6 Jan 2025

Zonasi Sekolah: Betapa Susah!

Sumber: antaranews.com

Saya dulu bersekolah SD di desa tetangga. Kebanyakan anak-anak di dusun saya juga begitu. Sebagian yang lain bersekolah di MI swasta di dusun kami sendiri. SD di desa tetangga itu menjadi pilihan utama semata-mata karena faktor jarak. SD negeri terdekat dari dusun kami, ya SD tempat saya bersekolah itu. Letaknya kira-kira 2 kilometer ke timur dari rumah saya, ups, rumah orang tua saya.

Di desa kami waktu itu ada dua SD negeri. Keduanya berada di ibu kota (pusat pemerintahan) desa. Letak keduanya berdekatan. Saya tidak tahu bagaimana kedua sekolah itu berbagi murid: berbagi zonasi atau seleksi prestasi? Kalau prestasi dijadikan alat seleksi, prestasi apa yang mesti disetorkan oleh anak-anak usia masuk SD?

Sekian tahun kemudian baru dibangun SD negeri di dusun kami, SD negeri III di desa kami. Letaknya persis di perbatasan dua dusun: dusun saya dan dusun di sebelah baratnya. Dibandingkan dengan dusun saya, dusun tetangga itu lebih dekat ke ibu kota desa. Namun, jaraknya tetap lumayan jauh. Sementara, untuk ke SD tempat saya bersekolah, teman-teman di dusun tetangga itu harus melewati dusun saya. Maka, sebelum ada SDN III, kebanyakan dari mereka bersekolah di MI yang ada di dusun kami (letaknya juga di perbatasan kedua dusun).

Setelah lulus SD, saya melanjutkan ke SMP di kecamatan tetangga. Itu sekolah kuno. Konon dahulunya berbentuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama). Saya dan teman-teman sedusun memilih—lebih tepatnya, dipilihkan—sekolah di luar kecamatan sendiri itu juga semata-mata karena faktor jarak. Sekolah itu merupakan SMP negeri terdekat dari dusun kami. Anak-anak dari kampung-kampung di kecamatan saya yang letaknya di utara dusun saya hingga ke timur juga bersekolah di sana.

Ketika saya lulus SD, SMP negeri di kecamatan saya baru berumur 1 tahun. Jaraknya dari dusun saya kurang lebih sama dengan SMP di kecamatan tetangga itu. Dari kampung-kampung di utara dusun saya, SMP kami itu jauh lebih dekat (bagaimana, sih, ini: jauh kok lebih dekat?) daripada SMP baru di kecamatan kami sendiri. Hanya saja, pada musim hujan, teman-teman dari kampung-kampung subur itu harus berjibaku menyeberangi banjir ketika berangkat atau pulang sekolah.

Untuk bisa bersekolah di SMP negeri itu, kami harus lolos tes seleksi. Materi tesnya meliputi beberapa mata pelajaran. Saya tidak ingat, pelamar yang gagal dalam seleksi di satu SMP negeri dapat mendaftar dan mengikuti seleksi di SMP negeri yang lain atau tidak. Yang saya ingat, kakak kandung saya tidak lolos seleksi—di sekolah dan pada waktu yang sama dengan saya—lalu mendaftar dan diterima di SMP swasta di kecamatan kami.

Lulus SMP, saya melanjutkan ke SPG negeri di ibu kota kabupaten. Kali ini saya mengejar kualitas. Di kecamatan saya ada SPG juga, tetapi swasta. Pada masa itu di masyarakat kami sudah jamak disepakati bahwa sekolah swasta identik sekolah kelas dua. Sudah mahal—lebih mahal daripada sekolah negeri, maksudnya—mutunya kurang meyakinkan pula. Citra mutu rendah itu cukup beralasan. Kebanyakan sekolah swasta masuk sore. Guru-gurunya adalah juga guru-guru sekolah negeri. Guru-guru yang nyambi itu pagi mengajar di sekolah negeri, sore di sekolah swasta. Tidak hanya gurunya yang bergantian. Beberapa sekolah swasta juga memakai gedung sekolah negeri secara bergantian.

Ketika bersekolah di SPG itulah saya baru tahu, ternyata ada sekolah (negeri) favorit. Ada dua anak, kakak adik, yang mengekos serumah dengan saya. Mereka harus tinggal di rumah kos karena memilih bersekolah di SMP negeri terfavorit sekabupaten. Jarak dari kampung halamannya 40-an kilometer—setara dengan jarak dari dusun saya.

Saya sempat heran, mengapa kedua anak itu tidak bersekolah—atau disekolahkan—di SMP negeri terdekat saja? Apa untungnya bersekolah jauh dari rumah? Saya saja, gara-gara harus mengekos itu, merasa rugi. Seusai jam sekolah, saya jadi penganggur. Tidak produktif. Tidak ada lagi keseruan acara menggembala, mengarit, dan bermain bola bersama teman-teman. Tidak terasa lagi kehangatan peluh yang membasahi sekujur tubuh bersama engah-engah napas ketika mengangsu dari belik di seberang kampung.

Ketika sudah dewasa—untuk tidak menyebut tua—saya kembali dibuat heran. Anak keponakan saya disekolahkan di SD negeri di ibu kota kecamatan. Jaraknya 4 atau 5 km dari rumah. Ibunya tiap hari harus mengantar dan menjemputnya dengan sepeda motor. Padahal, 300-an meter dari rumahnya ada SD negeri, tempat ibunya bersekolah dahulu. Berburu sekolah favorit, katanya. Selepas SD, cucu saya itu juga melanjutkan ke SMP negeri favorit di ibu kota kabupaten, almamater dua teman kos saya dahulu.

Apa keistimewaan yang diperoleh seseorang dari bersekolah di sekolah (negeri) favorit? Pada kasus anak keponakan saya, tidak ada. Selama di SMP, dia tidak mencatatkan rekor prestasi apa-apa. Selepas SMP, dia tidak lolos seleksi masuk SMA pilihan utamanya. Lulus SMA, dia juga gagal masuk program studi dan kampus incarannya.

Di daerah seudik kabupaten saya saja sudah ada dikotomi sekolah favorit, sekolah biasa-biasa saja, dan sekolah marginal. Jika menimpa sekolah swasta, dikotomi semacam itu mudah saya maklumi. Dengan diferensiasi yang khas, wajar bila sebuah sekolah swasta menjadi incaran favorit bagi masyarakat yang punya minat terhadap diferensiasi yang ditawarkan. Sekolah swasta yang tidak punya diferensiasi khas tetapi letaknya strategis—mudah dijangkau dan jauh dari sekolah sejenis—lumrah menjadi sekolah biasa-biasa saja. Sekolah swasta yang tidak punya diferensiasi dan terkepung sekolah-sekolah sejenis, biasanya lambat laun "berkembang" (masa, berkempis?) menjadi sekolah marginal.

Kalau sekolah negeri, mengapa ada sekolah yang lebih favorit daripada sekolah sejenis di satu wilayah yang sama? Bukankah sekolah-sekolah itu diselenggarakan oleh organisasi yang sama: pemerintah? Tidakkah pemerintah punya kewajiban untuk membangun kesetaraan kualitas sekolah-sekolah yang diselenggarakan? Bukankah pemerintah rajin menerbitkan regulasi tentang standardisasi pendidikan?

Jika dikotomi sekolah negeri favorit dan tidak favorit itu fakta, berarti ada disparitas mutu yang tajam antarsekolah negeri sejenis. Jika disparitas mutu itu fakta, berarti ada kekeliruan dalam implementasi regulasi. Jika kekeliruan itu terjadi akibat kesengajaan, atau setidaknya pembiaran, berarti pendidikan belum menjadi urusan prioritas bagi pemerintah. Jika urusan pendidikan belum diprioritaskan, berarti pemerintah sedang menyiapkan kehancuran bangsanya.

Seperti dinyatakan oleh Muhadjir Effendy—mantan menteri yang memelopori sistem zonasi PPDB—sekolah negeri semestinya menjadi penyelenggara layanan publik yang memegang teguh prinsip non-rivalry, non-exclusion, dan non-discrimination. Bila ada sekolah yang unjuk mutunya dari tahun ke tahun konsisten jauh mengungguli sekolah sejenis dan sewilayah, mudah ditebak bahwa antarsekolah tersebut terjadi pelanggengan kompetisi. Terjadi penumpukan sumber daya unggul di sekolah yang kelak menjelma menjadi sekolah favorit. 

Sebagai pemilik dan penyelenggara sekolah negeri, semestinya pemerintah dapat memeratakan distribusi keunggulan sumber daya di sekolah-sekolah yang menjadi wewenangnya. Pemerataan distribusi keunggulan itu pada gilirannya akan menciptakan kesetaraan mutu antarsekolah. Bukankah pemerintah punya otoritas untuk mengatur penempatan sumber daya sekolah? 

Guru dan kepala sekolah yang berprestasi, misalnya, perlu dirotasi dari sekolah yang satu ke sekolah yang lain. Di setiap sekolah tempatnya mengabdi, guru dan kepala sekolah tersebut bertanggung jawab untuk menularkan virus prestasi kepada rekan-rekan sejawatnya. Sebagai ASN, sudah selayaknya para guru dan kepala sekolah menghilangkan fanatisme buta. Bagi guru dan kepala sekolah ASN, semua sekolah negeri di wilayah kerjanya adalah ladang pengabdiannya—miliknya. Pun sebaliknya, guru dan kepala sekolah ASN adalah milik semua sekolah negeri sejenis/sejenjang di seluruh wilayah kerjanya.

Pemerataan mutu juga seharusnya menjadi sasaran prioritas dalam program peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana sekolah. Sekolah yang belum unggul mesti mendapat alokasi lebih besar daripada sekolah yang sudah lebih dahulu unggul.

Pemerataan keunggulan dan penyetaraan mutu itu akan menjadi senjata ampuh untuk mengefektifkan sistem zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB). Tanpa perlu dipaksa dengan regulasi, masyarakat akan dengan suka rela menyekolahkan anak-anaknya di sekolah terdekat. Bila mutu sekolah-sekolah negeri sudah setara, masyarakat pasti lebih nyaman menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah yang aksesnya lebih mudah dan biayanya lebih murah. Sebaliknya, selama disparitas mutu antarsekolah negeri sewilayah masih menganga, masyarakat akan rela berebut kursi di sekolah-sekolah favorit. Jarak dan biaya tidak menjadi penghalang. Bahkan tidak jarang terjadi, mereka rela mengorbankan harta paling berharga: kejujuran.

Seleksi calon murid berdasarkan prestasi pada jenjang sekolah sebelumnya menandakan diskriminasi. Sekolah negeri itu milik negara, milik rakyat. Seperti halnya pasar, setiap orang berhak berbelanja di pasar terdekat. Yang paling berhak bersekolah di sebuah sekolah negeri adalah anak-anak yang tinggal di lingkungan terdekat. 

Sekolah negeri boleh menyeleksi calon murid berdasarkan bakat nonakademik tertentu. Misalnya, sekolah X punya guru pembina/pelatih sepak bola yang mumpuni dan sarana/prasarana sepak bola yang memadai, bisa membuka kelas khusus program pembinaan atlet sepak bola. Sekolah tersebut boleh menjaring calon murid yang berbakat dalam sepak bola sesuai dengan kapasitas kelas khusus yang disediakan. Sekolah Y punya guru pelatih dan sarana/prasarana karawitan yang memadai, maka boleh menjaring calon murid yang berbakat dalam karawitan. 

Kalau tiap-tiap sekolah negeri punya diferensiasi kelas khusus yang bersifat nonakademik—misalnya, cabang-cabang olahraga dan seni—itu akan menjadi sumbangsih yang cukup berarti bagi pembinaan prestasi daerah dan nasional. Pemerintah daerah menata distribusinya: sekolah mana menyelenggarakan kelas khusus bidang apa. Dengan demikian, pemda tidak perlu membiayai kompetisi antarsekolah, yang biasanya nihil tindak lanjut pembinaan bakat secara serius. Dana yang tersedia lebih efektif bila dialokasikan untuk pembinaan secara terstruktur di sekolah.

Jika keunggulan sudah merata dan mutu sudah setara antarsekolah, sistem zonasi masih punya "PR" warisan masa lalu: persebaran lokasi sekolah. Seperti dua SD negeri yang pertama ada di desa kami, pada masa lalu banyak sekolah sejenis dan sejenjang yang letaknya terkonsentrasi di klaster tertentu. Desa kami terdiri dari 8 dusun; 5 dusun saling tersambung di satu klaster, 2 dusun bersebelahan di klaster lain, dan 1 dusun terpencil di klaster lain lagi. Dua SD pertama berada di klaster yang dihuni lima dusun. Itu pun letak keduanya berdekatan di sekitar kantor/balai desa.

Tidak adakah solusi untuk memeratakan persebaran sekolah negeri? Bukankah negara berkuasa atas tanah seluas wilayah kedaulatannya? Bukankah selama ini pemerintah berkuasa mengalihfungsikan lahan pertanian dan kawasan permukiman menjadi jalan raya/tol, waduk, atau bandara? Tidak layakkah infrastruktur pendidikan dipandang sama pentingnya—kalau tidak boleh lebih penting—dengan segala rupa insfrastruktur ekonomi? Pemindahan lokasi sekolah, demi pemerataan persebaran, bahkan lebih murah daripada pembangunan jalan, waduk, dan bandara baru. Tanah bekas lahan sekolah lama dapat menjadi sumber dana untuk membayar ganti rugi lahan baru.

Jadi, ada dua prasyarat bagi suksesnya sistem zonasi PPDB sekolah negeri. Pertama, kesetaraan mutu antarsekolah. Kedua, pemerataan persebaran lokasi sekolah. Jika pemerintah dari waktu ke waktu tidak sanggup memenuhi dua prasyarat tersebut, percuma tiap lima tahun sekali digelar pesta perebutan mahkota kepemimpinan nasional dan daerah.

Zonasi PPDB mesti mempertemukan hak masyarakat dan kewajiban pemerintah. Masyarakat berhak memperoleh pendidikan bermutu. Pemerintah berkewajiban menyediakan pendidikan bermutu.

 

Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer