Ki-ka: Wawang, Cahya, Gw, Firdaus, Bari. Fotografer: Warto. |
Wonogiri, 26 Desember 2021
Semestinya hanya saya yang sampai ke rumah itu, dusun itu, pagi itu. Malam sebelumnya, kemenakan saya punya hajat: memanjatkan doa bersama beberapa orang tetangga dekatnya. Saya diminta hadir untuk mengaminkan doa-doa tulus mereka. Hari-hari itu janin di rahim istrinya menginjak usia empat bulan.
Mendapat undangan dari kemenakan itu, saya ingat Ndan
Wawang. Personel satuan pengamanan di salah satu unit sekolah kami itu pernah
menyampaikan keinginannya untuk melihat rumah batu. Ya, rumah unik di
Tirtomoyo, Wonogiri yang sempat viral itu mengundang penasarannya. Maka, saya
tawarkan kepadanya untuk menemani saya memenuhi undangan kemenakan. Janji saya,
esoknya ganti saya temani dia mengunjungi rumah batu.
Rupanya Ndan Wawang kurang percaya diri untuk hadir sebagai
satu-satunya orang asing di keluarga saya. Dia menyodorkan satu nama untuk
diajak serta: Pak Bari. Pensiunan petugas kebersihan yang sudah kembali
bermukim di kampung halamannya itu saya tawari. "Siap," jawabnya.
Lalu kami buat jadwal perjalanan. Berangkat dari Semarang Sabtu (25/12) pagi,
langsung ke Tirtomoyo. Dari rumah batu, bisa mampir ke sejumlah objek di
Tirtomoyo dan sekitarnya. Sore bertolak ke Praci, tanah kelahiran saya. Ahad
(26/12) pagi agak siang kembali ke Semarang. Rute bisa dibelokkan ke
Gunungkidul untuk mampir ke pantai.
Iseng-iseng saya tawarkan rencana itu kepada taman-teman
bala SKSD. Empat orang menyatakan kesediaannya: Mbah Purnadwija Warto, Pak Guru
Firdaus, Mas Guru Cahya, dan Mas Guru Syarif. Mbah Warto adalah pensiunan guru
di sekolah kami. Pak Firdaus guru senior. Mas Cahya guru muda dan masih bujang.
Mas Syarif pensiun prematur dari sekolah kami dan sekarang menjadi guru di
kampung asalnya, Rembang.
Tambah peserta tambah agenda. Ada yang ingin bermalam di
Nglanggeran, desa wisata yang punya gunung purba dengan tebing-tebing batu
menjulang berpahat eksotis karya Sang Maha Pencipta. Jadwal pun berubah.
Berangkat dari Semarang Jumat (24/12) sore, sekitar pukul 5. Sambil
beristirahat bisa menikmati wisata kuliner di Klaten: wedang jahe gepuk gula
batu. Setelah agak kenyang (tak boleh sampai kekenyangan) lanjut ke Gunung
Purba. Pagi (Sabtu, 25/12) dihabiskan untuk menikmati pesona Nglanggeran.
Setelah khatam, bertolak menuju Pantai Siung, dari ujung barat laut ke ujung
tenggara Kabupaten Gunungkidul. Menjelang sore bertolak ke Praci. Ahad (26/12)
pagi lanjut ke Tirtomoyo, siang agak sore kembali ke Semarang.
Hingga H-1 (23/12) siang, jadwalnya masih seperti itu. Baru
sorenya mendadak berubah. Bro Wahyu-lah biangnya. Mantan guru olahraga
itu kebelet ikut, tapi pukul 5 sore baru keluar dari ruang
kerjanya di Kudus. Pria asli Kudus itu tidak bertahan lama di sekolah kami
lantaran hatinya terpikat gadis sejawat. Aturan di tempat kami, suami istri
tidak bisa sama-sama mengabdi di satuan kerja senaungan Yayasan. Kami, tujuh
personel yang sudah terdaftar terdahulu, berunding lalu sepakat: berangkat
selepas isya.
Di pengumuman tertulis: berangkat pukul 19.18. Pak Bari
diminta pukul 8 malam sudah siap di Salatiga. Praktiknya, pukul 8 kami baru
menstarter motor, bersiap meninggalkan markas di Srondol Wetan, Banyumanik,
Semarang. Entah berapa lama kami menelantarkan Pak Bari dalam ketidakpastian.
Beliau tidak ber-HP. Koordinasi selama masa persiapan dilakukan lewat HP
anaknya. Selepas isya anaknya sempat mengabarkan, Pak Bari sudah berangkat dari
rumah di Susukan—seberang Salatiga dari arah Semarang.
Praktis, jadwal penerbangan, eh, perjalanan Jumat malam itu
berubah total. Sekali lagi, itu gara-gara Bro Wahyu. Dan gara-gara Bro Wahyu
pula, kami tidak kebagian guyuran hujan sepanjang perjalanan
Semarang—Nglanggeran. Padahal, aspal dan beton dari Klaten hingga Nglanggeran
masih basah ketika kami lalui. Dapat dipastikan, hujan belum lama reda.
Sisa-sisa aliran air di tepi jalan menjadi tengara bahwa hujan yang baru saja
reda itu cukup lebat. Keterangan petugas di loket masuk kawasan puncak gunung
api purba Nglanggeran membenarkan dugaan itu. Bro Wahyu mesti bertanggung jawab
atas ketakterpakaian jas hujan kami.
Setiba di loket itu kami dihadapkan pada dua pilihan:
berjalan kaki ke puncak gunung api purba itu atau bersepeda motor ke puncak
bukit sebelahnya. Kami pun berunding untuk menentukan pilihan. Golongan
senior—dua di antaranya bahkan veteran—setelah mengalkulasi saldo stamina plus
sisa kekuatan otot dan tulang memutuskan: mendaki yang bisa ditempuh dengan
kendaraan saja. Kelompok junior abstain, manut apa pun keputusannya. Saya tidak
berani menduga-duga apakah sebenarnya mereka punya pilihan berbeda tapi rela
berkorban demi menghormati kaum tua.
Jadilah kami berdelapan menghabiskan sisa malam yang tinggal
kurang dari separuh itu di pendapa gerbang pendakian gunung api purba.
Pengelola desa wisata Nglanggeran berhati mulia. Kami diizinkan memanfaatkan
segala fasilitas yang ada di sana: tikar berlembar-lembar, lampu penerangan,
arus listrik untuk mengecas baterai HP, kamar mandi, air keran yang jernih dan
dingin. Satu yang saya sesalkan: mereka tidak nyambi berjualan
kopi.
Selepas subuh kami pamit kepada petugas untuk menjajal jalur
pendakian ke puncak bukit Kampung Pitu. Lumayan moderat. Tingkat kecuramannya
tidak ekstrem. Jalannya dikeraskan dengan blok beton. Setelah melewati kampung
teratas, tantangan mengadang: jalan berupa tanah basah nan licin. Beberapa kali
roda-roda motor kami terpeleset. Ada yang sampai roboh. Ban-ban berlepotan
lumpur. Namun, tantangan hadir bukan untuk dihindari, melainkan untuk
ditaklukkan.
Akhirnya kami sampai di puncak. Batu purba menghampar. Watu
Bantal, julukan yang diberikan oleh warga setempat kepadanya. Ini rekaman
bukti kehadiran kami di sana.
Beruntung, sudah ada dua remaja putri bertengger di puncak
Watu Bantal ketika kami tiba. Tanpa malu-malu kami minta bantuan mereka untuk
mengabadikan kegembiraan kami. Lalu salah seorang dari keduanya merekam tingkah
kegirangan kami. Tak ayal, kami bisa tampil dalam formasi lengkap di video
singkat itu.
Kekurangberuntungannya juga ada: kabut pekat menghalangi
pandangan kami untuk menyaksikan pesona alam yang terbentang amat luas di
sekeliling Watu Bantal. Aneka ekspresi kekecewaan sempat terungkap lewat lisan
dan solah kami. Sekitar setengah jam kemudian, kabut mulai berarak pergi
meninggalkan kawasan bukit. Perlahan-lahan kami dapat melihat puncak dwiarga
Merapi-Merbabu di sisi utara; sketsa Gunung Lawu di timur laut; pantulan cahaya
di atas Laut Jawa yang merupa permadani keperakan membentang dari sisi tenggara
hingga selatan; dan tentu, hamparan sawah, ladang, kebun, dan permukiman di
segenap penjuru, yang dekat maupun yang jauh. Serasa terbayar lunas kepayahan
kami dalam mengendalikan kemudi agar motor tetap bisa melintasi kubangan lumpur
pekat nan licin.
Turun dari Watu Bantal, kami memacu kuda besi menuju embung.
Sepanjang perjalanan, mata kami tergoda oleh dinding batu menjulang yang
membentang panjang di sisi kiri. Sebentar-sebentar kami menoleh, menatap takjub
pahatan adikarya nircela di tebing kokoh nan perkasa yang memadukan kesan
angkuh tapi sekaligus anggun.
Untuk mencapai embung, kami harus menapaki sekitar 130 anak
tangga. Sampai di puncak, kami "hanya" disuguhi kolam semiraksasa
yang berfungsi menampung air hujan. Hanya mata yang bisa menikmatinya.
Pengunjung tidak dibolehkan berbasah ria menceburkan badan ke airnya. Tak
mengapa. Gagal bercengkerama dengan air embung, kami mencari target lain:
penjaja kopi di tepi kolam. Sayang, sepasang suami istri pemilik warung kopi
itu kurang bermurah mulut. Kami tidak mendapatkan cerita yang tersembunyi di
balik eksotisme gunung api purba Nglanggeran.
Dari Nglanggeran, enam sepeda motor berpenumpang delapan
orang dipacu menuju Pantai Siung di sisi tenggara Kecamatan Tepus, Gunungkidul.
Di sinilah kami meluapkan emosi kekanak-kanakan: jeguran. Durasi
dua jam terasa kurang, tapi kami harus memangkas nafsu yang tak pernah
berujung. Kami harus sudah sampai di rumah Kakak sebelum hari beranjak gelap.
Kepentingan Bro Wahyu juga mesti dipertimbangkan. Dari Siung ia harus berpisah
dari rombongan, tidak ikut melanjutkan tur berikutnya. Ia harus kembali ke
Semarang karena esoknya akan berangkat pagi-pagi ke Kudus bersama keluarganya.
Selepas Desa Girisubo, Kecamatan Rongkop, tibalah kami di
jalan baru: jalur pantai selatan (pansela) Jawa. Jalan yang lebar dan mulus
membuat kami lupa aturan. Batas kecepatan maksimal 80 km/h—yang kami
sepakati—dilanggar. Hanya satu pesawat yang masih patuh: WinAir. Sekencang apa
pun roda berputar, jarum spidometer tetap menunjuk angka 50! Mas Guru Syarif
boleh saja melapor: pernah mengejar WinAir dengan kecepatan hampir 90 km/h.
Tapi itu tetap tidak sahih karena alat ukurnya spidometer di motornya sendiri,
bukan yang di WinAir.
Kecelakaan sering berawal dari pelanggaran terhadap aturan.
Gegara mencicipi ngebut sepanjang jalur Rongkop—Pracimantoro itu, sebuah
insiden menimpa salah satu kendaraan: motor metik Mas Guru Syarif beserta
pengemudi dan penumpangnya terhalang lampu merah, 3 km sebelum sampai tujuan.
Empat motor yang lain sudah menyeberang ketika lampu hijau masih menyala.
Akibatnya, dua anggota itu tertinggal rombongan.
Kami berlima langsung masuk ke halaman rumah Kakak, tanpa
mengetahui ada anggota yang tertinggal. Setelah memarkir kendaraan, baru kami
menyadari: kurang satu unit. Ketika ditelepon, mereka tidak bisa menyebut nama
daerah mereka berada. Demi kemudahan, kepada mereka dikirimlah peta petunjuk
posisi kami (share location) via WhatsApp. Kami
menanti di pinggir jalan di depan rumah. Beberapa menit kemudian mereka tiba
dari arah timur (berlawanan arah). Artinya, mereka kebablasan.
Mas Guru Syarif sedang menjalani peran yang seolah-olah
sudah menjadi tradisi kami. Dalam setiap perjalanan tur, hampir selalu ada yang
"hilang" dari rombongan. Bahkan, dalam tur terakhir sebelumnya
(01/01/2020) kami tercerai menjadi tiga tim. Bila dibuat statistik, Mbah Warto
menempati urutan tertinggi dalam frekuensi lepas dari rombongan. Kebetulan
(menurut kacamata makhluk) pada tur kali ini Mas Guru Syarif memboncengkan Mbah
Warto.
Sabtu (25/12) malam, selepas isya kami berbaur dengan
keluarga dan tetangga-tetangga keponakan saya. Bahkan Pak Firdaus—yang semula
kami tinggal di istana Simbok karena sudah lelap tidur—pun akhirnya terjaga dan
menyusul kami. Barangkali ada malaikat yang diutus untuk membangunkan beliau
demi turut melangitkan doa-doa terbaik untuk calon cucu ke-9 saya, calon ibu
yang mengandungnya, dan seluruh keluarga besar kami.
Usai hajatan, kami kembali ke homestay: rumah
Simbok. Walau di rumah orang, modus tidur kami seperti ketika bermalam di
pendapa gunung api purba Nglanggeran: beralaskan tikar plastik, tanpa bantal.
Begitulah cara tidur orang kecapaian agar tidak terlalu pulas sehingga tidak
bangun kesiangan. (Pokoknya, demi menutupi kekurangan harus dicari-cari alasan
yang berkesan masuk akal.)
Ahad (26/12) pagi setelah membersihkan badan, kami
kedatangan tamu tak diundang: penjaja sarapan keliling. Nasi bungkus berlauk
gudangan dan mi plus kering tempe menjadi santapan pagi kami. Setelah
berpamitan kepada Simbok dan keluarga kakak-kakak saya, kami meluncur ke
Tirtomoyo. Objek wisata alam plus spiritual Kahyangan di Desa Dlepih menjadi
destinasi yang kami singgahi sebelum menuju rumah batu di Desa Genengharjo.
Lunas sudah empat kepentingan: memanjakan mata di kawasan
desa wisata Nglanggeran, menumpahkan kejenuhan akibat terpenjara Covid-19 di
Pantai Siung, urun doa untuk keluarga keponakan saya, dan membuktikan keunikan
rumah batu.
Mewakili keponakan, Kakak, dan keluarga besar kami, saya
sampaikan terima kasih kepada semua anggota pasukan. Kehadiran kalian membuka
pintu berkah bagi kami. Doa kalian sungguh semakin membesarkan harapan kami.
Mengiringi permohonan maaf atas kekuranglayakan penyambutan kami, tebersit
harapan: semoga kalian tidak kapok mampir ke istana-istana kami.
Ndan Wawang, disampaikan apresiasi khusus atas kebesaran
hatimu untuk rela bertukar jadwal piket demi membersamai kami, utamanya saya.
Bro Wahyu, Mas Guru Syarif, dan Mas Guru Cahya, apresiasi
pantas untuk disampaikan kepada kalian, yang tidak sungkan dolan bersama
kaum "senior" yang mulai banyak rewel. Bro Wahyu dan Mas Guru Syarif
luar biasa. Kalian berdua melanggengkan jalinan silaturahmi meski kebersamaan
dengan kami dalam hubungan kerja terbilang sangat singkat. Apresiasi
spesial untuk Bro Wahyu: dirimu menjadi lantaran bagi terhindarnya kita dari
terpaan hujan sepanjang perjalanan Klaten—Nglanggeran.
Pak Firdaus, sepasang jempol untuk Anda. Elemen baru yang
punya semangat prima dalam meramaikan agenda SKSD.
Pak Bari luar biasa. Di tengah keterbatasan sarana
komunikasi, sampean selalu sigap dan siaga menyambut undangan
untuk sejenak keluar dari rutinintas pekerjaan sehari-hari.
Last but not least, Mbah Warto sangat tidak
layak untuk tidak disebut. Hingga setelah pensiun, peran panjenengan masih
seperti sebelumnya: setia menyulut obor spirit kebersamaan kita.
Dengan makin kaya ragam unsur yang terlibat dalam
aktivitasnya, SKSD berhak menambah koleksi kepanjangannya: Sepisan
Kekancan, Selawase Dumulur.
Tabik.
Masya Allah, rasanya pengin turut serta berpetualang bersama rombongan SKSD. Apalagi kepanjangannya bertambah menjadi lebih hangat. Jiwa petualangan dan "liar mata" untuk menikmati ciptaan Sang Maha Indah serasa protes. Mengapa tidak ada peserta female? Oke lah... Aku terima, saat ini baru sebatas menikmati indahnya alam yang diceritakan dan asiknya petualangan mereka sambil "ngeces". Namun aku yakin, jika Sang Maha Pengasih memberi izin pasti akan memberiku kesempatan untuk sampai ke desa Sang Tokoh, Praci... Hebat, stamina yang fit. Fit terus pokoke...
BalasHapusAmin.
Hapus