2 Sep 2022

Menimbang Ulang Strategi Pemasaran Sekolah

 

Sumber gambar: 
https://www.stevensonadvertising.com/creative-marketing-strategies-that-will-amplify-your-brand/ 

“Marketing: Creating Customer Value and Engagement.” Demikian judul bagian pertama buku Principles of Marketing, yang ditulis oleh Philip Kotler dan Gary Amstrong (Pearson, 2017). “Simply put, marketing is engaging customers and managing profitable customer relationships. The aim of marketing is to create value for customers in order to capture value from customers in return,” tulis dua profesor pemasaran itu, menjelaskan maksud judul tersebut.

Value dan engagement menjadi dua kata kunci. Minyak penumbuh rambut, di mana-mana dan apa pun mereknya, punya khasiat yang sama: menumbuhkan rambut. Semua orang tahu itu. Adalah cara memasarkannya yang membedakan apakah sebuah merek minyak rambut dikenal luas dan laku keras atau mengendon di rak-rak toko obat tanpa pernah dilirik peminat.

Sekolah punya cerita yang relatif sama. Semua orang paham bahwa sekolah adalah tempat pendidikan. Pertanyaannya, mengapa ada sekolah yang mengecewakan banyak orang karena gagal masuk atau memasukkan anaknya ke sana, dan sebaliknya ada sekolah yang mengecewakan orang-orang justru karena telanjur masuk atau memasukkan anaknya ke sana? Di situlah pemasaran bertanggung jawab.

Reaksi Kekecewaan

Pembeli minyak penumbuh rambut yang kecewa karena minyak yang dibelinya tak kunjung membuat kebotakan di kepalanya berkurang hanya butuh keputusan sederhana: tidak membeli minyak dengan merek yang sama lagi. Kalau masih berhasrat untuk menambal kepala botaknya, ia akan beralih ke merek lain. Kerugian yang dideritanya hanya kehilangan uang sebesar harga minyak.

Reaksi berbeda bisa muncul jika minyak yang dibelinya itu bukan saja gagal menumbuhkan rambut, melainkan juga menimbulkan kerusakan kulit kepala. Tidak cukup dengan menghentikan pemakaiannya, barangkali ia juga melampiaskan kekecewaannya dengan mengunggah sumpah serapah ke media sosial atau mengirimkan surat pembaca ke media massa.

Semakin serius efek samping yang ditimbulkan oleh minyak tersebut, semakin serius pula ia bereaksi. Jika akibat memakai minyak itu, misalnya, ia mengalami gangguan fungsi otak akibat infeksi kronis kulit kepala, tidak mustahil ia rela menyewa pengacara untuk menggugat pabrik minyak itu. Brosur di kemasan minyak dijadikan alat bukti untuk melaporkan janji produsen. Dokumen rekam medis dijadikan alat bukti untuk menunjukkan kerugian yang dideritanya akibat pemakaian minyak.

Bagi sekolah gratis, reaksi konsumen yang kecewa mungkin hanya seringan ilustrasi pertama. Orang tua siswa mencabut anaknya dari sekolah lalu memindahkannya ke sekolah lain. Dia ikhlaskan uang yang telanjur dikeluarkan untuk membayar ongkos formulir pendaftaran yang tidak seberapa. Bila telanjur membeli pakaian seragam, toh sebagian masih bisa dipakai di sekolah barunya. Sementara, pakaian seragam khas sekolah bisa disedekahkan kepada teman atau tetangga yang bersekolah di sana.

Bagaimana dengan sekolah berbayar—apalagi, sekolah mahal? Tentu, tidak mudah bagi konsumen yang kecewa untuk memutuskan keluar begitu saja. Dia dihadapkan pada pilihan sulit. Keluar meninggalkan sekolah berarti kehilangan dana yang cukup terasa. Bertahan di situ berarti mesti siap merawat kekecewaan selama 2—3 tahun jika sekolahnya jenjang PAUD, 6 tahun (SD), atau 3 tahun (SMP/SMA).

Bisa dibayangkan dampak yang diterima sekolah jika reaksi orang tua siswa yang kecewa itu seperti ilustrasi kedua atau ketiga. Publikasi cerita buruk tentang sekolah melalui media sosial atau media massa menjadi senjata pemusnah reputasi sekolah. Gugatan di pengadilan—entah pihak mana yang kelak menang atau kalah—adalah racun efektif untuk melumpuhkan kekuatan sekolah.

Pemasaran sekolah bertanggung jawab atas naik, bertahan, atau turunnya citra sekolah.

Word of Mouth Marketing

Konon di negeri Syam (sekarang Suriah) ada seorang pedagang muda yang barang dagangannya selalu sold out lebih cepat daripada sesama pedagang komoditas yang sama. Boleh jadi, mereka membanderol harga yang tidak terpaut jauh untuk barang sejenis dengan kualitas yang sama. Mantra dan jimat pelaris apa yang membuat pemuda Quraisy itu menjadi target pertama serbuan para pelanggan? Al-Amin. Jiwa amanah itulah magnet yang menyedot minat pelanggan. Dari mana trust pelanggan terbangun? Sidik. Kepercayaan pelanggan itu tumbuh dari kejujuran yang secara konsisten menjadi laku sang penyandang gelar Al-Amin. Jadi, trust itu buah. Akarnya adalah honesty.

Kisah pemasaran fenomenal itu terjadi jauh sebelum pemasaran itu sendiri menjadi ilmu yang diajarkan di bangku-bangku sekolah dan kuliah. Hebatnya, hingga pemasaran berkembang menjadi program studi doktoral dewasa ini, kejujuran tetap bertahan sebagai fondasi pemasaran yang selalu didoktrinkan oleh guru, instruktur, mentor, hingga profesor.

Kejujuran yang tulus, tanpa pamrih demi mendongkrak omzet bisnisnya, menyembul dalam wujud komunikasi transparan (tablig). Setiap barang yang dijajakan dideskripsikan detail kualitasnya, yang unggul maupun yang cacat. Rasionalitas penentuan harga barang dipaparkan detail kalkulasinya. Ketulusan (sincere) dalam melayani pelanggan menjadi doktrin kedua setelah kejujuran, yang dipesankan oleh para pakar di buku-buku dan ruang-ruang kuliah pemasaran.

Benihnya fatanah, kecerdasan yang menggugah kesadaran akan hukum kausalitas: aksi menentukan reaksi. Akarnya sidik, kejujuran dalam merekam, mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan informasi autentik. Tunasnya tablig, ketulusan dalam berkomunikasi: menyampaikan informasi secara transparan dan menerima umpan balik secara kesatria. Buahnya amanah, panen kepercayaan dari pelanggan.

Kejujuran dan ketulusan niagawan muda—yang ternyata, kala itu, kandidat rasul kepercayaan Tuhan—itu tersebar luas di kalangan pembeli (konsumen maupun distributor). Pembeli pertama bercerita kepada kawannya, yang kemudian menjadi pembeli kedua. Keduanya menceritakan lagi pengalaman manisnya kepada kawan-kawannya yang lain. Kian hari kian banyak pembeli yang menyerbu dagangannya.

Satu, dua, tiga kali bertransaksi, mereka mendapati model pemasaran yang konsisten. Akhirnya mereka menjadi pelanggan setia. Tidak hanya fanatik dan loyal, para pelanggan itu juga menjadi buzzer dan influencer sukarela tanpa ongkos jasa. Itulah pemasaran cerdas (fatanah) yang hakiki. Hingga disrupsi melanda segala sendi kehidupan di era Revolusi 4.0 ini, pesan berantai dari mulut ke mulut itu tetap diyakini sebagai kanal pemasaran yang paling efektif. Word of mouth (WOM) marketing, sebutan menterengnya. 

Kanal, Media, dan Konten

Kanal pemasaran selalu berkembang mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pada mulanya, komunikasi lisan tatap muka menjadi satu-satunya saluran pesan pemasaran. Kini pemasaran online berbasis internet mendominasi bisnis perniagaan di seluruh dunia. Maka, lahirlah strategi e-WOM marketing.

Media penyampaian pesan pemasaran pun terus berkembang. Dari cerita lisan tatap muka bergeser ke tulisan dan rekaman audio. Dari gambar tiruan hasil lukisan tangan bergeser ke foto hasil tangkapan kamera. Kamera penangkap dan penyaji objek diam berkembang menjadi kamera perekam objek bergerak dan bersuara yang mampu menyajikan media audiovisual. Gabungan gambar diam dan teks menghasilkan infografik. Gambar bergerak digabungkan dengan suara dan teks menghasilkan videografik.

Teknologi mengubah kanal dan media pemasaran. Namun, konten yang disajikan dalam beragam media dan disebarkan melalui aneka saluran itu tidak pernah berubah: cerita. Meskipun sama-sama cerita, sumbernya bisa berbeda: asli atau fiksi, faktual atau khayal.

Selama berpuluh-puluh tahun—atau malah berabad-abad?—iklan menjadi andalan alat promosi produk bisnis: barang dan jasa. Biaya iklan menyumbang hingga rata-rata 30% anggaran belanja modal. Bisa dibayangkan pos-pos biaya iklan, sejak proses produksi sampai publikasi. Bila medianya video, biaya iklan tentu lebih membengkak lagi.

Kepada siapa biaya iklan itu dibebankan? Tidak ada alternatif lain, tentu konsumen. Jika diplomasi iklan gagal menghasut calon konsumen, yang berarti juga gagal memompa volume penjualan? Dengan omzet yang tidak mencapai angka balik modal (ROI = return of  investment), dapat dimaklumi jika perusahaan terpaksa mengambil tindakan gawat darurat: memangkas hak kesejahteraan karyawan.

Mengapa iklan punya peluang untuk gagal memikat konsumen? Dua faktor mungkin menjadi pemicunya: ketidakpercayaan dan kesadaran harga. Ketidakpercayaan muncul bila konsumen menemukan kualitas produk tidak sesuai dengan propaganda iklannya. Iklan, dalam rupa apa pun, adalah janji yang sewaktu-waktu akan menghadapi uji kesahihan. Kesadaran harga akan dicapai oleh konsumen yang rasional dan selektif. Sebelum memutuskan untuk membeli, mereka banding-bandingkan kualitas dan harga produk sejenis dari berbagai merek berbeda.

Dua faktor tersebut kini mulai membangkitkan kewaspadaan para praktisi periklanan. Untuk mengantisipasi sentimen pasar yang kontraproduktif, agen iklan melibatkan banyak pihak berkompeten dalam proses produksi iklan. Ada verifikasi materi dari klien (informasi tentang produk bisnis). Ada verifikasi skrip yang disusun oleh copy/content writer. Ada verifikasi desain presentasi konten yang dirancang tim kreatif. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Tanpa penggarapan secara saksama, iklan hanya akan jatuh ke salah satu lubang kenistaan: membodohi publik atau mempertontonkan kebodohan diri sendiri.

Kembali ke Bisnis Adiluhung

Kesetiaan pada nilai-nilai adiluhung selalu diajarkan sebagai asas dalam menjalani profesi apa pun. Karakter fatanah, amanah, sidik, dan tablig (FAST—urutan semata-mata demi mendapatkan akronim ini) bukanlah sifat-sifat baru—yang baru dimiliki ketika dinobatkan sebagai utusan Tuhan—bagi para nabi dan rasul. Hamba-hamba pilihan itu menjadi model persons of character sepanjang hayat mereka. Nabi pamungkas, misalnya, menjadi teladan FAST sejak kanak-kanak, remaja penggembala, pemuda niagawan, hingga ketika menjadi suami dan ayah, mahaguru agama, kepala negara/pemerintahan, sekaligus panglima perang. Jadi, FAST itu menjadi panduan moral-etik bisnis duniawi maupun samawi.

Pelaku bisnis, apa pun produk barang atau jasanya, tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab moral-etik tersebut. FAST itu nilai-nilai adiluhung yang diakui dan diterima di seluruh dunia (universal virtues). Pada tataran das Sollen, nilai-nilai moral-etik tersebut menjadi standar bisnis yang diajarkan di semua sekolah bisnis.

Selain pada ranah etik, bisnis adiluhung semestinya juga mengejawantah dalam ranah teknis. Kalangan pakar dan praktisi pemasaran sudah mengendus efek iklan yang kontraproduktif. Kehadiran iklan dalam segala media melalui saluran apa pun kini lebih banyak dianggap sebagai pengganggu kenyamanan. Spanduk dan baliho di sudut-sudut persimpangan jalan mengganggu konsentrasi pengendara dalam memantau nyala lampu lalu lintas. Klip iklan televisi mengganggu keseruan pemirsa dalam menikmati tayangan sinetron kesayangannya. Segala rupa iklan yang menyelonong ke laman situs web mengganggu keseriusan pengunjung dalam menelusuri informasi penting.

Akhirnya, WOM marketing kembali menjadi strategi pilihan. Implikasi teknisnya, storytelling menjadi konten pemasaran yang dianjurkan. Medianya boleh apa saja. Saluran publikasinya bisa segala kanal yang affordable. Apa pun media presentasi dan saluran publikasinya, kontennya tetap storytelling, menuturkan cerita. Dipandu oleh nilai-nilai FAST, materi ceritanya mesti autentik.

Untuk menegaskan kewajiban mematuhi prinsip-prinsip moral-etik tersebut, kiranya boleh dikenalkan diksi true-story telling. Materi yang diceritakan bersumber dari liputan peristiwa faktual. Kontennya menyajikan apa yang sudah atau sedang terjadi, bukan apa yang masih diimpikan.

“Your school brand is happening around you every day, and it’s more than just a logo or hashtag. It’s your identity,” tulis Barrett Goodwin dan Heather Palacios dalam The Comprehensive Guide to School Marketing. “When your brand is working right, it has the power to influence the way people think and feel about your school district for the better.” (https://www.apptegy.com/guides/comprehensive-guide-to-school-marketing/)

Jenama (brand) sebuah sekolah itu terjadi setiap hari di lingkungan sekolah itu sendiri. Jenama yang mengejawantah sebagai perilaku keseharian warga sekolah itulah jati diri sekolah, yang lebih berharga daripada logo atau tagar. Jika jenama benar-benar mewujud dalam budaya sekolah, daya perbawanya dahsyat dalam membentuk pandangan dan kesan masyarakat terhadap sekolah. Pada gilirannya, sekolah memperoleh citra yang semakin baik.

Penjenamaan (branding) sekolah dilakukan dengan meliput—merekam, memotret, mencatat lalu menceritakan—kejadian-kejadian autentik di ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, kantin, arena bermain, lapangan upacara, toilet, dan semua spot yang ada di sekolah.

Konten Sesat atau Menyesatkan

“Syahwat” beriklan tidak jarang membuat gelap mata sehingga terjerumus ke konten sesat atau menyesatkan. Berikut adalah beberapa contoh fake contents yang perlu diwaspadai.

Miscasting – Salah peran (miscasting) berpotensi muncul pada media foto dan video. Dalam sebuah klip profil sekolah, misalnya, ditampilkan adegan dua orang siswa sedang memegang dan membuka (jangan-jangan membaca?) buku. Adegan tersebut barangkali dimaksudkan untuk membangun brand sekolah berbudaya literasi. Namun, apa kesan yang ditangkap penonton bila buku yang dicomot untuk dipegang kedua model tersebut ternyata konsumsi guru: Brain-Based Teaching, misalnya?

Daripada bersusah payah merancang dan membuat iklan foto atau video terskenario, lebih baik energi seluruh warga sekolah didayagunakan untuk berkreasi menciptakan konten-konten true-story telling. Kamera ponsel selalu siaga untuk mengabadikan momen-momen inspiratif, edukatif, atau menghibur yang berpotensi muncul di sela-sela aktivitas normal.

Tidak pantas untuk dilupakan, setiap foto dan video yang dipublikasikan—lewat saluran apa pun—wajib disertai deskripsi yang menceritakan apa yang terjadi dan apa amanat yang terkandung di baliknya. Seringkas apa pun, deskripsi itu menjadikan setiap foto atau video itu bercerita, telling the true story.

Drama Duren Tiga memberikan pelajaran, narasi palsu menyimpan bom waktu. Cepat atau lambat, secara vulgar atau diam-diam, kepalsuan akan tercium dan terbongkar.

Disguised Claim – Klaim terselubung rawan muncul pada iklan tahniah (ucapan selamat) kepada siswa atau warga sekolah lainnya yang meraih prestasi bukan hasil binaan sekolah. Walaupun tidak ada kata-kata yang menyatakan prestasi tersebut sebagai hasil besutan sekolah, publik awam akan “membacanya” sebagai prestasi sekolah. Sebaliknya, publik yang skeptis akan mengejar informasi apakah prestasi tersebut karya sekolah atau bukan. Di situlah trust dipertaruhkan.

Jika iklan tahniah itu hanya beredar di kalangan internal, tidak menimbulkan masalah. Namun, jika dipublikasikan ke luar, iklan semacam itu harus disertai disclaimer. Matematika mengajarkan, lambang bilangan negatif tidak boleh ditulis tanpa tanda negatif (-). Jika tanpa tanda, setiap angka pasti dibaca sebagai bilangan positif.

Disclaimer itu tidak perlu dinyatakan dengan kalimat penyangkalan, misalnya “Prestasi ini bukan hasil binaan UNDIT (Universitas di Tembalang).” Negasi peran sekolah bisa dinyatakan secara implisit dan elegan, misalnya “Terima kasih kepada Ananda Bambang Abimanyu, Ibu/Bapak Arjuna, dan Padepokan Seni Plongkowati. Prestasi yang diraih Ananda Bambang turut mengharumkan nama UNDIT.” Pengakuan kontribusi semacam itu, selain menghapus kesan klaim terselubung, memiliki nilai psikologi komunikasi yang efektif dalam rangka nguwongake (to engage) siswa, orang tua siswa, dan stakeholders lainnya.

Quotes – Kata-kata mutiara, dari mana pun dikutip, sah dan bagus bila diedarkan di kalangan internal. Pitutur luhur yang inspiratif dan edukatif itu dipakai sebagai nasihat, tausiah, atau pengingat bagi warga sekolah. Namun, ketika diviralkan ke publik eksternal, quotes adiluhung itu berpotensi menyesatkan opini. Audiens awam akan menganggap itu sebagai nilai-nilai yang sudah diaktualisasikan sebagai budaya sekolah. Sementara, audiens kritis akan mencibir, “Haluaaah, ... kaya yak yaka!”

Daripada membebani diri dengan kemungkinan mendapatkan cap jarkoni, lebih elegan bila quotes yang diviralkan itu bersumber dari ucapan pelanggan (siswa, alumni, atau keluarga mereka) yang mencerminkan kepuasan, pengakuan, atau apresiasi terhadap sekolah. Itu true-story telling. Jadi, penjenamaan sekolah dengan melibatkan seluruh stakeholders itu bukan tindakan haram. Corey Whaley berpesan, “As your most valuable stakeholders, students can be natural marketers for your schools.” (https://www.schoolceo.com/a/student-voice-in-school-marketing/) Tidak ada larangan untuk memahami students pada pesan Whaley tersebut sebagai ‘siswa-siswi dan keluarga mereka’.

Pendek kata, semua konten pemasaran semestinya hanya tell the true stories about the school life. Menceritakan cerita yang sudah ada tentu lebih simpel daripada mengarang cerita yang baru dikhayalkan. Khalayak pasti lebih memercayai bukti daripada janji-janji. Semanis-manisnya janji punya peluang untuk berubah menjadi cerita pahit.

Bagaimana?

 

Tabik.

1 komentar:

  1. Ternyata tetap ada "nilai" yg tidak berubah walau zaman terus berkembang & berubah: sidik, tablig, amanah, fatonah.

    Daripada bingung memperkirakan tantangan ke depan bagi anak-anak iti apa, lebih baik "ngopeni" empat nilai ini, yg tetap eksis dlm segala perkembangan & perubahan zaman.

    BalasHapus

Populer