16 Jan 2025

Jika Saya Jadi Presiden

The prospective president by ChatGPT

Semula saya hendak menjuduli tulisan ini “Seandainya Saya Menjadi Presiden”. Setelah saya pikir ulang, dua kata yang saya miringkan itu menyiratkan pesimisme. Kata seandainya berkonotasi mustahil. If clause tipe 3, kalau di dalam gramatika bahasa Inggris. Pengandaian yang kedaluwarsa. Kata menjadi mengindikasikan ketiadaan usaha yang serius.

Akhirnya saya pilih kata jika untuk menggantikan seandainya. Sama-sama conditional sentence, kesan optimismenya kentara. Toh seandainya (kok kembali ke seandainya lagi?) saya gagal dalam dua kali pemilu ke depan dan baru berhasil pada pemilu berikutnya, usia saya pada 2039 belum setua seseorang ketika memenangi kontestasi ke-3 setelah kalah dalam dua pertarungan berturut-turut sebelumnya. (Saya sengaja membuat kalimat ini berpanjang-panjang ria agar tidak cepat dipahami. Agak ngeri-ngeri sedap—pinjam mantranya siapa itu dulu—sih.)

Kata jadi mengisyaratkan keseriusan usaha untuk mewujudkannya: mencalonkan. Kalau mencalonkan, kan, ada harapan untuk jadi calon jadi. Kalaupun tidak jadi, setidaknya sudah pernah jadi calon. Kalaupun benar-benar tidak jadi presiden di negara yang sudah ada, ya, apa susahnya membuat “negara” baru? Lalu menobatkan diri sebagai presidennya. Sastrawan ngapak Wanto Tirta jadi Presiden Geguritan dan tidak ada yang menggugat. Sujiwo Tejo melenggang tenang jadi Presiden Jancukers. Sutardji Calzoum Bachri sukses jadi Presiden Penyair Indonesia—bahkan berani memakai nama negara yang sudah ada sebelumnya.

Tunggu dulu! Sebelum (mengkhayalkan) jadi presiden, saya ingin mengenang legenda sopir truk pada masa kecil saya. Namanya entah. Orang-orang di kampung saya memanggil beliau Pak Cidit. Perawakannya sedang. Tidak begitu tinggi, agak kurus. Usianya kira-kira sepantar bapak saya. Bapak sudah meninggal 23 tahun yang lalu. Mungkin Pak Cidit juga sudah bergelar almarhum. Al-marḥūm itu doa ‘semoga beliau dirahmati’.

Pak Cidit sering menyaba kampung kami. Ketika ada orang membutuhkan truk untuk mengangkut bahan bangunan, hampir pasti Pak Cidit yang datang. Truknya lumayan besar. Truk tua tapi perkasa, seperti sopirnya. Baknya terbuat dari kayu. Sebagian sudah geripis. Kepalanya masih bermoncong. Untuk menghidupkan mesinnya masih memakai engkol yang diselusupkan dari bawah moncong.

Saya yakin, Pak Cidit tidak bisa membuat truk. Beliau juga—masih menurut keyakinan saya saja—tidak tahu bagaimana rumus perancangan mesin untuk menghasilkan tenaga dengan besaran tertentu. Beliau tidak paham bagaimana merangkai komponen-komponen mesin yang bisa hidup dengan diengkol itu. Beliau tidak mengerti tetek bengek rekayasa dan reka cipta truk yang menjadi sarana menghidupi keluarganya dan membantu banyak orang itu.

Pak Cidit tidak tahu banyak dan tidak terlibat dalam pembuatan truk yang setiap hari beliau operasikan. Akan tetapi, beliau piawai mengemudikan gerobak raksasa bermesin perkasa itu. Beliau lihai mengendalikan arah dan laju kendaraannya. Ketika berangkat untuk mengambil tepung batu kapur yang dikeruk di perbukitan sebelah barat daya kampung kami, truk kosong harus melintasi ladang berbatu dan—di musim hujan—berlumpur, lalu mendaki lereng cadas nan terjal. 

Setelah terisi grêgês (sebutan masyarakat setempat untuk tepung kasar dari batu kapur), truk sarat muatan itu perlahan menuruni lereng curam dan kembali menerobos ladang garang. Memasuki kampung, truk harus menyusuri gang-gang sempit yang “topping”-nya batu padas dengan montase yang tidak rapi dan tidak rata. Untuk mencapai lokasi pembongkaran muatan, truk bongsor itu juga harus menaklukkan tikungan-tikungan siku dan sempit.

Pak Cidit, yang buta arsitektur truk itu, sukses menunaikan misi pengambilan dan pengantaran grêgês dari lokasi pemuatan ke tempat pembongkaran. Beliau memang tidak tahu rancang bangun sistem transmisi truk, tetapi paham kapan harus pindah persneling. Beliau memang tidak ikut merakit perangkat kemudi truk, tetapi intuisinya cukup tajam untuk menentukan seberapa putaran roda kemudi yang diperlukan untuk membelokkan badan truk secara presisi. Beliau boleh jadi tidak paham ukuran tekanan ban, tetapi cukup “têngèn” untuk mendeteksi gejala ban yang perlu dipompa.

Nama Pak Cidit, yang bukan insinyur mesin—bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan teknik otomotif di STM (sekarang SMK)—itu, melegenda di kalangan masyarakat kampung kami, setidaknya sampai generasi saya. Truk ampuan Pak Cidit—saya lupa mereknya—itu belum tentu mampu mencapai performa sehebat itu kalau dikemudikan oleh insinyur ahli yang merancangnya atau mekanik terampil yang merakitnya.

Para perancang dan perakit itu boleh memiliki kualifikasi, kompetensi, dan komitmen optimal dalam perancangan dan pembuatan truk. Kontribusi mereka mutlak dibutuhkan dalam proses produksi truk yang andal. Sopir semahir Pak Cidit akan gagal menunaikan misi transportasi secara tuntas dan memuaskan jika tidak tersedia truk yang dirancang dan dirakit secara saksama. Sebaliknya, sepresisi apa pun desain dan konstruksinya, sebuah truk tidak akan berdaya guna secara optimal jika tidak dioperasikan oleh eksekutor hebat seperti Pak Cidit.

Nah, seandainya (yang ini terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai if clause tipe 3) perusahaan saya bergerak dalam industri produksi truk sekaligus jasa transportasi barang, saya tidak akan mengangkat insinyur perancang truk menjadi sopir truk. Saya akan (ingat, cuma would have) menyediakan studio bagi para insinyur ahli itu untuk terus-menerus mengembangkan, mengevaluasi, dan memutakhirkan desain truk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan dan medan penjelajahannya. Untuk jabatan sopir, saya akan (masih would have) memilih orang-orang skillful dan powerful seperti Pak Cidit.

Lalu, apa hubungannya dengan janji kampanye “jika saya jadi presiden”? Sabarlah sebentar.

Jika saya—4 tahun, 9 tahun, 14 tahun, atau bertahun-tahun setelah menulis ini—jadi presiden, saya akan mengurus pendidikan seperti saya mengurus dua perusahaan itu. Rancang bangun sistem pendidikan akan saya serahkan kepada para pakar pendidikan: profesor, doktor, master, sarjana, dan durjana (seperti yang menulis ini) pendidikan. Saya akan menyediakan dapur yang nyaman bagi mereka untuk meramu, meracik, dan menggodok konsep pendidikan yang kompatibel dengan potensi, tantangan, kebutuhan, dan karakteristik bangsanya. 

Untuk mengemudikan “truk” pendidikan, saya cukup akan mengamanahkannya kepada “sopir” yang sudah teruji memiliki skill dan power eksekutor yang mumpuni. Saya tidak akan mengusik kekhusyukan, keseruan, dan kearifan para begawan pendidikan dalam berpikir, berdebat, dan bermufakat tentang arsitektur pendidikan yang terbaik bagi bangsanya. Biarlah otak tetap bekerja di kepala. Sementara, percayakan kepada tangan untuk mengeksekusi formulasinya. Bukankah anggota kabinet bersama presiden yang mengangkatnya adalah memang lembaga eksekutif?

Begitu, wêrdining impèn “jika saya jadi presiden”. Kalau sepakat dengan janji kampanye ini, segera amankan nama dan nomor kontak saya. Ha-ha-ha.


Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer