“Nah, itu masalah saya, Pak,” jawab saya spontan ketika ditanya tentang kebiasaan datang ke tempat pengabdian. “Sampai hari ini saya masih kesulitan untuk datang tepat waktu,” imbuh saya.
Memang, sejak bisa mengendarai sepeda motor kreditan, saya jadi susah untuk datang tepat waktu. Jam kedatangan saya biasanya selisih 30—45 menit dari waktu yang ditentukan. Berbeda ketika masih naik angkutan umum. Saya biasa datang hampir tepat waktu. Paling-paling, selisihnya sekitar 5 menit.
Kebiasaan datang tidak tepat waktu itu hanya hobi lama yang kambuh lagi. Dulu, semasa SMP, saya sudah biasa datang jauh menyelisihi jam masuk. Itu juga berkat kemampuan naik kendaraan pribadi: sepeda (tanpa motor). Ketika saya datang, parkiran panjang di sisi belakang itu masih kosong.
Setelah memarkir sepeda kebo, saya segera menuju ke kelas untuk menaruh tas. Lalu keluar lagi. Mencari angin untuk mengeringkan keringat. Baru satu orang yang bisa saya lihat: Pak Bon (juru kebersihan). Usai membersihkan tiga ruang kantor, beliau lalu menyapu halaman yang dipenuhi guguran daun akasia.
Mengejar kesempatan untuk mengeringkan keringat itulah motif saya datang pagi-pagi. Kalau datang mepet jam masuk, saya khawatir tidak nyaman mengikuti pelajaran jam pertama. Saya mudah berkeringat. Ketika berangkat, saya mengayuh sepeda sejauh kira-kira 8 kilometer. Melewati tiga tanjakan: 1 terjal tetapi pendek, 1 landai tetapi panjang, dan 1 terjal dan panjang.
Dengan naik sepeda motor, saya tidak lagi punya kepentingan untuk mengeringkan keringat sebelum masuk kelas. Jadi, semestinya saya bisa datang mendekati tepat waktu. Namun, saya punya motif lain: menghindari stres di jalan. Saya tidak lincah dan mahir mengendarai motor.
Di rute berangkat ada tanjakan ekstrem: terjal dan panjang. Kalau mendaki ketika arus lalu lintas padat, saya mudah panik. Demi menghindari kepadatan lalu lintas itulah, saya mesti berangkat lebih awal. Jadi, niat saya sebenarnya hanya berangkat sebelum jalan ramai. Kalau akhirnya datang terlalu pagi, itu semata-mata efek samping.
Penanya dalam wawancara empat mata itu tidak paham maksud jawaban saya. Terendus dari tanggapan beliau. Meluncur deras nasihat-nasihat bijak. Agar saya sembuh dari kebiasaan datang tidak tepat waktu. Mungkin wawancara itu juga berujung rapor merah untuk aspek ketepatan waktu kedatangan saya. Ya, wawancara itu menjadi salah satu teknik penilaian. Dalam rangka apa, saya tidak paham.
Kalau benar memberi saya poin negatif pada aspek itu, beliau tidak salah. Maksud saya, kesalahan beliau bukan pada putusannya untuk memberikan nilai negatif itu. Tapi, hanya pengambilan kesimpulannya yang gegabah. Beliau tidak mengorek keterangan: apa yang saya maksud “kesulitan untuk datang tepat waktu”. Tidak deep learning, dalam bahasa Mas Menteri Abdul Mu‘ti.
Bukan! Kalau saya mendapat angka merah, itu bukan lantaran kesimpulannya terlalu dangkal. Justru sebaliknya. Itu hasil penilaian yang paling dalam: motif alias niat. Saya datang awal tidak dilandasi niat untuk tidak terlambat. Niat saya sekadar menghindari perasaan kemrungsung di jalan, terutama di tanjakan Sigar Bencah. Tidak ada hubungannya dengan ketertiban waktu datang. Jadi, niat saya salah. Pantas diganjar nilai merah. Bukankah nilai tindakan diukur menurut niatnya?
Seperti ketika di SMP, di tempat mengabdi itu saya hampir selalu menjadi orang yang pertama mengisi parkiran. Sekaligus motor kreditan saya menjadi penghuni yang terakhir meninggalkan tempat parkir. Tapi, ... itu dulu.
Tahun-tahun belakangan, rekor saya tumbang. Ketika saya datang, beberapa motor sudah lebih dulu nongkrong di tempat parkir. Pun ketika saya hendak pulang, selalu masih ada motor yang belum beranjak dari parkirannya. Apakah karena saya berangkat lebih lambat dan pulang lebih cepat daripada yang dulu-dulu? Tidak. Jam keberangkatan dan kepulangan saya relatif ajeg.
Saya mengaku kalah. Alhamdulillah. Inilah kekalahan yang layak untuk disyukuri. Kekalahan yang menggembirakan. Kekalahan tanpa menimbulkan perasaan dipecundangi.
Selamat kepada para pemenang! Anda menang banyak. Terampil mengorganisasi rutinitas pagi dari bangun tidur hingga berangkat bekerja itu sebuah kemenangan. Meninggalkan rumah—mungkin beserta sebagian anggota keluarga—dengan tenang itu sebuah kemenangan. Menikmati perjalanan dari rumah ke tempat kerja secara santai itu sebuah kemenangan. Memasuki gerbang tempat kerja tanpa berebut jalan itu sebuah kemenangan. Memarkir kendaraan dan/atau perbekalan kerja tanpa gugup itu sebuah kemenangan. Memindai sidik jari kehadiran tanpa dihantui kekhawatiran tercatat datang terlambat itu sebuah kemenangan. Menyambut dan menyapa murid, teman sejawat, dan/atau pimpinan dengan wajah semringah tanpa gelisah itu sebuah kemenangan. Memulai dan menuntaskan tugas tanpa waswas itu sebuah kemenangan. Kembali ke rumah dan berkumpul dengan keluarga tanpa terganggu oleh utang pekerjaan yang belum lunas itu sebuah kemenangan.
Tapi, ingat! Jika kelak menghadapi interviu sakral seperti saya kala itu, Anda tidak perlu mengecoh asesor dengan mengaku sulit datang tepat waktu.
Tabik.
Terlambat komen
BalasHapusAneh, yg kemarin itu...ttg tanggal abang kok mental
BalasHapusYang itu (blog sekolah) semula diatur postingan lebih dari 1 minggu tidak bisa dikomentari. Setelah itu saya ubah, postingan bisa dikomentari sampai kapan pun.
Hapus