20 Jul 2022

(Belum) Siap Dilaknat

 

Berubah total. Itulah kesan yang saya peroleh ketika kali terakhir bertandang ke tempat ini, Senin (18/07). Perubahan total itu makin kentara kalau dibandingkan dengan yang saya dapati ketika berkunjung kali pertama, 1990-an awal. Kala itu namanya masih Balai Penataran Guru (BPG) dan saya masih berstatus cantrik di sebuah kampus pelat merah. 

Kunjungan kedua baru saya alami sekitar satu dasawarsa kemudian, 2000-an awal. Kali ini saya sudah berstatus pengabdi di sebuah sekolah dasar. Namanya masih BPG. Bangunan dan lanskapnya juga belum mengalami banyak perubahan. Bak mandinya masih bersambung untuk beberapa kamar mandi dalam satu deretan.

Pada kunjungan saya yang ketiga (atau ke-4?), namanya sudah berubah menjadi Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan dan kemudian berubah lagi sedikit menjadi Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Gedung-gedung dan tata ruangnya sudah berubah hampir total. Hingga medio dekade 2000-an itu kehadiran saya di LPMP tak lebih sekadar tamu. Kami meminjam tempat dan sejumlah fasilitas yang ada di LPMP untuk melangsungkan kegiatan yang kami agendakan sendiri.  

Baru sejak paruh kedua 2005 saya hadir sebagai bagian dari kegiatan LPMP. Merasakan kehangatan rengkuhannya, saya menjadi ketagihan. Tanpa perlu menunggu undangan, saya sering bertandang. Hendak menghadap siapa, itu tidak penting. Kalau sudah sampai di sana, pasti ada orang yang bisa dan layak untuk ditemui. Ya, diksinya bukan lagi "menghadap", melainkan "menemui". Bahkan, pertemuan secara tidak sengaja dengan seseorang yang berpapasan di selasar pun bisa berlanjut menjadi pertemuan konsultatif yang sarat "gizi".

Tak urung, sejumlah widyaiswara humoris seperti Pak Slamet dan Pak Abadi—atau, bahkan, Pak Mul, widyaiswara utama setingkat profesor kalau di kampus—sering menjadi tempat curhat dadakan. Bagi saya, tidak penting apakah mereka mengenal saya atau tidak. Yang penting, mereka bersedia menerima saya sebagai klien, murid, atau bahkan lebih terasa sebagai anak, adik, atau sahabat.

Di antara sekian banyak ruang, yang hampir selalu saya singgahi adalah ruang kerja Pak Tartib. Lagi-lagi saya tidak merasa penting untuk hafal nomenklatur divisi dan jabatan beliau. Saya hanya tahu, beliau pimpinan di ruang itu. Bertemu dengan Pak Tartib atau tidak, ini yang selalu saya tanyakan: apa kegiatan terdekat yang bisa kami ikuti? Kalau ada Mas Bambang (almarhum) atau Mas Dar, saya bisa betah berlama-lama di sana. Dengan dua anak muda energetik—anak buah Pak Tartib—itu saya telanjur mengakrabkan diri sejak kali pertama berjumpa.

Dari 2005 sampai 2008/2009, tak berbilang kali saya menyambangi LPMP di Jalan Kyai Mojo, Srondol Kulon, Banyumanik, Semarang itu. Pernah juga saya meluncur ke sana pada jam makan siang. Di luar ekspektasi, di sana saya bertemu teman lama yang tengah mengikuti diklat. Dia berjalan menuju ruang makan. Kami berdua ngobrol sambil berjalan hingga masing-masing mengambil piring dan mengisinya dengan nasi, sayur, dan lauk lalu duduk berhadap-hadapan semeja.

Usai makan, si teman bertanya, "Kamu di kelas apa?"

"Kelas berat," jawab saya singkat.

"Sing genah!"

"Apa kurang genah? Tadi, kan, saya makan lahap sekali. Itu karena saya lapar kelas berat."

Dia tidak tahu bahwa kedatangan saya ke LPMP siang bolong itu semata-mata demi melampiaskan kangen nunut makan siang gratis. Kebetulan siang itu LPMP menghidangkan menu favorit saya: gudangan plus gereh layur.

Sejak 2009—setelah kembali menjadi bukan apa-apa—saya makin jarang bersaba ke LPMP. Hingga 2022 ini, jari sebelah tangan saja tidak habis untuk menghitung frekuensi kehadiran saya di unit pelaksana teknis Kemendikbudristek di bidang penjaminan mutu pendidikan ini. Dua kali saya ke LPMP untuk mengikuti kegiatan salah satu sekolah di lembaga kami, atas prakarsa Komite Sekolah. Selebihnya, beberapa kali saya datang untuk melepas kangen dengan teman sekolah yang sedang mengikuti kegiatan LPMP.

Awal Juni 2022 mencatatkan kehadiran perdana saya setelah LPMP berubah nama menjadi BBPMP. Lengkapnya, Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Jawa Tengah. Itu juga sekadar untuk kangen-kangenan dengan teman lama yang sedang mengikuti diklat Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM). Kurikulum Merdeka—yang, kesan saya, menjadi puncak rangkaian kebijakan Merdeka Belajar—memang lagi gencar disosialisasikan dan didiseminasikan ke semua jenjang dan jenis sekolah.

Kedatangan kedua, Senin, 18 Juli 2022. Ini bisa dibilang kunjungan serius meski hanya semiresmi. Saya sebut serius karena kunjungan ini menghabiskan waktu hampir satu bulan untuk mengeksekusi. Adalah kegelisahan saya yang menjadi pemantiknya. Hari itu, 22 Juni 2022, salah satu sekolah di lembaga kami melakukan kunjungan ke sekolah sejenjang di kota lain. Tujuannya, menimba ilmu implementasi Kurikulum Merdeka. Seketika saya merefleksi pengalaman ketika mengikuti sekolah kami yang lain—berbeda jenjang—melakukan kunjungan serupa beberapa bulan sebelumnya.

Dalam kunjungan selama sekitar tiga jam itu, saya merasa hanya disuguhi cerita bagaimana sekolah tuan rumah mengimplementasikan kurikulum baru tersebut. Itu pun hanya menyangkut sebagian kecil sektor teknis. Padahal, setiap desain kurikulum pasti punya kerangka pedagogis yang menjadi guidance bagi konstruksinya. Dugaan saya, takdir buruk yang menimpa kurikulum demi kurikulum di negeri kita selama ini lebih berakar pada kegagalan ruh pedagogisnya untuk menembus dan merasuki alam pikiran pelaksana kurikulum.

Kegelisahan itu membawa lamunan saya ke masa kemesraan bersama LPMP belasan tahun silam itu. Selama lebih kurang setengah windu itu LPMP menjadi rumah kedua. Berbagai macam diklat kami (saya atau sejawat) ikuti. Tidak jarang kami hadir sebagai peserta selundupan. Undangan disampaikan melalui jalur khusus. Bahkan, adakalanya kami bergabung dengan kontingen dari sekolah berbeda jenjang. Karena status selundupan itu, kadang kami menjadi satu-satunya peserta dari kota setempat.

Dari kerisauan itu saya tarik benang merah ke pertemuan saya dengan teman yang mengikuti diklat IKM dua pekan sebelumnya. Dia kepala sekolah, mewakili kecamatan. Dari kecamatan domisili sekolahnya, dia satu-satunya yang berangkat. Simpulan saya, tiap-tiap kecamatan mengirimkan seorang peserta. Saya tidak tahu, berapa kabupaten/kota yang berpartisipasi dalam diklat bersama teman saya itu. Dugaan saya, peserta diklat dibagi ke dalam beberapa gelombang hingga semua kecamatan di seluruh Provinsi terlayani.

Muncullah pertanyaan menggugat: mengapa sekolah kami tidak kebagian tiket? Jika batasan satu peserta per kecamatan menjadi alasannya, bukankah dulu kami biasa mendapat tiket istimewa? Apakah BBPMP sekarang sudah tidak punya selera seni menyelundupkan peserta diklat di luar kuota? Ah, daripada mereka-reka jawaban sendiri, mengapa tidak mengulang gaya sok akrab yang dulu melekat pada saya?

Pagi itu juga, Rabu (22/06) saya mengirim pesan pembuka percakapan kepada Mas Yuli. Beliau guru internet pertama saya. Ketika mengajarkan materi pemanfaatan internet dalam diklat pengembangan multimedia pembelajaran dulu beliau masih bujang. Salah satu pesertanya saya, yang sama sekali buta teknologi informasi. Satu-satunya yang saya bisa waktu itu adalah mengetik dengan Ms Word. Di diklat itu pula kali pertama saya membuat akun email, diajari Mas Yuli. Kini Mas Yuli menjadi Kepala BPMP (B-nya satu, tanpa "Besar"; satu eselon di bawah BBPMP) Provinsi Kalimantan Selatan.

Saya kirim juga pesan percakapan kepada Yu Mimin (Bu Suminarsih, widyaprada BBPMP Jateng—dulu widyaiswara, pada era LPMP). Beliau senior saya di sekolah tempat saya mengawali debut sebagai guru dulu. Kepada beliau saya sampaikan kegusaran beberapa teman sejawat dalam menyongsong IKM, yang sempat terdengar oleh telinga saya.

Membaca curhat saya, Yu Mimin sempat berseloroh, "Ketinggalan, dong?"

Predikat "ketinggalan" itu membuat saya makin tidak sabar. Segera saya kirim pesan kepada Pak Tartib. Saya sampaikan keinginan saya untuk menghadap beliau. Pak Tartib menjadi target untuk mengadu karena beliau salah seorang yang membidani kelahiran nota kesepahaman (MoU) antara LPMP dan lembaga kami. Pada 2000-an awal Pak Tartib (pejabat struktural LPMP) dan Pak Tuwuh (widyaiswara LPMP) berkuliah bareng dengan Pak Listyono (mantan kepala sekolah kami) di Pascasarjana UNNES. Dari interaksi mereka bertiga di ruang kuliah, lahirlah MoU itu.

Berbekal MoU itu pula saya dulu kumawani berakrab-akrab ria dengan LPMP. Sebenarnya saya tidak tahu isi detail MoU. Maklum, ketika MoU ditandatangani saya masih unyu-unyu di sekolah kami. Saya hanya berangkat dari keyakinan, LPMP bersedia bermurah hati. Lalu keyakinan itu saya kaitkan dengan kesadaran akan kebutuhan utama kami: pemberdayaan SDM. LPMP punya kapasitas dan kapabilitas untuk membantu memenuhi kebutuhan itu.

Lamaran saya untuk sowan diterima Pak Tartib dengan tangan terbuka. Sayang, beliau sedang bertugas di luar kota sampai beberapa hari ke depan. Beliau memberikan estimasi waktu pertemuan setelah 5 Juli. Saya tunggu-tunggu, tak kunjung hadir berita dari Pak Tartib. Setengah menagih, Kamis (14/07) saya menanyakan, kapan bisa diterima menghadap. Beliau mengagendakan Senin (18/07). Namun, beliau tidak bisa menerima secara langsung dan mendelegasikan Bu Ratna untuk menerima kami.

Bu Ratna itu nama yang belum saya kenal. Kepercayaan diri saya sedikit terganggu. Bukan lantaran saya dan Bu Ratna belum saling kenal, melainkan lantaran keraguan ini: apakah Bu Ratna mengetahui MoU antara LPMP dan lembaga kami? Untuk antisipasi, saya minta tolong staf sekretariat Yayasan untuk mencarikan arsip nota kesepahaman itu. Salinan naskah itu akan menjadi bekal berguna bagi saya jika kelak Bu Ratna menanyakan hal-hal yang termaktub di dalam MoU.

Alhamdulillah, hingga menjelang keberangkatan ke BBPMP, saya belum memperoleh salinan MoU. Praktis, saya tidak siap menjelaskan cakupan MoU jika Bu Ratna menanyakannya. Bismillah, saya mesti berangkat ke medan perang dengan senjata pamungkas: niat. Apa pun yang terjadi, kesudahannya akan ditentukan oleh niat saya sowan ke BBPMP.

Masih beruntung, ketiadaan senjata fisik itu tidak disempurnakan dengan nglurug tanpa bala. Semula, rencananya saya dikawal pasukan trisula: Pak Kambali (kepala sekolah), Bu Wiwik (guru), dan Bu Naela (guru, wakil kepala sekolah). Namun, rupanya takdir-Nya berkehendak lain: Bu Naela batal turut serta karena anaknya sakit. Demi Bu Wiwik tetap bisa ikut, Pak Kambali menugaskan Mbak Ambar (staf TU) untuk menggantikan Bu Naela. Walaupun hanya peran pengganti, kontribusi Mbak Ambar cukup penting mengingat Bu Wiwik tidak bisa mengendarai sepeda motor.

Jadilah Senin (18/07) siang itu, dengan izin dan restu Direktur, kami berempat melakukan lawatan silaturahmi ke BBPMP Jawa Tengah. Jarak dari markas kami ke BBPMP kurang dari 2 km. Pukul tiga belas lebih sedikit kami baru berangkat. Sedianya Pak Kambali mengajak berangkat sekitar pukul 12.30, mengikuti arahan Pak Tartib—sehabis zuhur. Saya mengundurkannya. Perkiraan saya, jam istirahat berlangsung sampai pukul 13.00.

Sejak memasuki gerbang BBPMP, perubahan total itu langsung terasa. Oleh petugas keamanan yang berjaga di gerbang, kami ditanya: dari mana, hendak menemui siapa, apakah sudah membuat janji, dan terakhir nama saya—mungkin karena saya berlagak seperti komandan regu. Setelah semua pertanyaan terjawab, petugas menjelaskan prosedur yang harus kami tempuh.

Mengikuti arahan petugas, kami memarkir motor di belakang Gedung Ki Hajar Dewantara—bangunan paling depan, menghadap ke gerbang. Dari tempat parkir, kami berjalan kembali ke depan, menuju meja resepsionis. Dua orang petugas melayani keperluan kami. Kelas hotel, batin saya. Dari meja resepsionis kami diantar ke ruang Unit Layanan Terpadu (ULT), ruang terdekat dengan resepsionis, di gedung yang sama.

Di ruang ULT kami disambut oleh petugas front desk, lalu diantar masuk ke ruang tamu, yang masih kosong. Kami disilakan duduk menunggu yang hendak kami temui: Bu Ratna. Beberapa saat kemudian masuklah seorang ibu-ibu, pegawai BBPMP. Belum sempat saya konfirmasi apakah beliau Bu Ratna, yang bersangkutan lebih dulu memperkenalkan diri: Bu Yani, dari Bagian Umum. Beliau mengabarkan, Bu Ratna sedang dalam perjalanan menuju ULT. Sembari menunggu Bu Ratna, kami berbincang sekenanya.

Tidak berselang lama, Bu Ratna rawuh, memperkenalkan diri. Saya pun membalasnya dengan memperkenalkan seluruh anggota pasukan. Belum tuntas perkenalan kami, datanglah seorang pegawai. Perempuan muda itu menawarkan kepada kami: menghendaki minum apa? Masyaallah, amat tersanjung rasanya. Sangat berbeda dari yang biasa saya alami dulu: masuk area, melewati gerbang tanpa pertanyaan, memarkir motor sesuka hati, bebas menuju ruang mana pun seantero LPMP, bertemu dan jagongan dengan siapa pun di mana pun jadi, menikmati suguhan apa pun yang sudah tersedia atau tidak menjumpai apa-apa.

Ada perasaan canggung. Kami merasa mendapat perlakuan berlebihan. 

Sampai-sampai Pak Kambali bertanya dengan lugasnya, "Ini kami diterima dengan sambutan semulia ini, ini karena kami datang bersama Pak Teguh atau memang SOP-nya begini?"

Bu Ratna dan Bu Yani bergantian menjawab bahwa itu sudah menjadi standar layanan BBPMP Jateng. Tak sengaja, pertanyaan Pak Kambali itu memantik penjelasan bahwa BBPMP Jateng, sejak masih bernama LPMP, telah menerima berbagai penghargaan dari Pemerintah. Selain penghargaan sebagai Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK), dari Kementerian PAN-RB juga telah dianugerahkan penghargaan Pelayanan Prima. Itu melengkapi koleksi penghargaan dalam bidang-bidang yang lain. Pantas saja, LPMP Jateng dinobatkan sebagai LPMP terbaik se-Indonesia.

Setelah berbasa-basi secukupnya, saya mewakili rombongan kecil itu menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami. Gayung bersambut. Ada cerita dari Bu Ratna yang membuat saya ngelus dhadha. Bu Ratna adalah ibu bagi dua orang alumni SMP di lembaga kami. Ketika masih menjadi orang tua murid, beliau pernah menawarkan jasa LPMP kepada guru di SMP kami. Namun, tawaran itu tidak mendapat respons memadai.

Alhamdulillah, kehadiran kami diterima oleh dua insan BBPMP yang cukup mengenal lembaga kami. Bu Ratna orang tua dua alumni, sedangkan Bu Yani saat ini adalah orang tua murid kelas VIII SMP kami. Patut disyukuri, rupanya Bu Ratna dan Bu Yani memang diutus untuk menjadi jawaban yang klop dengan niat kami. Kegagalan bertemu dengan Pak Tartib—karena beliau mendapat tugas yang lebih penting dan mendesak—sama sekali tidak mengurangi bobot, nilai, dan manfaat bagi kami. Toh sejak awal saya yakin, siapa pun elemen LPMP/BBPMP Jateng adalah insan yang layak untuk kami percaya sebagai "orang tua asuh", lebih dari sekadar mitra.

Untuk diselundupkan dalam diklat IKM, tampaknya kami sudah terlambat. Jadwal diklat untuk seluruh angkatan sudah berakhir dua minggu sebelum kami datang. Namun, pemahaman tentang IKM bukan satu-satunya kompetensi yang kami butuhkan. Masih banyak dan akan terus bertambah banyak dinamika pendidikan yang menuntut pengembangan kompetensi dan penguatan kapasitas secara terus-menerus agar kami selalu siap beradaptasi dan survive dalam menghadapi segala perubahan zaman.

Kehadiran Kurikulum Merdeka hanya lantaran untuk menegur saya: semestinya sudah dulu-dulu saya mengantar junior-junior sejawat untuk mengenal dan dikenal oleh LPMP. Ternyata dorongan untuk merawat jalinan silaturahmi dengan mitra itu tidak cukup disampaikan melalui pesan lisan. Saya mesti mendemonstrasikan pesan itu dengan menggerakkan kaki.

Baiklah, saya sudah menyadari dan menebus kesalahan saya. Mudah-mudahan alam semesta tidak jadi mencatat nama saya sebagai pelaku pemutusan silaturahmi antara lembaga kami dan BBPMP. Bagaimanapun, saya masih takut untuk menjadi sasaran laknat-Nya gara-gara memutus silaturahmi.

Langkah kaki saya itu masih teramat kecil dan baru sampai di garis start. Mudah-mudahan ada langkah-langkah lanjutan untuk membawa sekolah-sekolah kami berlari kencang meniti lintasan kemajuan bersama BBPMP Provinsi Jawa Tengah. Tentu, itu di luar jangkauan kapasitas saya. Semoga.


Tabik.

2 komentar:

Populer