13 Jun 2025

Termuda Tertua

Empat veteran keceh di Pantai Srau, Pacitan (ki-ka: Pak Bari, saya, Pak Warto, Pak Wilys).  

Mungkin hanya Habib yang cadangan nyalinya masih cukup tebal. Ia masih terus mengacungkan ponselnya. Mengarahkan kamera ke depan, kanan, kiri, atau belakang. Entah mengambil foto atau video. Seperti tak menghiraukan bergulung-gulung ombak yang silih berganti menghampiri moncong perahu. Jumbuh dengan pilihannya: duduk di haluan.

Ketika menyusuri Kali Cokel, cucu (anak keponakan) saya itu duduk di baris ke-2. Air sungai sedang surut. Muara Kali Cokel terlalu dangkal. Kami harus turun, lalu berjalan kaki ke pantai untuk pindah ke perahu lain. Oper. Perahu kedua sudah menunggu. Juru mudinya anak muda. Usianya sekitar 30 tahun. Atau mungkin kurang. Siap membawa kami melaut. 

Habib duduk di bangku paling depan. Sendiri. Berjarak sekitar 2 meter dari ujung perahu. Saya tidak yakin, bangku di haluan perahu itu dirancang untuk tempat duduk penumpang. Desainnya berbeda dari dua bangku di belakangnya. Strukturnya menyatu dengan lambung dan badan perahu. Bahannya pun sama: fiber. Sementara, dua bangku lainnya terbuat dari papan kayu.

Perahu motor terus melaju ke tengah lautan. Makin jauh meninggalkan pantai. Melawan ombak Laut Selatan yang bergulung-gulung menuju pantai Watukarung.

“Silakan kalau mau foto-foto,” kata juru mudi, memecah ketegangan saya.

Perahu berhenti pada jarak 300-an meter dari pantai. Rupanya gelombang laut agak reda. Nakhoda biasa menghentikan perahunya ketika mencapai perairan yang relatif tenang. Memberikan kesempatan kepada para wisatawan-petualang untuk mengabadikan jejak keperwiraan mereka.

“Balik kanan saja!” seru Pak Wilys, yang duduk di depan saya.

Alhamdulillah. Lega. Kembali menepi. Itu keinginan yang saya pendam sejak 100 meter pertama “pelayaran”. Pemandangan di depan menciutkan nyali saya. Gulungan ombak susul-menyusul berarak menuju pantai. “Mancung fiber” tak bercadik melaju dengan arah berlawanan. Serasa hendak menyetor kami berlima untuk tumbal Nyi Roro Kidul.

Ngeri! Berkali-kali saya ingin berteriak. Mengajak balik ke pantai. Namun, saya tidak enak hati kepada teman-teman. Mereka pasti kecewa kalau harus menanggalkan predikat “pelaut” secepat itu. Saya mesti berpura-pura menikmati “pelayaran perdana” itu. Sekuat rasa saya tepis bayangan akan tertelan gelombang Samudra Hindia.

Tak ternyana, ternyata Pak Wilys memendam kecemasan serupa. Pak Bari dan Pak Warto pun setali tiga uang. Rahasia itu baru terbongkar setelah perahu berputar balik. Perlahan-lahan perahu berjalan menuju tepi. Kami saling menceritakan ketakutan-ketakutan yang sebelumnya tersimpan sebagai rahasia masing-masing. Pak Wilys menjadi pahlawan bagi kami bertiga. Ia membebaskan kami dari timbunan kecemasan.

Lega setelah perahu putar balik ke pantai. 

Hanya Habib yang tidak urun cerita. Barangkali ia justru kecewa. Belum puas menikmati kemerdekaan. Ia tampak antusias menyambut tawaran saya untuk ikut touring. Ibunya sempat mengingatkan, “Apa tidak punya tugas dalam kepanitiaan kurban?” Habib bilang, namanya tidak disebut dalam susunan panitia.

Penyembelihan hewan kurban di kampungnya memang baru akan dilaksanakan pada Sabtu, 7 Juni 2025, bersamaan dengan keberangkatan kami melancong ke Pacitan. Maklum, Iduladha (10 Zulhijah) jatuh pada hari Jumat. Demi mengamankan jumatan, hewan kurban disembelih pada hari tasyrik ke-1 (11 Zulhijah).

Ketika keempat embahnya tercekam oleh ketakutan ditelan ombak, justru Habib menemukan kemerdekaan yang sempurna. Tidak terlihat galon-galon air dan tabung-tabung elpiji berjajar. Tidak tampak kardus-kardus kemasan mi instan dan minyak goreng bertumpuk. Tidak ada karung-karung beras dan terigu saling berimpit dan bertindih. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya hamparan air laut yang biru berkilauan. Ombak Laut Selatan bagi Habib siang itu menjadi gelombang gerakan pembebasan. Remaja yang baru lulus SMP itu berhasil melupakan rutinitasnya “bercengkerama” dengan aneka benda berat di warungnya.

Beda usia beda pula persepsinya terhadap situasi yang sama. Remaja belia seperti Habib santai saja menghadapi ombak lautan yang menggoyang-goyangkan perahu yang ditumpanginya. Sebaliknya, kami berempat diliputi perasaan waswas. Bukan hanya tubuh kami yang terombang-ambing oleh terpaan ombak. Hati dan pikiran kami turut terguncang. Tidak kalah kerasnya.

Kami berempat—yang sudah tua-tua—kurang percaya diri. Kami semua bisa berenang. Di tubuh kami juga terpasang rompi pelampung. Andai benar-benar perahu terbalik akibat diterjang ombak lalu kami tumpah ke air, toh kami bisa menyelamatkan diri dengan berenang. Tangan kami pun bisa berpegangan pada perahu fiber yang tidak bakal karam. Akan tetapi, kepercayaan diri kami telanjur terkikis oleh bayangan-bayangan buruk yang kami bangun sendiri.

Tidak hanya kurang percaya diri. Kami juga tidak percaya kepada juru mudi. Ia bukan hanya nakhoda perahu wisata. Mengantar wisatawan itu hanya pekerjaan sampingan. Mata pencahariannya nelayan. Setiap hari ia menjelajah perairan sekitar Watukarung hingga ke tengah lautan yang dalam. Tentu ia hafal tabiat Laut Selatan. Ia cakap menyiasati ombak yang tak henti-hentinya berarak menghalau perahu. Bahkan ia berani mengemudi perahunya tanpa pelampung. Barangkali itu dilakukan untuk meyakinkan kami bahwa Samudra Hindia cukup bersahabat.

Jangan-jangan sudah menjadi penyakit umum kaum (yang merasa) senior: sulit memercayai junior.

Yang pasti, perairan Watukarung, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, telah menjadi saksi “senioritas” kami. Sisa-sisa keperkasaan kami sudah tidak memadai untuk menaklukkan tantangan ombaknya. Ketiga senior saya itu memang sudah pensiun. Pak Bari dan Pak Warto sudah 5 tahun purnatugas. Pak Wilys sekitar setahun. Saya sendiri sebentar lagi menyusul. Tinggal dalam hitungan hari. Jadi, di antara empat squad SKSD yang keluyuran hari itu, saya yang paling muda.

Anehnya, banyak yang salah membaca usia kami. Habib, contohnya. Ia memanggil saya dan Pak Bari “Mbah”. Sementara, kepada Pak Warto dan Pak Wilys, Habib memanggil “Pak”. Lebih parah lagi, neneknya. Mbakyu saya itu menyangka Pak Bari belum pensiun. Jauh lebih muda ketimbang saya, katanya. Duh, yang termuda malah dikira tertua.

Saya tidak tahu, punya tongkrongan tua itu apes atau bejo. Yang jelas, saya makin yakin bahwa saya sudah pantas untuk menjadi pensiunan. Semoga “pesawat” andalan WinAir tidak cepat-cepat minta pensiun. Juga SKSD, semoga setia dengan kepanjangannya Sepisan Kekancan Selawase Dumulur—seperti harapan sekaligus apresiasi kedua mbakyu saya.


Tabik.


2 komentar:

  1. Momen kebersamaan yang tak terlupakan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga masih akan terus datang kesempatan untuk mengulang dan mengulang lagi kebersamaan.

      Hapus

Populer