https://www.stevensonadvertising.com/creative-marketing-strategies-that-will-amplify-your-brand/
“Marketing: Creating Customer Value and Engagement.” Demikian judul bagian pertama buku Principles of Marketing, yang ditulis oleh Philip Kotler dan Gary Amstrong (Pearson, 2017). “Simply put, marketing is engaging customers and managing profitable customer relationships. The aim of marketing is to create value for customers in order to capture value from customers in return,” tulis dua profesor pemasaran itu, menjelaskan maksud judul tersebut.
Value dan engagement menjadi dua kata kunci. Minyak
penumbuh rambut, di mana-mana dan apa pun mereknya, punya khasiat yang sama:
menumbuhkan rambut. Semua orang tahu itu. Adalah cara memasarkannya yang
membedakan apakah sebuah merek minyak rambut dikenal luas dan laku keras atau
mengendon di rak-rak toko obat tanpa pernah dilirik peminat.
Sekolah punya cerita yang relatif sama. Semua orang paham
bahwa sekolah adalah tempat pendidikan. Pertanyaannya, mengapa ada sekolah yang
mengecewakan banyak orang karena gagal masuk atau memasukkan anaknya ke sana,
dan sebaliknya ada sekolah yang mengecewakan orang-orang justru karena telanjur
masuk atau memasukkan anaknya ke sana? Di situlah pemasaran bertanggung jawab.
Reaksi Kekecewaan
Pembeli minyak penumbuh rambut yang kecewa karena minyak
yang dibelinya tak kunjung membuat kebotakan di kepalanya berkurang hanya butuh
keputusan sederhana: tidak membeli minyak dengan merek yang sama lagi. Kalau
masih berhasrat untuk menambal kepala botaknya, ia akan beralih ke merek lain.
Kerugian yang dideritanya hanya kehilangan uang sebesar harga minyak.
Reaksi berbeda bisa muncul jika minyak yang dibelinya itu
bukan saja gagal menumbuhkan rambut, melainkan juga menimbulkan kerusakan kulit
kepala. Tidak cukup dengan menghentikan pemakaiannya, barangkali ia juga melampiaskan
kekecewaannya dengan mengunggah sumpah serapah ke media sosial atau mengirimkan
surat pembaca ke media massa.
Semakin serius efek samping yang ditimbulkan oleh minyak
tersebut, semakin serius pula ia bereaksi. Jika akibat memakai minyak itu,
misalnya, ia mengalami gangguan fungsi otak akibat infeksi kronis kulit kepala,
tidak mustahil ia rela menyewa pengacara untuk menggugat pabrik minyak itu.
Brosur di kemasan minyak dijadikan alat bukti untuk melaporkan janji produsen.
Dokumen rekam medis dijadikan alat bukti untuk menunjukkan kerugian yang
dideritanya akibat pemakaian minyak.
Bagi sekolah gratis, reaksi konsumen yang kecewa mungkin
hanya seringan ilustrasi pertama. Orang tua siswa mencabut anaknya dari sekolah
lalu memindahkannya ke sekolah lain. Dia ikhlaskan uang yang telanjur
dikeluarkan untuk membayar ongkos formulir pendaftaran yang tidak seberapa. Bila
telanjur membeli pakaian seragam, toh sebagian masih bisa dipakai di sekolah
barunya. Sementara, pakaian seragam khas sekolah bisa disedekahkan kepada teman
atau tetangga yang bersekolah di sana.
Bagaimana dengan sekolah berbayar—apalagi, sekolah mahal?
Tentu, tidak mudah bagi konsumen yang kecewa untuk memutuskan keluar begitu
saja. Dia dihadapkan pada pilihan sulit. Keluar meninggalkan sekolah berarti
kehilangan dana yang cukup terasa. Bertahan di situ berarti mesti siap merawat
kekecewaan selama 2—3 tahun jika sekolahnya jenjang PAUD, 6 tahun (SD), atau 3
tahun (SMP/SMA).
Bisa dibayangkan dampak yang diterima sekolah jika reaksi
orang tua siswa yang kecewa itu seperti ilustrasi kedua atau ketiga. Publikasi
cerita buruk tentang sekolah melalui media sosial atau media massa menjadi
senjata pemusnah reputasi sekolah. Gugatan di pengadilan—entah pihak mana yang
kelak menang atau kalah—adalah racun efektif untuk melumpuhkan kekuatan
sekolah.
Pemasaran sekolah bertanggung jawab atas naik, bertahan,
atau turunnya citra sekolah.
Konon di negeri Syam (sekarang Suriah) ada seorang pedagang muda yang barang dagangannya selalu sold out lebih cepat daripada sesama pedagang komoditas yang sama. Boleh jadi, mereka membanderol harga yang tidak terpaut jauh untuk barang sejenis dengan kualitas yang sama. Mantra dan jimat pelaris apa yang membuat pemuda Quraisy itu menjadi target pertama serbuan para pelanggan? Al-Amin. Jiwa amanah itulah magnet yang menyedot minat pelanggan. Dari mana trust pelanggan terbangun? Sidik. Kepercayaan pelanggan itu tumbuh dari kejujuran yang secara konsisten menjadi laku sang penyandang gelar Al-Amin. Jadi, trust itu buah. Akarnya adalah honesty.
Kisah pemasaran fenomenal itu terjadi jauh sebelum pemasaran
itu sendiri menjadi ilmu yang diajarkan di bangku-bangku sekolah dan kuliah.
Hebatnya, hingga pemasaran berkembang menjadi program studi doktoral dewasa
ini, kejujuran tetap bertahan sebagai fondasi pemasaran yang selalu
didoktrinkan oleh guru, instruktur, mentor, hingga profesor.
Kejujuran yang tulus, tanpa pamrih demi mendongkrak omzet
bisnisnya, menyembul dalam wujud komunikasi transparan (tablig). Setiap barang
yang dijajakan dideskripsikan detail kualitasnya, yang unggul maupun yang
cacat. Rasionalitas penentuan harga barang dipaparkan detail kalkulasinya.
Ketulusan (sincere) dalam melayani pelanggan menjadi doktrin kedua
setelah kejujuran, yang dipesankan oleh para pakar di buku-buku dan ruang-ruang
kuliah pemasaran.
Benihnya fatanah, kecerdasan yang menggugah kesadaran akan
hukum kausalitas: aksi menentukan reaksi. Akarnya sidik, kejujuran dalam merekam,
mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan informasi autentik. Tunasnya tablig,
ketulusan dalam berkomunikasi: menyampaikan informasi secara transparan dan
menerima umpan balik secara kesatria. Buahnya amanah, panen kepercayaan dari
pelanggan.
Kejujuran dan ketulusan niagawan muda—yang ternyata, kala
itu, kandidat rasul kepercayaan Tuhan—itu tersebar luas di kalangan pembeli
(konsumen maupun distributor). Pembeli pertama bercerita kepada kawannya, yang
kemudian menjadi pembeli kedua. Keduanya menceritakan lagi pengalaman manisnya
kepada kawan-kawannya yang lain. Kian hari kian banyak pembeli yang menyerbu
dagangannya.
Satu, dua, tiga kali bertransaksi, mereka mendapati model pemasaran yang konsisten. Akhirnya mereka menjadi pelanggan setia. Tidak hanya fanatik dan loyal, para pelanggan itu juga menjadi buzzer dan influencer sukarela tanpa ongkos jasa. Itulah pemasaran cerdas (fatanah) yang hakiki. Hingga disrupsi melanda segala sendi kehidupan di era Revolusi 4.0 ini, pesan berantai dari mulut ke mulut itu tetap diyakini sebagai kanal pemasaran yang paling efektif. Word of mouth (WOM) marketing, sebutan menterengnya.
Kanal, Media, dan Konten
Kanal pemasaran selalu berkembang mengikuti perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi. Pada mulanya, komunikasi lisan tatap muka
menjadi satu-satunya saluran pesan pemasaran. Kini pemasaran online berbasis
internet mendominasi bisnis perniagaan di seluruh dunia. Maka, lahirlah
strategi e-WOM marketing.
Media penyampaian pesan pemasaran pun terus berkembang. Dari
cerita lisan tatap muka bergeser ke tulisan dan rekaman audio. Dari gambar tiruan
hasil lukisan tangan bergeser ke foto hasil tangkapan kamera. Kamera penangkap
dan penyaji objek diam berkembang menjadi kamera perekam objek bergerak dan
bersuara yang mampu menyajikan media audiovisual. Gabungan gambar diam dan teks
menghasilkan infografik. Gambar bergerak digabungkan dengan suara dan teks menghasilkan
videografik.
Teknologi mengubah kanal dan media pemasaran. Namun, konten yang
disajikan dalam beragam media dan disebarkan melalui aneka saluran itu tidak
pernah berubah: cerita. Meskipun sama-sama cerita, sumbernya bisa berbeda: asli
atau fiksi, faktual atau khayal.
Selama berpuluh-puluh tahun—atau malah berabad-abad?—iklan menjadi
andalan alat promosi produk bisnis: barang dan jasa. Biaya iklan menyumbang
hingga rata-rata 30% anggaran belanja modal. Bisa dibayangkan pos-pos biaya
iklan, sejak proses produksi sampai publikasi. Bila medianya video, biaya iklan
tentu lebih membengkak lagi.
Kepada siapa biaya iklan itu dibebankan? Tidak ada
alternatif lain, tentu konsumen. Jika diplomasi iklan gagal menghasut calon
konsumen, yang berarti juga gagal memompa volume penjualan? Dengan omzet yang
tidak mencapai angka balik modal (ROI = return of investment), dapat dimaklumi jika perusahaan
terpaksa mengambil tindakan gawat darurat: memangkas hak kesejahteraan
karyawan.
Mengapa iklan punya peluang untuk gagal memikat konsumen? Dua
faktor mungkin menjadi pemicunya: ketidakpercayaan dan kesadaran harga. Ketidakpercayaan
muncul bila konsumen menemukan kualitas produk tidak sesuai dengan propaganda
iklannya. Iklan, dalam rupa apa pun, adalah janji yang sewaktu-waktu akan menghadapi
uji kesahihan. Kesadaran harga akan dicapai oleh konsumen yang rasional dan
selektif. Sebelum memutuskan untuk membeli, mereka banding-bandingkan kualitas
dan harga produk sejenis dari berbagai merek berbeda.
Dua faktor tersebut kini mulai membangkitkan kewaspadaan
para praktisi periklanan. Untuk mengantisipasi sentimen pasar yang
kontraproduktif, agen iklan melibatkan banyak pihak berkompeten dalam proses
produksi iklan. Ada verifikasi materi dari klien (informasi tentang produk
bisnis). Ada verifikasi skrip yang disusun oleh copy/content writer. Ada
verifikasi desain presentasi konten yang dirancang tim kreatif. Dan seterusnya,
dan sebagainya.
Tanpa penggarapan secara saksama, iklan hanya akan jatuh ke salah
satu lubang kenistaan: membodohi publik atau mempertontonkan kebodohan diri
sendiri.
Kembali ke Bisnis Adiluhung
Kesetiaan pada nilai-nilai adiluhung selalu diajarkan
sebagai asas dalam menjalani profesi apa pun. Karakter fatanah, amanah, sidik, dan tablig (FAST—urutan semata-mata demi mendapatkan akronim ini) bukanlah sifat-sifat
baru—yang baru dimiliki ketika dinobatkan sebagai utusan Tuhan—bagi para nabi
dan rasul. Hamba-hamba pilihan itu menjadi model persons of character
sepanjang hayat mereka. Nabi pamungkas, misalnya, menjadi teladan FAST sejak
kanak-kanak, remaja penggembala, pemuda niagawan, hingga ketika menjadi suami
dan ayah, mahaguru agama, kepala negara/pemerintahan, sekaligus panglima perang.
Jadi, FAST itu menjadi panduan moral-etik bisnis duniawi maupun samawi.
Pelaku bisnis, apa pun produk barang atau jasanya, tidak
bisa melepaskan diri dari tanggung jawab moral-etik tersebut. FAST itu nilai-nilai
adiluhung yang diakui dan diterima di seluruh dunia (universal virtues).
Pada tataran das Sollen, nilai-nilai moral-etik tersebut menjadi standar
bisnis yang diajarkan di semua sekolah bisnis.
Selain pada ranah etik, bisnis adiluhung semestinya juga
mengejawantah dalam ranah teknis. Kalangan pakar dan praktisi pemasaran sudah
mengendus efek iklan yang kontraproduktif. Kehadiran iklan dalam segala media
melalui saluran apa pun kini lebih banyak dianggap sebagai pengganggu
kenyamanan. Spanduk dan baliho di sudut-sudut persimpangan jalan mengganggu konsentrasi
pengendara dalam memantau nyala lampu lalu lintas. Klip iklan televisi mengganggu
keseruan pemirsa dalam menikmati tayangan sinetron kesayangannya. Segala rupa
iklan yang menyelonong ke laman situs web mengganggu keseriusan pengunjung
dalam menelusuri informasi penting.
Akhirnya, WOM marketing kembali menjadi strategi pilihan.
Implikasi teknisnya, storytelling menjadi konten pemasaran yang dianjurkan.
Medianya boleh apa saja. Saluran publikasinya bisa segala kanal yang affordable.
Apa pun media presentasi dan saluran publikasinya, kontennya tetap storytelling,
menuturkan cerita. Dipandu oleh nilai-nilai FAST, materi ceritanya mesti
autentik.
Untuk menegaskan kewajiban mematuhi prinsip-prinsip
moral-etik tersebut, kiranya boleh dikenalkan diksi true-story telling. Materi
yang diceritakan bersumber dari liputan peristiwa faktual. Kontennya menyajikan
apa yang sudah atau sedang terjadi, bukan apa yang masih diimpikan.
“Your school brand is happening around you every day, and
it’s more than just a logo or hashtag. It’s your identity,” tulis Barrett
Goodwin dan Heather Palacios dalam The Comprehensive Guide to School
Marketing. “When your brand is working right, it has the power to
influence the way people think and feel about your school district for the
better.” (https://www.apptegy.com/guides/comprehensive-guide-to-school-marketing/)
Jenama (brand) sebuah sekolah itu terjadi setiap hari
di lingkungan sekolah itu sendiri. Jenama yang mengejawantah sebagai perilaku
keseharian warga sekolah itulah jati diri sekolah, yang lebih berharga daripada
logo atau tagar. Jika jenama benar-benar mewujud dalam budaya sekolah, daya
perbawanya dahsyat dalam membentuk pandangan dan kesan masyarakat terhadap
sekolah. Pada gilirannya, sekolah memperoleh citra yang semakin baik.
Penjenamaan (branding) sekolah dilakukan dengan
meliput—merekam, memotret, mencatat lalu menceritakan—kejadian-kejadian autentik
di ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, kantin, arena bermain, lapangan
upacara, toilet, dan semua spot yang ada di sekolah.
Konten Sesat atau Menyesatkan
“Syahwat” beriklan tidak jarang membuat gelap mata sehingga
terjerumus ke konten sesat atau menyesatkan. Berikut adalah beberapa contoh fake
contents yang perlu diwaspadai.
Miscasting – Salah peran (miscasting)
berpotensi muncul pada media foto dan video. Dalam sebuah klip profil sekolah,
misalnya, ditampilkan adegan dua orang siswa sedang memegang dan membuka (jangan-jangan
membaca?) buku. Adegan tersebut barangkali dimaksudkan untuk membangun brand
sekolah berbudaya literasi. Namun, apa kesan yang ditangkap penonton bila buku
yang dicomot untuk dipegang kedua model tersebut ternyata konsumsi guru: Brain-Based
Teaching, misalnya?
Daripada bersusah payah merancang dan membuat iklan foto
atau video terskenario, lebih baik energi seluruh warga sekolah didayagunakan
untuk berkreasi menciptakan konten-konten true-story telling. Kamera
ponsel selalu siaga untuk mengabadikan momen-momen inspiratif, edukatif, atau
menghibur yang berpotensi muncul di sela-sela aktivitas normal.
Tidak pantas untuk dilupakan, setiap foto dan video yang dipublikasikan—lewat
saluran apa pun—wajib disertai deskripsi yang menceritakan apa yang terjadi dan
apa amanat yang terkandung di baliknya. Seringkas apa pun, deskripsi itu
menjadikan setiap foto atau video itu bercerita, telling the true story.
Drama Duren Tiga memberikan pelajaran, narasi palsu
menyimpan bom waktu. Cepat atau lambat, secara vulgar atau diam-diam, kepalsuan
akan tercium dan terbongkar.
Disguised Claim – Klaim terselubung rawan
muncul pada iklan tahniah (ucapan selamat) kepada siswa atau warga sekolah
lainnya yang meraih prestasi bukan hasil binaan sekolah. Walaupun tidak ada kata-kata
yang menyatakan prestasi tersebut sebagai hasil besutan sekolah, publik awam akan
“membacanya” sebagai prestasi sekolah. Sebaliknya, publik yang skeptis akan mengejar
informasi apakah prestasi tersebut karya sekolah atau bukan. Di situlah trust
dipertaruhkan.
Jika iklan tahniah itu hanya beredar di kalangan internal,
tidak menimbulkan masalah. Namun, jika dipublikasikan ke luar, iklan semacam itu
harus disertai disclaimer. Matematika mengajarkan, lambang bilangan negatif
tidak boleh ditulis tanpa tanda negatif (-). Jika tanpa tanda, setiap angka pasti
dibaca sebagai bilangan positif.
Disclaimer itu tidak perlu dinyatakan dengan kalimat
penyangkalan, misalnya “Prestasi ini bukan hasil binaan UNDIT (Universitas di
Tembalang).” Negasi peran sekolah bisa dinyatakan secara implisit dan elegan,
misalnya “Terima kasih kepada Ananda Bambang Abimanyu, Ibu/Bapak Arjuna, dan Padepokan
Seni Plongkowati. Prestasi yang diraih Ananda Bambang turut mengharumkan nama
UNDIT.” Pengakuan kontribusi semacam itu, selain menghapus kesan klaim
terselubung, memiliki nilai psikologi komunikasi yang efektif dalam rangka nguwongake
(to engage) siswa, orang tua siswa, dan stakeholders lainnya.
Quotes – Kata-kata mutiara, dari mana pun
dikutip, sah dan bagus bila diedarkan di kalangan internal. Pitutur luhur yang
inspiratif dan edukatif itu dipakai sebagai nasihat, tausiah, atau pengingat bagi
warga sekolah. Namun, ketika diviralkan ke publik eksternal, quotes
adiluhung itu berpotensi menyesatkan opini. Audiens awam akan menganggap itu
sebagai nilai-nilai yang sudah diaktualisasikan sebagai budaya sekolah. Sementara,
audiens kritis akan mencibir, “Haluaaah, ... kaya yak yaka!”
Daripada membebani diri dengan kemungkinan mendapatkan cap jarkoni,
lebih elegan bila quotes yang diviralkan itu bersumber dari ucapan
pelanggan (siswa, alumni, atau keluarga mereka) yang mencerminkan kepuasan, pengakuan,
atau apresiasi terhadap sekolah. Itu true-story telling. Jadi, penjenamaan
sekolah dengan melibatkan seluruh stakeholders itu bukan tindakan haram.
Corey Whaley berpesan, “As your most valuable stakeholders, students can be natural
marketers for your schools.” (https://www.schoolceo.com/a/student-voice-in-school-marketing/)
Tidak ada larangan untuk memahami students pada pesan Whaley tersebut
sebagai ‘siswa-siswi dan keluarga mereka’.
Pendek kata, semua konten pemasaran semestinya hanya tell
the true stories about the school life. Menceritakan cerita yang sudah ada
tentu lebih simpel daripada mengarang cerita yang baru dikhayalkan. Khalayak
pasti lebih memercayai bukti daripada janji-janji. Semanis-manisnya janji punya
peluang untuk berubah menjadi cerita pahit.
Bagaimana?
Tabik.
Ternyata tetap ada "nilai" yg tidak berubah walau zaman terus berkembang & berubah: sidik, tablig, amanah, fatonah.
BalasHapusDaripada bingung memperkirakan tantangan ke depan bagi anak-anak iti apa, lebih baik "ngopeni" empat nilai ini, yg tetap eksis dlm segala perkembangan & perubahan zaman.