“Gantungan, Bu,” sahut Ridho ketika Bu Shoffa, gurunya, membuka kesempatan untuk usul.
Gantungan? Gantungan apa? Gantungan kunci? Atau ... gantungan (gantangan) sangkar burung? Bu Shoffa bingung. Beliau gagal membayangkan rupa gantungan yang diusulkan muridnya.
“Gantungan itu, lo, Bu, yang di kamar mandi,” lanjut Ridho, menjelaskan.
Saya tidak menyaksikan langsung adegan itu. Saya hanya mendapati ceritanya di surat Bu Shoffa Senin (13/01) kemarin. Sebenarnya surat itu dikirim Sabtu, dua hari sebelumnya. Tercatat di agenda saya, surat diterima pukul 22.29.
Ada lima surat lain yang masuk pada hari yang sama. Surat pertama datang pukul 08.43. Langsung saya buka dan baca. Tepat 30 menit kemudian, saya kirim balasannya. Surat kedua tiba pukul 19.33. Surat ketiga menyusul 42 menit berikutnya. Yang keempat, surat dari Bu Shoffa itu. “Sahabat pena” kelima mengirim dua surat sekaligus, 23 dan 22 menit menjelang midnight.
Saya tidak peduli apa isi lima pucuk surat yang datang malam-malam itu: penting atau sepele, rahasia atau jahiriah, lucu menghibur atau pilu mengharu biru, canda menggoda atau garang menantang. Toh saya sudah hafal maksud mereka bersurat: agar saya mau membaca. Ya, mereka paham bahwa saya malas membaca. Tiap akhir pekan memberondong saya dengan surat itu cara mereka memaksa saya membaca.
Kadang surat-surat kiriman mereka saya buka dan baca seketika. Adakalanya saya jadikan kesibukan di Ahadnya. Itu dulu. Sekarang kekhusyukan membaca surat semacam itu—apa pun isinya—kalah oleh keseruan menimang cucu. Maka, surat-surat itu mesti rela di-imbu 2 malam 1 hari untuk sarapan setiba saya di markas.
Membaca judulnya, “Selalu Ada Cara”, saya semula menduga surat Bu Shoffa itu berisi trik-trik jitu untuk mengajarkan topik atau membelajarkan murid tertentu. Oh, ternyata kartu tarot saya lagi tumpul. Dugaan saya memeleset jauh.
Bu Shoffa menceritakan trik-trik kreatif yang dilakukan murid-muridnya di toilet. Rupanya, anak-anak kelas 3 itu terbiasa melepas celana ketika buang air. Celananya dicantelkan di kapstok yang terpasang di dinding atau pintu toilet. Maksudnya, untuk menghindari percikan najis ke celana.
Di sekolah mereka, memang BAK bukan asal kencing dan BAB bukan asal berak. Dua tahun yang lalu, mengawali semester genap seperti sekarang, urusan taharah ini menjadi menu pelajaran berhari-hari. Keseriusan mereka itu terekam pada tulisan Bu Wiwik (guru) dan Pak Kambali (Kepala Sekolah). Bahkan, beberapa bulan sebelumnya, kepala sekolahnya sempat memberikan tutorial privat kepada salah seorang murid.
Saya jadi ingat. Prosedur operasional baku (standard operating procedure—SOP) BAK/BAB seperti itu pernah ditawarkan ke sekolah lain sekian tahun silam. Jangan-jangan sekolah Ridho “mencuri” dokumen SOP dari sekolah lain itu. Naʽūżu billāh, kalau yang dicuri hanya dokumennya. Kalau yang dicuri dokumen plus implementasinya, baru al-ḥamdu lillāh.
Yang dicuri lebih banyak, kok malah alhamdulillah? Ya, iyalah. Masa, iya dong? Kalau dokumen dan praktiknya bisa dicuri, berarti dua-duanya ada di TKP pencurian. Kalau yang dicuri hanya salah satu, jangan-jangan karena yang satunya lagi tidak ditemukan!
Lepas dari spekulasi SOP-nya curian atau bukan, sekolah Ridho lebih berani. Melepas celana tidak hanya berlaku untuk buang air besar, tetapi juga untuk buang air kecil. Kentara sekali ikhtiarnya untuk lebih berhati-hati.
Masalah muncul ketika mereka mulai menempati gedung baru. Di toiletnya tidak tersedia kapstok. Anak-anak harus memutar otak untuk “menemukan” pengganti kapstok. Maka, lahirlah mantra “Selalu Ada Cara” itu. Ada anak yang mencantelkan celananya pada keran. Ridho sendiri menyangkutkan celananya di handel pintu.
Kreativitas Fillio lebih gokil. “Kalau saya, tak-taruh di sini, Bu,” akunya kepada Bu Shoffa, sambil menunjuk lehernya.
Saya membayangkan, Fillio sempat celingukan mencari kapstok—atau minimal paku—di seantero dinding kamar kecil. Setelah benda sepele tetapi ketiadaannya dadi gawe itu gagal ditemukan, muncullah ide gokil. Celana dilipat (atau diuntel-untel?) lalu dikempit dengan dagu dan pangkal lehernya. Duuuh, ... Fillio harus bertahan pada posisi sulit itu selama berlangsung prosesi buang air hingga tuntas beristinja. Demi menjaga kesucian pakaiannya. Demi menyempurnakan keabsahan salatnya.
Tampaknya ada korelasi negatif antara volume dosa dan level kesabaran. Anak-anak, yang masih minim dosa itu, sedemikian sabar menghadapi kesulitan. Hebatnya, kesabaran (olah hati) itu memicu kreativitas (olah akal). Saya juga pernah mendapati toilet tanpa kapstok. Alih-alih mencari akal untuk menemukan solusi, justru saya cuma ngedumel dan mendongkol kepada penyedia toilet. Akal saya jadi tumpul akibat hati telanjur keruh. Tidak usah ditebak, apa sebab hati saya keruh. Tebakan tepat benar pun tidak bakal mendapat sepeda. Yang suka mengobral hadiah sepeda sudah pulang kampung.
Kebesaran hati dan kecerdikan akal Fillio, Ridho, dan kawan-kawan patut diacungi jempol. Lha, tapi ... apakah para penyedia toilet—apalagi, masjid dan tempat-tempat lain yang secara kasatmata berlabel “Islam”—itu tidak malu kalau mendapat acungan jempol menjungkir (👎)?
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar