Tangkapan layar status Facebook |
"Baru sekelumit saja sudah bikin merinding," tulis seorang teman, mengomentari celoteh di atas.
Usai mengikuti upacara, saya menonton upacara serupa. Di layar laptop. Siaran langsung peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan di dua istana: Istana Negara di IKN dan Istana Merdeka di DKI. Yang di IKN dipandhegani pasangan Presiden lama dan Presiden terpilih. Duet Wakil Presiden lama dan Wakil Presiden terpilih bertugas di DKI.
Dua-duanya meriah. Di Istana Merdeka ada suguhan orkestra. Konduktornya Erwin Gutawa, kalau tidak salah. Saya hanya sempat menonton ketika ia membelakangi kamera. Di Istana Negara juga digelar aneka atraksi. Tampak di video, orang-orang di kedua lokasi—sepertinya para petinggi negeri—sesekali saling menyapa dari jauh: dengan bahasa isyarat.
Upacara resmi sudah selesai. Tinggal melanjutkan penampilan aneka atraksi. Saya pindah ke saluran lain. YouTube menawarkan banyak pilihan. Saya tergoda oleh judul video di kanal Masjid Jogokariyan: Pidato Kemerdekaan. Saya klik. Yang muncul pertama, tayangan iklan. Saya tinggalkan tayangan iklan untuk menengok jendela lain di layar laptop. Setelah terdengar suara yang cukup akrab di telinga saya, saya kembali ke YouTube. Ya, Pak Jazir yang berorasi. Seperti biasanya, ikon Masjid Jogokariyan yang fenomenal itu berpidato sambil duduk santai di sofa.
Setelah siaran video berakhir, saya kirimkan alamat tautannya ke dua grup percakapan. Saya beri takarir sama: pidato kemerdekaan dari Jogokariyan. Di salah satu grup ada yang mengirim komentar. Ia membandingkan pidato itu—entah sudah disimak atau belum—dengan puisi karya seorang pesyair cum ulama, seniman, sekaligus budayawan.
Di grup yang lain, muncul tanggapan agak serius. Dia bertanya, "Apa pidato kemerdekaan itu beda-beda tiap kota?" Rupanya dia mengira itu pidato resmi, versi negara, eh, pemerintah negara.
"Kan setiap orang boleh berpidato," balas saya ringan, "Dan tidak semua orang mau menjadi orangnya orang pusat."
Dia mengiakan jawaban saya. Tapi, ekornya tidak enak: menagih pidato bikinan saya. Seketika saya membuka Facebook untuk melihat status terbaru saya. Saya kirimkan tangkapan layar status yang saya unggah 3 jam sebelumnya itu (gambar di atas). Saya sertakan takarir: Lagi kober nyicil saemprit.
Sekitar 15 menit kemudian, datang komentar dari anggota yang lain, yang mengaku merinding itu. Bisa jadi, dia punya pengalaman yang relevan dengan tulisan asal njeplak itu. Lalu celoteh itu mengantarkan dia ke permenungan. Tafakur dalam-dalam. Entah apa yang membuatnya merinding. Saya tidak tahu, juga tidak menanyakan.
Dulu, ketika masih bersekolah, saya pernah mengikuti upacara renungan malam HUT Kemerdekaan. Acaranya diadakan di taman makam pahlawan (TMP). Tepat pukul 00.00 terdengar suara letupan pistol. Eh, itu hanya dugaan saya. Tidak terlihat dari mana bunyi "dor" itu berasal. Suasana gelap total. Semua lampu di TMP padam. Kami—peserta renungan malam—dilarang menyalakan alat penerangan. Sejurus kemudian, Bupati selaku inspektur upacara menyampaikan amanat. Saya sudah lupa isinya.
Selesai upacara gelap—dalam arti denotatif—di kuburan itu, kami diangkut kembali ke pendopo rumah dinas Bupati. Sejumlah tumpeng berukuran besar-besar sudah menunggu di meja-meja yang berjajar di tengah pendopo. Seperti lazimnya tumpeng Jawa, lauk-pauk komplet ditata melingkari kaki tumpeng. Tak ketinggalan, baki berisi ingkung ayam mendampingi setiap tumpeng.
Kami, para peserta renungan malam, disilakan "santap sahur". Yang berjas-berdasi berkumpul dengan sesama pemakai jas dan dasi. Yang berseragam militer menyatu dengan sesama anggota militer—waktu itu polisi dan tentara masih bernaung di bawah satu atap: ABRI. Para pelajar SLTA—sebutan jenjang pendidikan menengah zaman itu—membentuk kelompok sendiri. Saya bergabung dalam gerombolan terakhir itu.
Demi melihat ayam-ayam utuh tergeletak bugil di atas nampan, air liur saya mengalir tak tertahankan. Demi menghidu aroma daging ayam masak—saya tidak tahu nama masakannya—yang mengalir ke lubang hidung, saya gagal membendung gejolak selera makan. Takut tidak kebagian, tangan saya cepat-cepat menyempal paha salah satu ayam. Yang saya pegang hanya pahanya, tapi cakarnya ikut berpindah ke piring saya.
Ternyata saya tidak sendirian. Teman-teman yang berkostum seragam dengan yang saya kenakan juga bertingkah dan bertindak sama: rakus. Bahkan kami cenderung berebut ketika mengambil lauk. Lalu kami lahap sekali menyantap sepiring munjung nasi dan lauk-pauk. Yang berhasil "menggondol" bagian ayam yang paling berdaging tampak puas. Seperti ada perasaan gagah, bisa mengalahkan "lawan-lawan" dalam perebutan makanan lezat.
Ya, kami berpesta pora. Renungan malam di atas jasad para pejuang kemerdekaan seketika kehilangan makna. Sama sekali tidak terlintas di otak saya, kesulitan demi kesulitan yang dialami para pahlawan yang baru saja saya ziarahi makamnya tengah malam itu. Boro-boro tebersit imajinasi penderitaan para pahlawan tak dikenal, yang jumlahnya pasti jauh lebih banyak dan tidak pernah diziarahi oleh generasi penikmat hasil perjuangannya!
Getir! Pengalaman itukah yang membuat saya jengah untuk mengekspresikan syukur atas kemerdekaan dengan bergagah-gagah ria di depan kamera? Khawatir kalau-kalau pose-pose pongah itu terlihat oleh barisan arwah yang menjadi tumbal kemerdekaan? Lalu, foto-foto yang secara vulgar memamerkan kegirang-gembiraan itu melukai jiwa para wakif tanah merdeka?
Barangkali refleksi semacam itu pula yang membangkitkan bulu kuduk teman saya tadi.
Wallāhu a`lamu biṣ-ṣawāb.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar