“There are only two lasting bequests we can give our children: roots and wings.” |
Setiap yang hidup akan mati. Demikian pula manusia. Setelah mati, manusia—mau tidak mau—melepaskan kepemilikan atas segala perbendaharaan yang semula dikuasainya. Hak kepemilikan dan pemanfaatan harta material dan imaterial yang ditinggalkannya itu berpindah kepada ahli waris. Salah satu pihak yang—karena pertalian darah—otomatis menjadi ahli waris adalah anak.
Harta warisan berpeluang menjadi senjata
untuk melapangkan masa depan penerimanya. Bagi ahli waris yang belum punya
penghasilan atau berpenghasilan kurang dari kebutuhannya, harta warisan dapat
menjadi sumber penghasilan. Dalam hal demikian, warisan berfungsi sebagai bekal
untuk menyambung hidup. Bagi ahli waris yang berkecukupan, harta warisan bisa dicadangkan
untuk keperluan tak terduga. Ahli waris yang memiliki keterampilan bisnis dapat
menjadikan harta warisan sebagai modal usaha sehingga mendatangkan keuntungan
lebih.
Apa pun fungsinya, harta warisan tidak
terjamin kelanggengannya. Difungsikan sebagai bekal, warisan kian hari kian
menyusut dan akhirnya—cepat atau lambat—akan habis. Disimpan sebagai cadangan,
sewaktu-waktu warisan bisa habis, atau setidaknya berkurang. Dijadikan modal
usaha pun, harta warisan berpeluang terkuras habis jika bisnisnya jatuh
bangkrut.
Adakalanya harta warisan—alih-alih menjadi
bekal, simpanan, atau modal—justru menjadi sumber petaka. Antarahli waris
saling bertikai memperebutkan hak waris hingga memutus tali persaudaraan. Dalam
banyak kasus, perselisihan yang dipicu pembagian harta warisan harus diselesaikan di
pengadilan. Bahkan tidak sedikit kasus perebutan warisan berujung pada
pertumpahan darah atarsaudara sedarah.
Pantas saja warisan juga disebut pusaka. Harta
warisan bisa menjelma pusaka (senjata) bermata dua. Bila jatuh ke tangan
orang-orang yang adil dan kanaah, harta warisan menjadi pusaka ampuh untuk
menyelamatkan ahli warisnya dari ancaman kemelaratan. Sebaliknya, bila jatuh ke
tangan orang-orang zalim dan rakus, harta warisan menjadi pusaka sakti untuk
melukai bahkan membunuh sesama saudara.
***
“There are only two lasting bequests we
can give our children: roots and wings.” Hanya ada dua pusaka abadi yang dapat
kita berikan kepada anak-anak kita: akar dan sayap. Tidak terlacak secara
pasti, siapa pencetus ungkapan bijak tersebut. Quote Investigator
mencatat sedikitnya tiga nama yang sering disebut sebagai sumber kutipan—dengan
redaksi beragam—yang sangat masyhur tersebut. Mereka adalah Henry Ward Beecher,
pendeta Kristen (1813—1887), William Hodding Carter Jr., jurnalis terkemuka
(1907—1972), dan Jonas Erward Salk, ilmuwan virologi (1914—1995).
Ketiga-tiganya berkebangsaan Amerika.
Hodding Carter sendiri menyandarkan
ungkapan tersebut kepada seorang wanita bijaksana—entah tokoh nyata atau
sekadar tokoh khayali. “A wise woman once said to me that there are only two
lasting bequests we can hope to give our children. One of these she said is
roots, the other, wings,” tulis Carter di bukunya Where Main Street
Meets the River (1935).
Siapa pun pencetusnya, kutipan tersebut
mengandung pesan yang dalam dan selalu relevan di segala zaman. Sering
terdengar ungkapan, anak adalah masa depan orang tuanya. Tidak rela masa
depannya suram, orang tua berlomba-lomba menyiapkan warisan terbaik untuk
anak-anaknya. Dengan warisan yang disiapkan sedini mungkin, anak-anak
diharapkan kelak lebih sukses daripada—setidak-tidaknya mempertahankan
kesuksesan—orang tua mereka.
Penyiapan warisan itu diawali dengan
pemilihan sekolah. Anak-anak dipilihkan sekolah yang dianggap sebagai tempat
pendadaran terbaik untuk mewujudkan impian orang tua mereka. Tidak bisa
disangkal, dalam banyak kasus, anak-anak menjadi wayang untuk mementaskan lakon
yang sudah diplot oleh ki dalang. Orang tualah dalang itu. Melalui rangkaian
pendidikan terbaik versi orang tuanya, anak-anak didesain untuk menjadi apa
kelak.
Keseriusan dalam menerbangkan anak-anaknya
adakalanya membuat orang tua lupa untuk mengenalkan kepada mereka jalan pulang
ke sarangnya. Sedemikian mudah anak-anak menemukan orbitnya untuk mengangkasa,
tetapi gagal mengenali jejak kakinya sendiri sebagai petunjuk dari mana mereka
lepas landas. Dalam konteks inilah, orang tua perlu merenungkan nasihat metaforis,
“Hanya ada dua pusaka abadi yang dapat kita berikan kepada anak-anak kita: akar
dan sayap.”
Akar menjelaskan jati diri seseorang: dari
mana ia berasal, siapa dirinya sejatinya, dan di mana jiwanya bersemayam.
Sementara, sayap memberinya kebebasan: melanglang buana, menjelajahi segala
keindahan yang dimiliki dunia, mengambil apa-apa yang selaras dengan
karakternya dan meninggalkan apa-apa yang tidak sesuai. Akar menjadi tumpuan
berpijak, sedangkan sayap memungkinkan ia mengeksplorasi keanekaragaman isi
dunia. (MBA Karlo, 21 Desember 2021)
Akar membentuk fondasi kepribadian
seseorang, menegaskan arti keberadaannya (sangkaning dumadi). Pengenalan
dan kesadaran akan jati diri itulah akar yang kelak menumbuhkan karakter. Pribadi
yang di dalamnya karakter mengakar kuat, menghadapi situasi apa pun tidak akan
menyimpang dari prinsip-prinsip hidupnya. Akar sekaligus menunjukkan ke mana
tujuan akhir hidupnya (paraning dumadi). Kapan pun ia menghadapi situasi
yang membuat bimbang—ketika harus memilih ini atau itu, mengikuti jalan sini
atau sana—akar memandunya untuk menemukan jalan yang benar.
Sayap memberi seseorang kebebasan dan
mengantarkannya mencapai kemandirian. Sayap memberikan kekuatan untuk
mengarungi dunia. Dari burung terbesar hingga serangga terkecil—sejak kali
pertama menjajal terbang—mereka harus terbang sendiri, tanpa sokongan siapa
pun. Induk segala jenis burung dan serangga membiarkan anak-anak mereka terbang
sendiri di udara, belajar sendiri bagaimana mengatasi gejolak angin dan cuaca.
Pengalaman menghadapi dan memecahkan berbagai masalah itu menjadi bagian proses
pendewasaan. Demikianlah kehidupan. Setiap manusia mesti sanggup menghadapi
dunia sendirian.
Burung-burung memiliki fitur sayap yang
berbeda satu sama lain. Fitur sayap tiap-tiap jenis burung dirancang untuk
kompatibel dengan gaya terbang yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan
menikmati kebahagiaan masing-masing. Kolibri yang bersayap kecil dan tipis
tidak perlu iri dengan elang yang bersayap lebar dan tebal. Kedua jenis burung
tersebut memiliki sumber kehidupan dan kebahagiaannya masing-masing.
Kolibri tinggal mengatur ritme kepak
sayapnya agar mudah menggapai nektar yang tersembunyi di dalam bunga bertangkai
lentur atau menangkap serangga-serangga kecil yang terbang rendah dan lambat. Naif
dan konyol jika induk kolibri memaksa anak-anaknya untuk memakai sayap elang
supaya bisa terbang, bertengger, dan bersarang setinggi anak-anak elang. Untuk
menikmati kodratnya secara bahagia, anak-anak kolibri tidak perlu diajari
mengintai mangsa dari tempat-tempat nun jauh di ketinggian.
Mengepakkan sayap secara efisien untuk
terbang secara efektif dan menjalani kehidupan secara wajar itulah kecakapan
yang mutlak harus dikuasai setiap burung. Demikian juga yang berlaku pada
manusia. Bedanya, burung memperoleh semua kecakapan itu melalui pewarisan
genetik, sedangkan manusia hanya bisa memperolehnya melalui belajar.
Pengetahuan burung tentang apa makanannya
dan di mana letaknya serta keterampilan untuk mendapatkan makanannya itu diilhamkan
langsung oleh Sang Pencipta. Sementara, manusia harus menjalani proses belajar
untuk mengenali bakat dan passion-nya, mengidentifikasi profesi yang
cocok dengan bakat dan passion-nya, mengembangkan kecakapan yang diperlukan
untuk menekuni profesi idamannya.
Yang tidak kalah penting, manusia dituntut
memiliki kepekaan mencerap gejala-gejala—alam dan sosial—di lingkungannya. Berbagai
gejala itu berpotensi menjadi peluang atau tantangan untuk sukses mewujudkan
visi dan misi hidupnya. Maka, tuntutan berikutnya adalah cakap merespons setiap
peluang dan tantangan. Dengan respons yang tangkas dan akurat, peluang dapat
dioptimalkan untuk melipatgandakan manfaat profesinya—bukan hanya bagi dirinya
sendiri, melainkan dapat dinikmati orang banyak. Tantangan dapat ditaklukkan
untuk menghilangkan, atau setidaknya mengurangi, risiko mudarat.
***
Inilah sejatinya fungsi pendidikan:
mengokohkan “akar” dan melatih resiliensi “sayap”. Dengan karakter yang berurat
berakar dalam kepribadiannya, seseorang akan selalu eling sangkan paraning
dumadi (sadar dari mana berasal dan ke mana kelak berpulang). Dengan kompetensi
yang mumpuni dan adaptif, ia akan selalu sigap menghadapi setiap perubahan
zaman.
Jika boleh diringkas, tugas pendidikan itu
hanya satu: mengembangkan kecakapan memecahkan masalah. Manusia memang ditakdirkan
sebagai problem solver. Itulah sebabnya, manusia diberi akal—peranti yang
tidak dimiliki binatang. Akal menjadi peranti utama untuk memecahkan masalah.
Untuk mencapai derajat cakap memecahkan
masalah, akal membutuhkan latihan berulang dan berkelanjutan. Menerima
kegagalan secara kesatria, lalu bangkit kembali secara gagah berani untuk
melakukan perbaikan, adalah proses alami. Pengalaman mengevaluasi kegagalan dan
mengimprovisasikan taktik dan strategi itulah yang akan mematangkan
kecakapannya dalam memecahkan masalah.
Bersama proses alami dalam berlatih
memecahkan masalah, anak-anak secara tidak sadar menginternalisasi nilai-nilai
karakter mulia. Untuk terampil berjalan—memecahkan masalah kebutuhan gerak—misalnya,
bayi menjalani proses belajar berbulan-bulan: mulai berbaring, tengkurap,
duduk, mengesot, merangkak, berdiri, titah, baru kemudian bisa berjalan. Selama
si bayi menjalani proses yang panjang itu, berbagai nilai karakter merasuk ke
dalam jiwanya: sabar, jujur, tangguh, pantang menyerah, tekun, disiplin,
berani, mandiri, dan sebagainya.
Pendidikan yang tidak mengkhianati kodrat
alam dan tidak terjebak pada budaya instan, dengan sendirinya berperan sebagai
kawah candradimuka. Anak-anak terdidik secara holistik agar tumbuh menjadi
kesatria-kesatria yang kuat karakternya dan sakti kompetensinya. Jika proses
pemerolehan kompetensi dibina secara alami dan manusiawi, beragam karakter
mulia dan unggul otomatis tertanam dan tumbuh subur di dalam pribadi anak
didik. Tidak perlu ada proyek khusus dengan embel-embel jenama sakral.
Ibu dan Bapak Guru, Ayah dan Bunda orang
tua siswa, selamat menyiapkan pusaka abadi untuk anak-anak amanah Ilahi.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar