![]() |
Matahari berpamitan kepada para pengunjung Pantai Srau 3 |
Nostalgia di Srau. Itu tawaran yang pertama saya lontarkan kepada teman-teman SKSDian. Dari sekian pantai di Gunungkidul dan Pacitan yang pernah kami sambangi, Srau menyimpan kenangan unik. Sembilan tahun yang lalu kami—berempat: Pakde Martaya, Pak Warto, Bro Imam, dan saya—berkemah semalam di sana.
Empat SKSDian tiba di Pantai Srau pada Senin, 12 September 2016, sore. Langsung mendirikan tenda yang kami bawa dari Semarang. Sempat kewalahan. Pemasangan pipa-pipa penyangganya saling tertukar. Maklum, kali pertama memakai tenda dome. Setelah tenda berdiri, masih ada waktu menunggu matahari terbenam. Kami mendaki bukit karang di sisi barat.
Pantai Srau terbagi menjadi tiga sisi: sisi timur (biasa
disebut Srau 1), sisi selatan (Srau 2), dan sisi barat (Srau 3). Pantai Srau 1
menghadap ke timur, cocok untuk menyambut matahari terbit. Srau 2 menghadap ke
selatan, cocok untuk mengintip gadis Aborigin mandi pasir di Coral Bay. Srau 3
cocok untuk mengantar matahari pulang ke ufuk barat.
Tenda kami terletak di Srau 2. Untuk sampai di bukit karang
itu, kami harus berjalan melewati deretan warung. Semua penjaja makanan dan
minuman menawari kami untuk mampir ke warungnya. Semua kami tolak. Setelah puas
menemani para pemancing yang bertengger di batu-batu karang, kami turun. Dalam
perjalanan kembali ke tenda itulah kami baru berani singgah di salah satu
warung. Kami memesan soto ayam dan kelapa muda utuh. Ternyata perut kami yang
kosong seharian tidak mampu menampung satu mangkuk soto. Tak pelak, degan utuh
pun mesti kami bawa “pulang” ke tenda.
Malamnya kami menginap di tenda itu. Tidak bisa tidur pulas.
Sebentar-sebentar diganggu oleh ulah penguasa Laut Selatan: deburan ombak.
Pagi-pagi kami mandi dan berdandan lengkap: sarung, kemeja lengan panjang, dan
kopiah. Atas petunjuk penjaga loket, kami menemukan masjid dusun. Kami hendak
menunaikan salat Iduladha bersama masyarakat Srau. Srau itu sebuah dusun di
Desa Candi, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan.
Luput dari prediksi dan ekspektasi kami. Pagi itu kami
didaulat untuk menjadi imam dan khatib. Pemuka masjid meminta setengah memaksa.
Lebih tepatnya, mengiba. Kami pun jadi iba. Alhasil, salah seorang dari kami
mendadak jadi ustaz.
Itu bonus pertama. Seusai salat plus khotbah, kami diajak
singgah di rumah Pak Kadus (kepala dusun). Teh manis panas (ginasthel—legi,
panas, kenthel) dan pisang goreng hangat cukup menenangkan perut kami untuk
melanjutkan perjalanan pulang dari Srau. Itu bonus kedua. Masih ada bonus lagi:
wild card untuk masuk kawasan Pantai Srau. “Besok-besok kalau tindak
ke Srau lagi, bilang saja mau ketemu Pak Sumino,” pesan Pak Kadus Sumino,
“Dijamin, petugas loket membebaskan tiket masuk.”
Tiga bonus serasa ngawe-awe saya untuk kembali ke
Srau dan menginap di tenda lagi. Rindu Srau kian terasa tebal di hari-hari
menjelang hari Raya Kurban. Apalagi, tahun ini Iduladha jatuh pada hari Jumat.
Pemerintah menetapkan cuti bersama Senin berikutnya. Yayasan kami, seperti yang
sudah-sudah, menetapkan H-1 dan H+1 sebagai hari libur. Dengan begitu, libur
kami jadi 5 hari: Kamis (05/06/2025) sampai dengan Senin (09/06/2025).
Saya punya target untuk menghabiskan jatah cuti tahunan
sebelum Juli berakhir. Saya genapkan libur Iduladha menjadi 8 hari: Rabu (4
Juni) hingga Rabu (11 Juni). Kepada teman-teman, saya tawarkan empat opsi waktu
untuk sambang Srau. Opsi pertama, Rabu—Jumat. Kalau ini yang terpilih, saya
bisa berangkat bareng dari Semarang. Pulangnya, saya hanya membersamai
teman-teman sampai di Klaten. Opsi kedua, Kamis—Sabtu. Jika ini yang
disepakati, trip saya masih sama seperti opsi pertama.
Opsi ketiga, Jumat—Ahad. Kalau teman-teman memilih opsi ini,
saya mesti berangkat dari Semarang Rabu atau Kamis. Rombongan dari Semarang
saya tunggu di Klaten, Jumat. Pulangnya, saya medhot di Praci, kampung
halaman saya. Opsi keempat, Sabtu—Senin. Kalau pilihannya opsi ini, saya berangkat
ke Klaten Kamis atau Jumat. Sabtu, saya bergabung dengan rombongan mulai dari
Klaten. Pulangnya sama, saya membersamai rombongan hanya sampai di Praci.
Pak Warto cenderung ke opsi 4. Dengan catatan, siap
mengikuti suara terbanyak. Respons dari yang lain tidak kunjung muncul. Pak
Wilys, responden kedua sekaligus pemungkas, menjadi penentu. Ia memilih opsi 3:
Jumat—Ahad. Dengan catatan, berangkat dari Semarang sore—setelah seluruh tugas sosial-kemasyarakatan
di kampungnya tuntas. Pak Warto siap.
Setelah deal, baru saya—atas saran Pak Warto—berkabar
kepada Pak Bari. Senior saya yang satu ini berdomisili di Dusun Kemasan, Desa
Ngasinan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Letaknya di timur Kota
Salatiga, 11 kilo dari terminal Tingkir. Pak Bari siap bergabung. Ia memang
tergolong enthengan kalau diajak dolan. Bahkan ia tidak pernah absen
dalam lima kali touring SKSD terakhir.
Sesuai rencana, semestinya saya menunggu rombongan di Cawas,
Klaten, Jumat sore. Rupanya rencana manusia tidak menjamin kepastian realisasi.
Mendadak saya menerima titah dari kampung halaman: Jumat pagi harus sudah
berada di sana. Berarti, selambat-lambatnya Kamis sore saya harus sudah
meninggalkan Klaten menuju Praci.
Panggilan mendadak dari kampung halaman itu berbuah bonus.
Agar punya kesempatan menginap di Klaten, saya mesti berangkat dari Semarang
Rabu. Kebetulan Kamis pagi ada keperluan fardu kifayah di keluarga Klaten.
Alhasil, saya bisa menunaikan fardu kifayah itu sekaligus menggugurkan kewajiban bagi anggota keluarga yang lain.
Karena tidak jadi menunggu rombongan di Cawas, saya tertarik
untuk mencoba jalur alternatif. Tetangga saya, orang Bayat yang sukses
berbisnis warung angkringan di Semarang, pernah memberi tahu saya rutenya.
Lebih singkat daripada lewat Cawas. “Tidak perlu khawatir kesasar, Pak,”
katanya meyakinkan, “Ada petunjuk arahnya, kok.”
Benar saja. Selepas Stasiun Geologi UGM di Bayat, saya ambil
jalur yang serong ke kanan. Menyusuri jalan yang membelah dua wilayah provinsi:
Bayat (Klaten, Jateng) dan Ngawen (Gunungkidul, DIY). Jalannya lebih sempit
daripada jalur Bayat—Cawas, tetapi lebih mulus. Sebagian besar beton. Tahu-tahu
sampai di simpang tiga Cawas (Klaten)-Semin (Gunungkidul)-Weru (Sukoharjo).
Menurut Google Maps, rutenya lebih panjang daripada lewat
Cawas. Selisih sekitar 2 km. Namun, perasaan saya, waktu tempuhnya lebih
pendek. Mungkin efek kenyamanan dan ketidaknyamanan. Jalur Bayat—Cawas
didominasi jalan bergelombang, terutama sisi kiri dari arah Bayat. Yang sisi
kanan relatif rata. Maklum, truk-truk pasir Merapi sarat muatan ketika melintas
dari Bayat menuju Cawas. Sebaliknya, truk-truk itu kosong ketika berangkat ke
Merapi—dari arah Cawas menuju Bayat.
Menemukan rute baru yang lebih ramah pinggang itu bonus
juga. Sampai di Praci, saya punya kesempatan untuk bersih-bersih rumah. Waktu 1
hari 1 malam setidaknya cukup untuk membuat rumah suwung kami layak untuk
berkemah teman-teman pada Jumat malam. Ini juga bonus lagi.
Keikutsertaan Habib dalam ekspedisi SKSD juga menjadi bonus.
Cucu-keponakan saya itu bisa didapuk sebagai juru kamera kalau kami ingin
berfoto berempat.
![]() |
Jepretan perdana fotografer dadakan: Habib |
Sesampai di Srau, kami masih mendapati bonus lain: dua buah lampu emergensi dan satu lembar tikar disediakan secara gratis kepada kami. Dua perlengkapan berkemah itu tidak tercakup dalam paket fasilitas yang kami sewa. Berkah dan pahala tentu layak Dia alirkan kepada Mbak Aning dan tim Rumah Makan Bahari—penyedia persewaan tenda di Pantai Srau.
Melengkapi sederet bonus tadi, kami masih dijamu dua bonus
istimewa. Sebelum ke Srau, kami lebih dulu mampir di tiga objek wisata: Gua
Tabuhan, Gua Gong, dan Kali Cokel. Usai menziarahi situs pertapaan Sentot
Prawirodirdjo—menurut penuturan juru kunci—di Gua Tabuhan, kami melanjutkan
pelancongan ke Gua Gong. Rute ini sudah lebih dari lima kali saya tempuh. Pak
Warto dan Pak Bari sudah dua atau tiga kali. Hanya Pak Wilys dan Habib yang
masih asing dengan jalur pariwisata di Bumi 1.001 Gua.
“Kok tidak kunjung sampai?” batin saya. Kesangsian makin
membuncah. Akhirnya kami berhenti dan membuka aplikasi peta navigasi. Astagfirullah,
Gua Gong sudah terlewat 7,6 km di belakang kami. Putar balik. Berarti, ada
bonus rute 15 km lebih. Sia-sia? Sama sekali tidak! Justru bonus ini punya peran
penting: pengingat bahwa mata kami sudah mulai rabun. Atau, mungkin juga
penglihatan kami masih cukup awas, tetapi prosesornya sudah lemot. Salah satu
atau dua-duanya berkorelasi dengan usia.
Dalam rangkaian perjalanan menuju Srau, bonusnya kebablasan.
Ketika meninggalkan Srau, bonusnya tersesat. Niat kami, memungkasi pelesiran di
Pacitan dengan keceh di Grojogan Dhuwur. Lokasi air terjun ini masih satu desa
dengan Srau, hanya lain dusun. Saya belum memperoleh petunjuk rutenya secara terperinci.
Dari petunjuk Google Maps, saya hanya bisa memastikan bahwa setelah keluar dari
kawasan Pantai Srau, kami harus mengambil rute menuju jalan raya Pacitan—Pringkuku.
Sebelum sampai di jalan raya, kami harus belok ke kiri. Nah, di mana beloknya,
itu masih belum teridentifikasi.
Habib saya suruh mengaktifkan peta navigasi. Di sebuah
pertigaan—entah di dusun dan desa apa—kami diarahkan untuk belok ke kiri. Jalannya
beton dua lajur, lebarnya masing-masing sekitar 0,5 meter. Di sana-sini sudah
hancur. Di ujung tanjakan, kami bertanya kepada seorang wanita paruh baya yang
duduk mendeprok di tepi jalan. Sepertinya menanti jemputan atau tebengan.
Jawabannya tidak meyakinkan.
Sebelum kami beranjak meninggalkan si wanita, muncul seorang
pria berjalan berlawanan arah dengan kami. Kami minta second opinion
dari si pria. Kami diarahkan untuk lurus. Sampai di pertigaan yang ada papan
nama sebuah pondok pesantren, kami disuruh belok ke kiri. Sisa bensin di tangki
motor Pak Wilys sudah menipis. Kami hampir berputar balik, membatalkan niat ke
Grojogan Dhuwur. Bapak-bapak informan kami itu menyemangati kami: ada kios
bensin tidak jauh di depan. Akhirnya kami urung membatalkan niat.
Menjelang pertigaan dimaksud, saya bimbang. Peta yang
dipantau Habib mengarahkan kami untuk lurus. Kata Habib, jalan yang ke kiri itu
nanti tembus ke jalan aspal menuju jalan raya Pacitan—Pringkuku. Alias kembali
ke jalan yang kami lewati dari Srau. Untung, segera datang orang ketiga. Dari
arah depan kami (belum belok ke kiri), datang seorang pria. Tampaknya lebih tua
daripada pria sebelumnya. Petunjuknya sama: kami belok ke kiri.
Benar. Belum sampai 1 km dari pertigaan, ada kios bensin di
kanan jalan. Kepada si penjual bensin, kami kembali menanyakan jalan menuju Grojogan
Dhuwur. Jawabannya sama dengan dua pria sebelumnya: lurus terus. Sekitar 1 km
dari kios bensin, kami berjumpa dengan seorang pria lagi. Kami kembali mengulang
pertanyaan yang sama. Jawabannya masih sama.
“Keterangan penduduk lokal pasti lebih sahih daripada
petunjuk Google,” batin saya.
Kami terus berjalan lurus. Badala! Kali ini Google Maps jujur.
Habib juga membacanya dengan benar. Ujung jalan yang kami turut itu tembus ke
jalan Srau—Pringkuku yang kami lewati sebelumnya. Sia-siakah? Tidak! Tersesat?
Antara ya dan tidak. Dibilang tersesat karena kami gagal mencapai destinasi
yang kami incar. Namun, yang kami dapati justru jalan pulang. Itu bonus, bukan?
Akibat gagal ke Grojogan Dhuwur, sebelum zuhur kami sudah
sampai di rumah kami (Praci). Setelah rehat sejenak, Pak Wilys dan Pak Warto
berpamitan. Dua-duanya memacu motornya masing-masing, pulang ke Semarang.
Selepas isya, Pak Wilys berkabar: bakda Magrib langsung mengaji bersama para
tetangga. Jadwal menebar ilmu kepada jemaah asuhannya tidak terganggu. Andai
jadi mampir di Grojogran Dhuwur, ia hampir dapat dipastikan kehilangan lahan
pesemaian pahala jariah malam itu.
Pak Bari menerima takdir berbeda. Ia saya tahan. Masih
tersedia dua bonus ekstra baginya. Senin malam, turut mencukupkan hajat keluarga
Praci. Selasa—Rabu, menggugurkan sebagian fardu kifayah keluarga Klaten.
Bonus utama yang saya dapatkan ialah kesediaan tiga senior
untuk membersamai saya mengisi libur panjang. Plus menjalin silaturahmi dengan
keluarga saya di kampung halaman. Plus turut andil dalam momong cucu saya,
Habib. Semuanya berkah, semoga.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar