13 Jan 2025

Pak Slamet Suka Cari Selamat

Pak Slamet tengah menjalankan tugas rutin.

Anak-anak sedang berwudu. Sebagian yang lain masih mengantre. Jumlah keran memang tidak sebanding dengan jumlah murid. Namun, itu rupanya justru menjadi keuntungan. Anak-anak berwudu secara bergiliran per kelompok. Guru-guru bisa lebih intens mengamati cara wudu mereka. Yang wudunya tidak sesuai dengan prosedur akan mendapat terapi.

“Musalanya di mana, Mas?” tanya saya kepada seorang anak yang sedang menunggu giliran berwudu.

“Di lantai 2,” jawabnya.

Saya masih mengenali wajah anak yang saya tanyai. Namun, seperti biasa, saya lupa namanya. Boleh jadi, saya sudah berulang kali menanyakan namanya. Saya jadi malu untuk menanyakannya lagi. Saya pilih pura-pura masih mengenal namanya.

Anak laki-laki itu berdiri di ujung antrean terjauh (paling kiri) dari tempat wudu. Ia satu-satunya yang berdiri. Teman-temannya duduk di rak sepatu. Ya, rak-rak di selasar itu didesain berfungsi ganda: laci-lacinya untuk menyimpan sepatu dan sandal, atapnya untuk bangku. Rak cum bangku yang dekat tempat wudu itu unik. Strukturnya mengikuti struktur lantai yang berundak. Jadi, bangkunya juga ikut berundak-undak. 

Anak yang saya tanyai itu harus rela berdiri karena “bangku” sudah penuh. Mungkin, ketika temannya yang duduk di ujung kanan sudah mendapat giliran berwudu, anak-anak itu satu demi satu bergeser ke kanan. Lalu, anak yang berdiri itu mendapat tempat duduk. Atau, anak-anak yang sedang mengantre itu satu kelompok? Mereka akan “diberangkatkan” bareng ke tempat wudu?

Saya tidak melanjutkan pengamatan di sana. Saya khawatir, informan saya itu membatin, “Tadi tanya musalanya di mana. Sudah dikasih tahu di lantai 2, malah kerasan transit di sini!”

Saya segera melangkahkan kaki menuju lantai 2. Beberapa langkah ke selatan dari tempat “transit” itu ada tangga di sisi kiri. Saya naik. Saya lupa tidak menghitung jumlah anak tangganya. Yang saya ingat jelas, tangganya punya satu kelokan. Awalnya, dari lantai 1 saya mendaki ke timur, lalu berbelok ke kanan dan mendaki ke barat.

Sampai di lantai 2, saya hendak berbelok ke kiri—sambil tengak-tengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada orang untuk ditanyai.

“Musalanya di situ, Pak,” seru seseorang dari belokan tangga. Tangannya menunjuk arah kanan.

Saya tengok. Pak Slamet. Saya biasa memanggilnya Mas Slamet. Beliau masih muda. Mungkin usianya terpaut belasan (kalau tidak malah likuran) tahun dari umur saya. Selain jauh lebih muda daripada saya, namanya sama dengan nama kakak saya. Jadi, sapaan “Mas” terasa lebih berasa bagi saya.

Saya berhenti, menunggu Mas Slamet. Yang saya tunggu tampak mempercepat langkahnya. Barangkali beliau sudah kangen dengan “adiknya”. He-he-he.

Saya mengulurkan tangan ke arahnya. Mas Slamet menyambutnya. Aduh, cara bersalamannya membuat saya sungkan saja! “Kakak” saya itu menyalami saya seperti yang dilakukan anak saya.

Mas Slamet memandu saya menuju ruang di sebalah utara tangga. Beliau membuka pintu. Saya dorong punggungnya agar beliau masuk lebih dahulu. Eee, ... beliau balik mendorong punggung saya dengan tangan kirinya. Sementara, tangan kanannya masih menahan handel pintu. Apa boleh buat, saya terpaksa masuk mendahului “kakak” saya.

Sebagian besar anak-anak sudah duduk bersila di atas karpet “musala”. Ya, yang difungsikan sebagai musala itu sebenarnya ruang kelas yang belum berpenghuni. Di gedung baru sekolah itu tersedia 18 ruang kelas. Yang sudah dihuni baru tiga.

“Sudah diazani apa belum?” tanya saya kepada Ridho.

Ridho duduk di ujung kiri saf kedua. Saya menyusul duduk di sebelah kirinya. Jadi, Ridho tidak jadi menjadi (banyak jadi-nya, kan?) pengunci saf kedua. Saya sempat melirik dada bajunya. Tidak saya temukan badge nama. Ya, ... mau bagaimana lagi kalau bukan bertanya? Jadi, Pembaca tidak usah berkomentar, “Tumben hafal nama?”

Azan dikumandangkan. Kata Ridho—menjawab pertanyaan saya seusai azan dikumandangkan—muazinnya Itaf. Dua tahun silam saya juga sudah berkenalan dengan Itaf. Saya waktu itu berusaha menghafal korespondensi wajah dan namanya. Namun, seperti yang terjadi hari ini, saya gagal.

Anak-anak berdiri dan menunaikan salat sunah kabliah. Mas Slamet juga. Beliau, yang semula duduk persis di depan saya, bergeser satu “kaveling” ke kanan.

Itaf mengumandangkan ikamah. Semua berdiri sebelum ikamah selesai. Tanpa komando. Memang sejak awal tidak terdengar komando selain azan dan ikamah. Ketika azan dikumandangkan, anak-anak otomatis menyahut. Suaranya perlahan. Tidak terdengar ada yang bersuara nyaring—semi-teriak, yang saya maksud. Azan usai, mereka berdoa. Tidak terlalu kompak, memang. Itu justru mencerminkan kesadaran masing-masing, bukan karena komando.

Anak di sebelah kanan Mas Slamet “berulah”. Ia tidak segera merapikan posisinya. Kaki kirinya disorongkan ke depan (semula saya tik muka; mendadak saya khawatir muka dipahami sebagai ‘wajah’). Badannya meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri. Mas Slamet memegang pundak anak itu dan membetulkan sikap berdirinya.

Usai salat Zuhur, anak-anak berzikir dan berdoa bersama-sama. Mas Slamet turut melafazkan zikir dan doa yang sama. Suaranya lebih nyaring daripada suara anak-anak dan para guru. Seolah-olah beliau tidak hanya berzikir untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi sekaligus memandu anak-anak kelas 1—3 itu.

Mas Slamet itu siapa? Nah, ini yang menarik perhatian saya. Seperti tampak pada foto candid hasil jepretan Pak Aruf di atas, “jabatan” beliau “hanya” perawat kebersihan. Orang modern menyebutnya cleaning service. Statusnya pun “hanya” pegawai alih daya (outsourcing). Lalu, dari mana keterlibatan penuhnya dalam turut mengawal pembiasaan positif anak-anak itu bersumber? Inisiatifnya sendiri atau kebijakan Sekolah?

Ah, biarlah menjadi ranah para pemegang otoritas manajerial untuk menyelidikinya.

Saya hanya tahu, di belakang saya tadi ada dua—yang tertangkap oleh penglihatan saya—orang asing. Yang satu mengenakan kostum yang sama dengan kostum Mas Slamet. Yang satunya lagi memakai kemeja lengan panjang dan berpeci. Yang terakhir itu Mas Indra. Saya sempat berkenalan dengannya sebelum Itaf mengumandangkan ikamah. Saya tidak menanyakan apakah Mas Indra teman sejawat Mas Slamet. Kalau yang satunya—ditilik kostumnya—dapat dipastikan iya.


Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer