Kamis, 10 Maret 2022, iseng-iseng saya membuka akun SIMPKB (sistem informasi manajemen pengembangan keprofesian berkelanjutan), yang dikelola Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Saya buka menu program, salah satunya: Studi Lanjut Guru - Bantuan Pemerintah.
Saya pilih dan ikuti langkah-langkahnya. Sampai di kotak
dialog “Apa ada rencana untuk melanjutkan pendidikan tingkat lanjut?” saya
pilih opsi “Tidak”. Berikutnya, saya diminta “Mohon disampaikan alasan beserta
saran dan masukannya kepada KEMENDIKBUD”.
Dengan antusias saya mengetik di kotak balasan. Selesai
mengetik, saya klik tombol “KIRIM SARAN”. Hasilnya, muncul jawaban: “Isian
Survei Anda gagal disimpan. 406566: Waktu Pengisian Survei telah berakhir.”
Agar tidak menjadi bisul bernanah, saya salin saja isian
survei tersebut di sini sebagai surat terbuka untuk Direktur Jenderal GTK.
A. Alasan saya enggan melanjutkan studi: trauma
Saya belum menemukan perguruan
tinggi LPTK yang serius menyiapkan guru. Saya lulusan terbaik dari SPGN
Wonogiri (1989), mendapat undangan masuk IKIP Semarang tanpa seleksi, dan
diterima di program studi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris.
Ketika penulisan skripsi saya
mencapai Bab III, saya mengajukan proposal kepada Rektor untuk mengganti
kewajiban menulis skripsi dengan magang dua tahun di sekolah-sekolah yang
berbeda-beda jenjang, jenis, dan lingkungan sosial-budayanya. Proposal saya itu
bertolak dari kekecewaan atas program magang (PPL) yang hanya berlangsung
selama enam minggu di satu sekolah. Pengalaman magang di tiap-tiap sekolah akan
saya tulis sebagai laporan studi kasus (sekarang barangkali semacam PTK dan
PTS) sebagai refleksi. Pengalaman praktik magang dan refleksinya itu saya
pandang jauh lebih bermakna dan berdampak daripada skripsi, yang sering tidak
relevan dengan tugas dan fungsi nyata guru.
Rektor menolak proposal saya dan
justru menawarkan dua opsi untuk persyaratan lulus: menulis tugas akhir atau
turun jenjang ke D3. Karena tawaran tersebut tidak relevan dengan substansi
proposal saya, akhirnya saya memutuskan untuk mengakhiri masa studi saya tanpa
status apa pun. Saya rela tidak lulus sarjana pendidikan sekalipun sepanjang
delapan semester berturut-turut meraih IP tertinggi dan satu-satunya peraih IP
> 3,00 di kelas saya serta memegang piagam mahasiswa berprestasi.
B. Saran: kurikulum keguruan di LPTK perlu
ditinjau ulang.
1. Masalah
kronis di mayoritas (sejauh jangkauan pengamatan saya) PT LPTK:
a. Porsi
mata kuliah Psikologi dan Pedagogi di perguruan tinggi LPTK jauh dari memadai.
b. Jam praktik magang di sekolah (apa pun sebutan programnya) jauh dari cukup.
c. Pembangunan karakter (kompetensi kepribadian) guru terabaikan.
2.
Saran perbaikan:
a. Mata kuliah Psikologi dan Pedagogi diberikan
secara komprehensif: studi literatur dan studi lapangan. Anak-anak sekelas
mahasiswa pasti sudah mampu membaca sendiri literatur-literatur akademik. Tidak
perlu dosen menghabiskan jam-jam kuliah dengan berceramah yang isinya sama
dengan yang tertulis di diktat. Cukup ditugaskan kepada mahasiswa untuk membaca
literatur lalu mengamati perilaku di lapangan, membuat laporan hasil
pengamatan, dan diakhiri dengan konferensi kasus. Di situ terjadi dialog antara
teori dan praktik sehingga pemahaman mahasiswa menjadi kaya.
b. Program magang di sekolah (mengajar, melatih,
dan membimbing siswa; mengelola organisasi pendidikan) diperbanyak, jumlah jam
dan variasi karakteristik sekolahnya. Mahasiswa tidak tahu, setelah lulus kelak
menjadi guru di sekolah apa dan daerah mana. Perbedaan jenjang, jenis,
lingkungan geografis, lingkungan sosial-ekonomi-budaya berpengaruh terhadap
perbedaan karakteristik sekolah. Mahasiswa calon guru perlu dibekali pengalaman
dari beragam karakteristik tersebut. Adaptasi terhadap beragam situasi dan kondisi
riil itu jauh lebih sulit dibandingkan adaptasi terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan pada disiplin ilmu di lingkup program studinya. Maka, jam praktik
di sekolah selayaknya mendapat porsi lebih besar daripada jam kuliah di kampus.
Prof. Pasi Sahlberg mengatakan, “Teaching is a difficult job; it takes
10.000 hours of experience to become a great teacher.”
c. Kampus LPTK mesti berperan sebagai lahan
pesemaian dan penumbuhan karakter (calon) guru. Selamanya guru adalah model
bagi siswa. Pembangunan karakter dan pengembangan kepribadian guru tidak
mungkin diharapkan terjadi dengan sendirinya tanpa ekosistem yang baik selama
mereka menempuh pendidikan di LPTK.
C. Resolusi:
1. Cabut Peraturan Menteri Ristekdikti Nomor 55
Tahun 2017 tentang Standar Pendidikan Guru!
Permen tersebut justru mengaburkan
makna guru sebagai profesi. Jika untuk menjadi guru, lulusan Program Sarjana
Pendidikan diperlakukan sama seperti lulusan program-program lain (wajib
menempuh Program Pendidikan Profesi Guru) untuk apa ada Program Sarjana
Pendidikan? Saya justru mengusulkan perubahan ekstrem, mengadopsi sistem
pendidikan dokter: pendidikan guru umum dulu, baru kemudian pendidikan guru
spesialis mata pelajaran. Pendidikan guru PAUD, diksus, dan vokasi barangkali
bisa dikecualikan; sejak awal sudah pendidikan guru spesialis.
2. Integrasikan tanggung jawab dan wewenang
pendidikan calon guru dan pembinaan guru dalam jabatan.
Sebagai produsen, sudah sewajarnya
LPTK bertanggung jawab menjaga dan memelihara kualitas produknya: guru.
Penyatuan tanggung jawab dan wewenang ini akan berbuah efisiensi dan
efektivitas dalam mengembangkan profesionalisme guru. Pengawas (dengan catatan:
benar-benar berperan sebagai superintendent) cukup membuat klaim
malapraktik guru binaannya, lalu merujuknya ke LPTK untuk memberikan terapi/treatment.
Sekian, mohon maaf dan terima kasih.
Komentar
Posting Komentar