pedal dengan kedua kakinya. Pastikan pedal kanan dan kiri terpasang pada
gir depan dengan posisi membentuk garis lurus. Pastikan gir depan dan gir
belakang terangkai dengan rantai yang ukurannya sesuai. Pastikan gir belakang lancar
berputar mengikuti tarikan rantai sekaligus menggerakkan roda belakang. Pastikan
suku-suku cadang berfungsi lalu beri mereka kepercayaan untuk menjalankan
fungsinya masing-masing.
Seperti komponen-komponen sepeda itulah organ-organ yang
ada di organisasi. Setiap organ punya tugas, fungsi, tanggung jawab, dan
wewenang masing-masing. Tumpang tindih fungsi dan penyimpangan peran akan
mengacaukan kinerja. Antara komponen yang satu dan komponen yang lain
terangkai hubungan kerja yang saling menopang. Kerusakan satu komponen akan mengganggu
alur pekerjaan.
Yang tidak boleh dilupakan, organisasi membutuhkan
komponen pengaman rangkaian dan pelancar gerakan. Mur dan baut memegang peranan
penting dalam mengamankan rakitan dan rangkaian komponen-komponen sepeda. Gotri
dan oli berperan signifikan dalam menjaga kelancaran gerak komponen-komponen
yang bersumbu. Udara dan pentil (bunyi vokalnya seperti pada kata tensi, bukan keris) berkontribusi
besar dalam menghadirkan kenyamanan bersepeda.
Sedemikian fasih para penonton pentas saya menerjemahkan sepeda sebagai analogi organisasi. Sejak langkah pertama ketika beranjak meninggalkan mereka, saya dihantui kesangsian. Akankah anak-anak muda itu menjumpai pengejawantahan sepeda di lembaga yang mulai hari itu menjadi tempat pengabdian mereka?
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar