Rabu Wage, 22 Januari 2024. Perkiraan saya, sekitar pukul 16.30. Saya terbilang jarang melewati jalur itu. Ruas jalan yang panjangnya hanya belasan meter itu menjadi pintasan dari jalur eksit tol Banyumanik (dari arah Jakarta) untuk berbelok ke arah kota (Semarang bawah) lewat Jalan Setiabudi. Di kalangan awak mikrolet, kawasan itu terkenal dengan sebutan “pal merah”. Saya tidak tahu asal-usul julukan itu. Dulu, ketika masih menjadi pelanggan mikrolet, saya setiap pagi mendengar sebutan itu diucapkan oleh sopir atau kernet. Maksud mereka, mengingatkan kalau-kalau ada penumpang yang hendak turun di situ.
Sore kemarin itu saya harus menjemput seseorang di Semarang bawah. Dari “markas besar”, saya berbelok ke kiri. Keluar dari mulut Jalan Durian Raya, saya menyeberang masuk ke jalan "sodetan" itu. Sebelum belok kanan ke Jalan Setiabudi, saya berhenti. Saya mengambil posisi paling kiri. Di kanan saya ada dua lapis mobil, juga berhenti. Di kiri saya ada pagar pembatas taman. Saya kurang paham, yang dipagari itu jalannya atau tamannya. Yang jelas, bukan laut. Celah antara mobil dan pagar hanya cukup untuk satu sepeda motor.
Motor di belakang saya membunyikan klakson. Ups, bukan pengemudinya yang membunyikan? Bukan. Pengemudi hanya memencet tombol. Rangkaian elektronik motor itu yang bekerja hingga klakson berbunyi.
Saya menoleh ke belakang. Saya tidak merasa kenal dengan pemotor yang menglakson itu. Juga tidak ada reaksi yang menandakan kalau beliau mengenal saya. Berarti, bukan klason sapaan. Lalu apa? Pasti klakson teguran. Apa yang salah dengan motor saya? Saya tengok standar. Sudah terlipat ke belakang, sejajar dengan lengan ayun.
Oh, pasti ini: motor saya menghalangi motor beliau. Andai saya tidak berhenti di situ, pasti beliau bisa terus melaju, belok kanan ke jalan raya. Tapi, di mana saya mesti berhenti selain di situ? Kanan, mobil. Kiri, pagar. Depan, marka batas pemberhentian. Satu-satunya yang masih mungkin, saya maju lalu serong ke kiri. Artinya, saya harus melanggar marka. Atau, sekalian saya pacu motor menuju jalan raya?
Saya memang buta warna. Itu baru ketahuan ketika saya mengikuti proses daftar ulang calon cantrik di sebuah perguruan. Oleh tim penguji pertama, mahacantrik senior, saya divonis buta warna total. Hasilnya—kartu catatan hasil tes—diserahkan kepada dokter yang juga mahaguru setempat. Saya dites ulang. Pak Dokter meledek, “Saudara ini buta warna atau buta angka?” Saya sebenarnya bisa meledek balik, “Lha Tuan tadi mengetes warna atau mengetes angka?” Pak Dokter berbaik hati. Kata total di kartu dicoret lalu ditulis parsial di atas kata yang dicoret itu.
Hasil tes itu membuat saya melongo. Di SMP saya dulu ada dua pilihan kelas keterampilan bebas: elektro dan biologi. Saya ikut kelas elektro. Setiap mengerjakan tes menghitung nilai resistor, jawaban saya hampir selalu salah. Pada waktu itu saya hanya ngedumel dalam hati, “Masa, jago matematika hitungannya salah melulu?” Setelah tahu kalau buta warna, saya berani bertaruh: yang salah pasti identifikasi warnanya. Kenapa waktu itu tidak terdeteksi? Ya, ... lha wong yang dicoret hanya bilangan hasil akhir penghitungannya! Itulah cara mengoreksi yang mesti dikoreksi. Kalau Anda guru, garis bawahi (lagi) kalimat yang sudah saya garis bawahi ini.
Sebuta-butanya mata saya akan warna, dijamin saya tidak akan keliru membaca warna nyala lampu APILL (alat pemberi isyarat lalu lintas) alias lampu bangjo. Saya sudah hafal susunan letak tiga lampu di persimpangan jalan itu, yang vertikal maupun yang horizontal. Nah, ketika sampai di bangjo ADA itu (di seberangnya, ada swalayan ADA), lampu paling atas menyala merah. Dua lampu di bawahnya padam. Maka, saya pun berhenti. Saya tidak peduli apakah para-para (pinjam kosakatamu, ya, Mas Wapres) kendaraan dari arah lain sudah berjalan atau masih berhenti. Merah, berhenti. Titik.
Ketika diklakson dari belakang itu, saya lihat semua (agar tidak mengulang para-para) kendaraan dari arah kanan dan kiri masih berhenti. Pasti itulah yang menyulut nafsu pemotor di belakang saya untuk menerobos. Dugaan saya, beliau tidak buta warna. Andaipun buta warna, beliau saya yakini hafal komposisi lampu APILL, seperti saya. Saya juga yakin, beliau tahu makna isyarat warna nyala lampu itu. Bahkan saya masih yakin, beliau paham konsekuensi bagi orang yang melanggar “instruksi” dari lampu yang menyala. Namun, sekaligus saya yakin, beliau juga sudah khatam membaca pasal tidak tertulis ini: konsekuensi berlaku hanya jika ketahuan oleh aparat.
Di samping dugaan dan keyakinan-keyakinan itu, saya masih menaruh dua kecurigaan. Pertama, jangan-jangan beliau punya jurus jitu untuk mengelabui aparat. Artinya, beliau mahir membuat aparat buta warna. Putih dan hitam tampak berbaur menjadi kelabu. Kedua, kalau gagal mengelabui, jangan-jangan beliau hafal mantra sakti untuk menaklukkan kelugasan aparat. Artinya, beliau bisa menghipnosis aparat hingga tidak kuasa menjalankan tugas dan wewenangnya secara lugas.
Itulah barangkali biang perusakan tata laku bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pelanggar tata tertib berlalu lintas bukan mereka yang buta peraturan lalu lintas. Koruptor bukan mereka yang buta pasal-pasal antikorupsi. Pelaku pencabulan anak didik di bawah asuhannya bukan mereka yang buta ayat-ayat anticabul. Pelaku pemagaran laut bukan mereka yang buta hak kepemilikan laut. Pemberi sertifikat HGB atau HM atas wilayah laut bisa jadi mereka yang pernah lulus sekolah dengan predikat cum laude. Jadi, para-para (aduh, ketularan Mas Wapres lagi) mereka bukan si buta, melainkan bersibuta.
Di balik maraknya perusakan tatanan hidup di segala sektor, masih tersisa secercah harapan untuk merajut masa depan yang lebih baik. Kemarin, sebelum meluncur ke bangjo ADA itu, saya sempat mengunyah lumat-lumat sekeping cerita. Penuturnya seorang guru kelas III SD. Isinya pengalaman yang diperoleh Bu Guru dalam pemilihan ketua kelas. Prosedurnya sederhana. Murid-murid diminta mengangkat tangan ketika nama calon pilihannya disebut. Untuk menghindari transaksi pengaruh antarteman, mereka harus memejamkan mata selama pemungutan suara berlangsung.
Sebelum dimulai pemungutan suara, salah seorang murid bertanya, “Nanti kalau ada yang tidak memejamkan mata, gimana, Bu?”
Bagaimana Bu Guru menjawab pertanyaan kritis muridnya itu?
“Nanti, saat pemungutan suara, Bu Guru tidak tahu apakah kalian memejamkan atau membuka mata. Jangkauan penglihatan Bu Guru terbatas. Tapi, ada Allah, Yang Maha Tahu. Jadi, nanti kalian berurusan langsung sama Allah. Hanya kalian dan Allah yang tahu, kalian memejamkan atau membuka mata.”
Bu Guru membangun disiplin murid-muridnya tidak dengan pasal-pasal larangan dan ancaman. Tidak pula dengan janji untuk menindak tegas jika terjadi pelanggaran. Bu Guru hanya menanamkan kesadaran bahwa ada Tuhan yang penglihatan-Nya menjangkau segala makhluk, yang besar dan yang kecil, yang terlihat dan yang tidak terlihat oleh sesama makhluk. Dan, ... pengawasan oleh Yang Maha Awas itu meliputi setiap tempat dan waktu.
Ternyata kesadaran yang ditanamkan Bu Guru itu tumbuh menjadi keyakinan anak-anak. Lalu keyakinan itu dihayati sebagai nilai kebajikan. Dampaknya dapat dirasakan, setidaknya, selama anak-anak mengikuti voting pemilihan ketua kelas mereka. Hasil pengamatan Bu Guru, tidak satu pun anak membuka mata hingga voting berakhir.
Kalau kesadaran, keyakinan, dan penghayatan akan kehadiran Tuhan itu terawat sejak anak-anak bangsa bermanja-manja di buaian hingga terbata-bata menjawab panggilan liang lahad, alangkah dahsyatnya ...! “Gerakan revolusi mental” kiranya lebih layak untuk disematkan pada inisiatif Bu Guru ini daripada yang mana dulu itu.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar