21 Mar 2022

Surat Terbuka untuk Dirjen GTK

Kamis, 10 Maret 2022, iseng-iseng saya membuka akun SIMPKB (sistem informasi manajemen pengembangan keprofesian berkelanjutan), yang dikelola Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Saya buka menu program, salah satunya: Studi Lanjut Guru - Bantuan Pemerintah. 

Saya pilih dan ikuti langkah-langkahnya. Sampai di kotak dialog “Apa ada rencana untuk melanjutkan pendidikan tingkat lanjut?” saya pilih opsi “Tidak”. Berikutnya, saya diminta “Mohon disampaikan alasan beserta saran dan masukannya kepada KEMENDIKBUD”. 

Dengan antusias saya mengetik di kotak balasan. Selesai mengetik, saya klik tombol “KIRIM SARAN”. Hasilnya, muncul jawaban: “Isian Survei Anda gagal disimpan. 406566: Waktu Pengisian Survei telah berakhir.”

Agar tidak menjadi bisul bernanah, saya salin saja isian survei tersebut di sini sebagai surat terbuka untuk Direktur Jenderal GTK.

Trauma

Saya belum menemukan perguruan tinggi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (PT LPTK) yang serius menyiapkan guru. Saya lulusan terbaik dari SPGN Wonogiri (1989), mendapat undangan masuk IKIP Semarang tanpa seleksi, dan diterima di program studi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris.

Ketika penulisan skripsi saya mencapai Bab III, saya mengajukan proposal kepada Rektor untuk mengganti kewajiban menulis skripsi dengan magang dua tahun di sekolah-sekolah yang berbeda-beda jenjang, jenis, dan lingkungan sosial-budayanya. Proposal saya itu bertolak dari kekecewaan atas program magang (PPL) yang hanya berlangsung selama enam minggu di satu sekolah. Pengalaman magang di tiap-tiap sekolah akan saya tulis sebagai laporan studi kasus (sekarang barangkali semacam PTK dan PTS) sebagai refleksi. Pengalaman praktik magang dan refleksinya itu saya pandang jauh lebih bermakna dan berdampak daripada skripsi, yang sering tidak relevan dengan tugas dan fungsi nyata guru.

Rektor menolak proposal saya dan justru menawarkan dua opsi untuk persyaratan lulus: menulis tugas akhir atau turun jenjang ke D3. Karena tawaran tersebut tidak relevan dengan substansi proposal saya, akhirnya saya memutuskan untuk mengakhiri masa studi saya tanpa status apa pun. Saya rela tidak lulus sarjana pendidikan sekalipun sepanjang delapan semester berturut-turut meraih IP tertinggi dan satu-satunya peraih IP > 3,00 di kelas saya serta memegang piagam mahasiswa berprestasi.

Darurat Kurikulum LPTK

Porsi rumpun mata kuliah psikologi dan pedagogi di PT LPTK jauh dari derajat memadai. Rumpun mata kuliah psikologi dan pedagogi semestinya diberikan secara komprehensif: studi literatur dan studi lapangan. Peserta didik selevel mahasiswa pasti sudah mampu membaca sendiri literatur-literatur akademik. Tidak perlu dosen menghabiskan jam-jam kuliah dengan berceramah yang isinya sama dengan yang tertulis di diktat. Cukup ditugaskan kepada mahasiswa untuk membaca literatur lalu mengamati perilaku di lapangan, membuat laporan hasil pengamatan, dan diakhiri dengan konferensi kasus. Di situ terjadi dialog antara teori dan praktik sehingga pemahaman mahasiswa menjadi kaya.

Jam praktik magang di sekolah (PLP, PPL, atau apa pun sebutan programnya) jauh dari cukup. Program magang di sekolah latihan (mengajar, melatih, dan membimbing siswa; mengelola organisasi pendidikan) diperbanyak, jumlah jam dan variasi karakteristik sekolahnya. Mahasiswa tidak tahu, setelah lulus kelak menjadi guru di sekolah apa dan daerah mana. Perbedaan jenjang dan jenis sekolah, lingkungan geografis, lingkungan sosial-ekonomi-budaya berpengaruh terhadap perbedaan karakteristik sekolah. Mahasiswa calon guru perlu dibekali pengalaman dari beragam karakteristik tersebut. Adaptasi terhadap beragam situasi dan kondisi riil itu jauh lebih sulit dibandingkan adaptasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pada disiplin ilmu di lingkup program studinya. Maka, jam praktik di sekolah selayaknya mendapat porsi lebih besar daripada jam kuliah di kampus. Prof. Pasi Sahlberg mengatakan, “Teaching is a difficult job; it takes 10.000 hours of experience to become a great teacher.”

Pembangunan karakter (kompetensi kepribadian) guru terabaikan. Kampus LPTK mesti berperan sebagai lahan pesemaian dan penumbuhan karakter (calon) guru. Selamanya guru adalah model bagi murid. Pembangunan karakter dan pengembangan kepribadian guru tidak mungkin diharapkan terjadi dengan sendirinya tanpa ekosistem yang baik selama mereka menempuh pendidikan di LPTK.

Resolusi

Pertama, cabut Peraturan Menteri Ristekdikti Nomor 55 Tahun 2017 (catatan pemutakhiran: Permendikbudristek Nomor 56 Tahun 2022) tentang Standar Pendidikan Guru! Permen tersebut justru mengaburkan makna guru sebagai profesi. Jika Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) terbuka juga bagi lulusan selain Program Sarjana Pendidikan (S.Pd.), untuk apa ada Program Sarjana Pendidikan? Pernahkah terjadi dalam sejarah, program pendidikan profesi dokter terbuka bagi selain sarjana kedokteran? Adakah sarjana ilmu komputer di kelas kuliah program pendidikan profesi arsitek? Saya justru mengusulkan perubahan ekstrem, mengadopsi sistem pendidikan dokter: pendidikan guru umum dulu, baru kemudian pendidikan guru spesialis mata pelajaran. Pendidikan guru PAUD, diksus, dan vokasi barangkali bisa dikecualikan; sejak awal sudah pendidikan guru spesialis.

Kedua, integrasikan tanggung jawab dan wewenang pendidikan calon guru dan pembinaan guru dalam jabatan. Sebagai produsen, sudah sewajarnya LPTK bertanggung jawab menjaga dan memelihara kualitas produknya: guru. Penyatuan tanggung jawab dan wewenang ini akan berbuah efisiensi dan efektivitas dalam mengembangkan profesionalisme guru. Pengawas (dengan catatan: benar-benar berperan sebagai superintendent) cukup membuat klaim malapraktik guru binaannya, lalu merujuknya ke LPTK untuk memberikan terapi atau treatment.

Sekian, mohon maaf dan terima kasih.


(Tulisan ini diadaptasi dari artikel dengan judul dan penulis sama, yang sudah tayang sebelumnya di Kompasiana.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer