Menjelang zuhur, Kamis (20/02/2025). Saya hendak ke kamar kecil. Pintunya tertutup, tetapi tidak terkunci. Seorang anak kecil muncul dari balik dinding samping toilet, lalu mendekati saya. Usianya sekitar 7 tahun. Mungkin anak kelas 1 atau 2 SD. Rupanya ia ingin memberi tahu saya bahwa ada temannya di dalam toilet.
“Kamu sudah?” tanya saya.
“Sudah,” jawabnya sambil mengangguk.
Tidak lama kemudian, anak yang di dalam kamar kecil keluar. Celananya terjurai sampai ujung bawah. Begitu pun lengan bajunya. Punggung kakinya kering. Saya lalu melirik kaki temannya, yang tadi menunggu di luar. Sama. Hanya alas kakinya yang basah.
Kedua anak meninggalkan toilet. Ganti saya yang masuk. Saya melongok ke lubang kloset. Kuning. Hanya warnanya yang tercerap oleh indra saya. Hidung saya tidak mengenali apakah cairan kuning itu menyerbakkan aroma pesing.
Jadi teringat kisah heroik anak-anak sebaya mereka di seberang sana. Ada yang mencantelkan celananya di handel pintu. Ada yang menggantungkan celananya di keran. Ada yang rela menyulap lehernya jadi kapstok. Gara-gara tidak ada cantelan di toilet. Demi menyelamatkan pakaian mereka dari percikan air najis.
Sama-sama anak-anak. Usia mereka relatif sebaya. Kalaupun terpaut, hanya satu atau dua tahun. Aktivitas yang dijalankan sama: buang air kecil (BAK). Namun, prosedur pelaksanaannya berbeda secara diametral. Dalam urusan BAK, mereka terbelah menjadi dua “mazhab”. Yang pertama bermazhab “BAK = biar asal kencing”. Yang kedua bermazhab “BAK = bukan asal kencing”.
Pada tataran das Sollen, boleh jadi kedua kelompok itu punya visi yang sama. Namun, keduanya menampakkan perbedaan mencolok pada tataran das Sein. Apa gerangan musababnya? Tidak perlu riset menjelimet untuk menemukan akar perbedaan itu. Apalagi sampai menyewa lembaga survei bayaran. Analisis paling sederhana pun cukup untuk mengurainya.
Yang ditunjukkan anak-anak “mazhab” pertama dan “mazhab” kedua sama-sama perilaku genuine. Autentik dan spontan. Tanpa skenario, tanpa pengawasan. Dapat dipastikan, keduanya sudah menjadi kebiasaan. Mendarah daging. Walaupun sama-sama kebiasaan, proses terbentuknya tidak sama. Kebiasaan “mazhab” pertama terbentuk oleh pembiaran, sedangkan kebiasaan “mazhab” kedua terbentuk oleh pembiasaan.
Pembiaran versus Pembiasaan
Tanpa modifikasi tingkah laku secara serius, manusia cenderung melanggengkan kebiasaan lama. Anak yang sudah terbiasa kencing sambil berdiri, jika dibiarkan, akan terus merawat kebiasaan kencing sambil berdiri. Dibutuhkan usaha secara sadar untuk beralih ke kebiasaan baru: kencing sambil jongkok. Usaha tersebut berakar pada kesadaran dan keyakinan akan nilai.
Penanaman dan penumbuhan nilai itu memerlukan keterampilan pedagogis tingkat dewa. Kegagalan pada tahap fondasi ini akan berakhir dengan status quo: anak-anak (sasaran modifikasi) lebih nyaman dengan kebiasaan lama. Mempertahankan nilai kepraktisan. Secara pragmatis, tujuan kencing memang hanya untuk mengeluarkan kemih dari dalam tubuh. Bagi laki-laki, melakukannya sambil berdiri pasti lebih praktis ketimbang harus jongkok. Apalagi kalau yang jongkok juga harus memastikan terbebas dari paparan najis.
Dugaan saya, di antara anak-anak yang BAK-nya bukan asal kencing itu banyak yang sebelumnya juga biasa kencing sambil berdiri. Modifikasi tingkah lakulah yang mengubah kebiasaan mereka. Setidaknya usaha serius itu terlacak di sini. Juga di situ. Masih ada lagi, di sana.
Melalui pembiasaan tak kenal bosan dan lelah, mereka tampil dengan adab BAK yang berbeda dari anak-anak sebayanya. Ya, BAK bukan asal kencing dan BAK biar asal kencing berbeda dalam proses dan hasil. Berbeda pula makna dan dampaknya.
Dua “mazhab” BAK saling berbeda. Menjadi berbeda itu pilihan. Ada yang memilih berubah agar jadi berbeda, lalu distingsinya menjadi penting. Di pihak lain ada yang memilih bertahan untuk tetap berbeda dari yang sudah berubah, dan perbedaannya menjadi genting.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar