14 Jun 2025

Berlimpah Bonus

Matahari berpamitan kepada para pengunjung Pantai Srau 3 

Nostalgia di Srau. Itu tawaran yang pertama saya lontarkan kepada teman-teman SKSDian. Dari sekian pantai di Gunungkidul dan Pacitan yang pernah kami sambangi, Srau menyimpan kenangan unik. Sembilan tahun yang lalu kami—berempat: Pakde Martaya, Pak Warto, Bro Imam, dan saya—berkemah semalam di sana.

Empat SKSDian tiba di Pantai Srau pada Senin, 12 September 2016, sore. Langsung mendirikan tenda yang kami bawa dari Semarang. Sempat kewalahan. Pemasangan pipa-pipa penyangganya saling tertukar. Maklum, kali pertama memakai tenda dome. Setelah tenda berdiri, masih ada waktu menunggu matahari terbenam. Kami mendaki bukit karang di sisi barat.

Pantai Srau terbagi menjadi tiga sisi: sisi timur (biasa disebut Srau 1), sisi selatan (Srau 2), dan sisi barat (Srau 3). Pantai Srau 1 menghadap ke timur, cocok untuk menyambut matahari terbit. Srau 2 menghadap ke selatan, cocok untuk mengintip gadis Aborigin mandi pasir di Coral Bay. Srau 3 cocok untuk mengantar matahari pulang ke ufuk barat.

Tenda kami terletak di Srau 2. Untuk sampai di bukit karang itu, kami harus berjalan melewati deretan warung. Semua penjaja makanan dan minuman menawari kami untuk mampir ke warungnya. Semua kami tolak. Setelah puas menemani para pemancing yang bertengger di batu-batu karang, kami turun. Dalam perjalanan kembali ke tenda itulah kami baru berani singgah di salah satu warung. Kami memesan soto ayam dan kelapa muda utuh. Ternyata perut kami yang kosong seharian tidak mampu menampung satu mangkuk soto. Tak pelak, degan utuh pun mesti kami bawa “pulang” ke tenda.

Malamnya kami menginap di tenda itu. Tidak bisa tidur pulas. Sebentar-sebentar diganggu oleh ulah penguasa Laut Selatan: deburan ombak. Pagi-pagi kami mandi dan berdandan lengkap: sarung, kemeja lengan panjang, dan kopiah. Atas petunjuk penjaga loket, kami menemukan masjid dusun. Kami hendak menunaikan salat Iduladha bersama masyarakat Srau. Srau itu sebuah dusun di Desa Candi, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan.

Luput dari prediksi dan ekspektasi kami. Pagi itu kami didaulat untuk menjadi imam dan khatib. Pemuka masjid meminta setengah memaksa. Lebih tepatnya, mengiba. Kami pun jadi iba. Alhasil, salah seorang dari kami mendadak jadi ustaz.

Itu bonus pertama. Seusai salat plus khotbah, kami diajak singgah di rumah Pak Kadus (kepala dusun). Teh manis panas (ginasthel—legi, panas, kenthel) dan pisang goreng hangat cukup menenangkan perut kami untuk melanjutkan perjalanan pulang dari Srau. Itu bonus kedua. Masih ada bonus lagi: wild card untuk masuk kawasan Pantai Srau. “Besok-besok kalau tindak ke Srau lagi, bilang saja mau ketemu Pak Sumino,” pesan Pak Kadus Sumino, “Dijamin, petugas loket membebaskan tiket masuk.”

Tiga bonus serasa ngawe-awe saya untuk kembali ke Srau dan menginap di tenda lagi. Rindu Srau kian terasa tebal di hari-hari menjelang hari Raya Kurban. Apalagi, tahun ini Iduladha jatuh pada hari Jumat. Pemerintah menetapkan cuti bersama Senin berikutnya. Yayasan kami, seperti yang sudah-sudah, menetapkan H-1 dan H+1 sebagai hari libur. Dengan begitu, libur kami jadi 5 hari: Kamis (05/06/2025) sampai dengan Senin (09/06/2025).

Saya punya target untuk menghabiskan jatah cuti tahunan sebelum Juli berakhir. Saya genapkan libur Iduladha menjadi 8 hari: Rabu (4 Juni) hingga Rabu (11 Juni). Kepada teman-teman, saya tawarkan empat opsi waktu untuk sambang Srau. Opsi pertama, Rabu—Jumat. Kalau ini yang terpilih, saya bisa berangkat bareng dari Semarang. Pulangnya, saya hanya membersamai teman-teman sampai di Klaten. Opsi kedua, Kamis—Sabtu. Jika ini yang disepakati, trip saya masih sama seperti opsi pertama.

Opsi ketiga, Jumat—Ahad. Kalau teman-teman memilih opsi ini, saya mesti berangkat dari Semarang Rabu atau Kamis. Rombongan dari Semarang saya tunggu di Klaten, Jumat. Pulangnya, saya medhot di Praci, kampung halaman saya. Opsi keempat, Sabtu—Senin. Kalau pilihannya opsi ini, saya berangkat ke Klaten Kamis atau Jumat. Sabtu, saya bergabung dengan rombongan mulai dari Klaten. Pulangnya sama, saya membersamai rombongan hanya sampai di Praci.

Pak Warto cenderung ke opsi 4. Dengan catatan, siap mengikuti suara terbanyak. Respons dari yang lain tidak kunjung muncul. Pak Wilys, responden kedua sekaligus pemungkas, menjadi penentu. Ia memilih opsi 3: Jumat—Ahad. Dengan catatan, berangkat dari Semarang sore—setelah seluruh tugas sosial-kemasyarakatan di kampungnya tuntas. Pak Warto siap.

Setelah deal, baru saya—atas saran Pak Warto—berkabar kepada Pak Bari. Senior saya yang satu ini berdomisili di Dusun Kemasan, Desa Ngasinan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Letaknya di timur Kota Salatiga, 11 kilo dari terminal Tingkir. Pak Bari siap bergabung. Ia memang tergolong enthengan kalau diajak dolan. Bahkan ia tidak pernah absen dalam lima kali touring SKSD terakhir.

Sesuai rencana, semestinya saya menunggu rombongan di Cawas, Klaten, Jumat sore. Rupanya rencana manusia tidak menjamin kepastian realisasi. Mendadak saya menerima titah dari kampung halaman: Jumat pagi harus sudah berada di sana. Berarti, selambat-lambatnya Kamis sore saya harus sudah meninggalkan Klaten menuju Praci.

Panggilan mendadak dari kampung halaman itu berbuah bonus. Agar punya kesempatan menginap di Klaten, saya mesti berangkat dari Semarang Rabu. Kebetulan Kamis pagi ada keperluan fardu kifayah di keluarga Klaten. Alhasil, saya bisa menunaikan fardu kifayah itu sekaligus menggugurkan kewajiban bagi anggota keluarga yang lain.

Karena tidak jadi menunggu rombongan di Cawas, saya tertarik untuk mencoba jalur alternatif. Tetangga saya, orang Bayat yang sukses berbisnis warung angkringan di Semarang, pernah memberi tahu saya rutenya. Lebih singkat daripada lewat Cawas. “Tidak perlu khawatir kesasar, Pak,” katanya meyakinkan, “Ada petunjuk arahnya, kok.”

Benar saja. Selepas Stasiun Geologi UGM di Bayat, saya ambil jalur yang serong ke kanan. Menyusuri jalan yang membelah dua wilayah provinsi: Bayat (Klaten, Jateng) dan Ngawen (Gunungkidul, DIY). Jalannya lebih sempit daripada jalur Bayat—Cawas, tetapi lebih mulus. Sebagian besar beton. Tahu-tahu sampai di simpang tiga Cawas (Klaten)-Semin (Gunungkidul)-Weru (Sukoharjo).

Menurut Google Maps, rutenya lebih panjang daripada lewat Cawas. Selisih sekitar 2 km. Namun, perasaan saya, waktu tempuhnya lebih pendek. Mungkin efek kenyamanan dan ketidaknyamanan. Jalur Bayat—Cawas didominasi jalan bergelombang, terutama sisi kiri dari arah Bayat. Yang sisi kanan relatif rata. Maklum, truk-truk pasir Merapi sarat muatan ketika melintas dari Bayat menuju Cawas. Sebaliknya, truk-truk itu kosong ketika berangkat ke Merapi—dari arah Cawas menuju Bayat.

Menemukan rute baru yang lebih ramah pinggang itu bonus juga. Sampai di Praci, saya punya kesempatan untuk bersih-bersih rumah. Waktu 1 hari 1 malam setidaknya cukup untuk membuat rumah suwung kami layak untuk berkemah teman-teman pada Jumat malam. Ini juga bonus lagi.

Keikutsertaan Habib dalam ekspedisi SKSD juga menjadi bonus. Cucu-keponakan saya itu bisa didapuk sebagai juru kamera kalau kami ingin berfoto berempat.

Jepretan perdana fotografer dadakan: Habib

Sesampai di Srau, kami masih mendapati bonus lain: dua buah lampu emergensi dan satu lembar tikar disediakan secara gratis kepada kami. Dua perlengkapan berkemah itu tidak tercakup dalam paket fasilitas yang kami sewa. Berkah dan pahala tentu layak Dia alirkan kepada Mbak Aning dan tim Rumah Makan Bahari—penyedia persewaan tenda di Pantai Srau.

Melengkapi sederet bonus tadi, kami masih dijamu dua bonus istimewa. Sebelum ke Srau, kami lebih dulu mampir di tiga objek wisata: Gua Tabuhan, Gua Gong, dan Kali Cokel. Usai menziarahi situs pertapaan Sentot Prawirodirdjo—menurut penuturan juru kunci—di Gua Tabuhan, kami melanjutkan pelancongan ke Gua Gong. Rute ini sudah lebih dari lima kali saya tempuh. Pak Warto dan Pak Bari sudah dua atau tiga kali. Hanya Pak Wilys dan Habib yang masih asing dengan jalur pariwisata di Bumi 1.001 Gua.

“Kok tidak kunjung sampai?” batin saya. Kesangsian makin membuncah. Akhirnya kami berhenti dan membuka aplikasi peta navigasi. Astagfirullah, Gua Gong sudah terlewat 7,6 km di belakang kami. Putar balik. Berarti, ada bonus rute 15 km lebih. Sia-sia? Sama sekali tidak! Justru bonus ini punya peran penting: pengingat bahwa mata kami sudah mulai rabun. Atau, mungkin juga penglihatan kami masih cukup awas, tetapi prosesornya sudah lemot. Salah satu atau dua-duanya berkorelasi dengan usia.

Dalam rangkaian perjalanan menuju Srau, bonusnya kebablasan. Ketika meninggalkan Srau, bonusnya tersesat. Niat kami, memungkasi pelesiran di Pacitan dengan keceh di Grojogan Dhuwur. Lokasi air terjun ini masih satu desa dengan Srau, hanya lain dusun. Saya belum memperoleh petunjuk rutenya secara terperinci. Dari petunjuk Google Maps, saya hanya bisa memastikan bahwa setelah keluar dari kawasan Pantai Srau, kami harus mengambil rute menuju jalan raya Pacitan—Pringkuku. Sebelum sampai di jalan raya, kami harus belok ke kiri. Nah, di mana beloknya, itu masih belum teridentifikasi.

Habib saya suruh mengaktifkan peta navigasi. Di sebuah pertigaan—entah di dusun dan desa apa—kami diarahkan untuk belok ke kiri. Jalannya beton dua lajur, lebarnya masing-masing sekitar 0,5 meter. Di sana-sini sudah hancur. Di ujung tanjakan, kami bertanya kepada seorang wanita paruh baya yang duduk mendeprok di tepi jalan. Sepertinya menanti jemputan atau tebengan. Jawabannya tidak meyakinkan.

Sebelum kami beranjak meninggalkan si wanita, muncul seorang pria berjalan berlawanan arah dengan kami. Kami minta second opinion dari si pria. Kami diarahkan untuk lurus. Sampai di pertigaan yang ada papan nama sebuah pondok pesantren, kami disuruh belok ke kiri. Sisa bensin di tangki motor Pak Wilys sudah menipis. Kami hampir berputar balik, membatalkan niat ke Grojogan Dhuwur. Bapak-bapak informan kami itu menyemangati kami: ada kios bensin tidak jauh di depan. Akhirnya kami urung membatalkan niat.

Menjelang pertigaan dimaksud, saya bimbang. Peta yang dipantau Habib mengarahkan kami untuk lurus. Kata Habib, jalan yang ke kiri itu nanti tembus ke jalan aspal menuju jalan raya Pacitan—Pringkuku. Alias kembali ke jalan yang kami lewati dari Srau. Untung, segera datang orang ketiga. Dari arah depan kami (belum belok ke kiri), datang seorang pria. Tampaknya lebih tua daripada pria sebelumnya. Petunjuknya sama: kami belok ke kiri.

Benar. Belum sampai 1 km dari pertigaan, ada kios bensin di kanan jalan. Kepada si penjual bensin, kami kembali menanyakan jalan menuju Grojogan Dhuwur. Jawabannya sama dengan dua pria sebelumnya: lurus terus. Sekitar 1 km dari kios bensin, kami berjumpa dengan seorang pria lagi. Kami kembali mengulang pertanyaan yang sama. Jawabannya masih sama.

“Keterangan penduduk lokal pasti lebih sahih daripada petunjuk Google,” batin saya.

Kami terus berjalan lurus. Badala! Kali ini Google Maps jujur. Habib juga membacanya dengan benar. Ujung jalan yang kami turut itu tembus ke jalan Srau—Pringkuku yang kami lewati sebelumnya. Sia-siakah? Tidak! Tersesat? Antara ya dan tidak. Dibilang tersesat karena kami gagal mencapai destinasi yang kami incar. Namun, yang kami dapati justru jalan pulang. Itu bonus, bukan?

Akibat gagal ke Grojogan Dhuwur, sebelum zuhur kami sudah sampai di rumah kami (Praci). Setelah rehat sejenak, Pak Wilys dan Pak Warto berpamitan. Dua-duanya memacu motornya masing-masing, pulang ke Semarang. Selepas isya, Pak Wilys berkabar: bakda Magrib langsung mengaji bersama para tetangga. Jadwal menebar ilmu kepada jemaah asuhannya tidak terganggu. Andai jadi mampir di Grojogran Dhuwur, ia hampir dapat dipastikan kehilangan lahan pesemaian pahala jariah malam itu.

Pak Bari menerima takdir berbeda. Ia saya tahan. Masih tersedia dua bonus ekstra baginya. Senin malam, turut mencukupkan hajat keluarga Praci. Selasa—Rabu, menggugurkan sebagian fardu kifayah keluarga Klaten.

Bonus utama yang saya dapatkan ialah kesediaan tiga senior untuk membersamai saya mengisi libur panjang. Plus menjalin silaturahmi dengan keluarga saya di kampung halaman. Plus turut andil dalam momong cucu saya, Habib. Semuanya berkah, semoga.

 

Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer