9 Jan 2025

Bikin Malu Saja

Fathir dan Cemara
“Kamu sudah wudu, belum?” tanya Fathir kepada temannya yang baru usai buang air kecil. “Setelah pipis, wudu dulu,” lanjutnya, menasihati teman sekelasnya itu.

Reportase singkat itu ditulis oleh salah seorang guru di sebuah sekolah. Tercatat, guru itu mengepos liputannya pada pukul 09.05 pagi kemarin (08/01/2025).

Satu menit kemudian, guru lain mengepos liputan dengan topik serupa: “Gibran, Rafa, Fathir, dan Aya melapor bahwa mereka sudah berwudu setelah BAK.”

Semua pelaku pada kedua peristiwa itu murid kelas 2 SD. Saya tidak hafal apakah kedua pengepos laporan peristiwa itu guru kelas mereka atau bukan. Di sekolah mereka, semua guru adalah guru bagi semua murid.

Demi membaca tulisan dua guru cum reporter itu, saya membatin, “Rasa-rasanya sudah pernah menjumpai catatan anekdot seperti ini.” Saya tergoda untuk melacaknya di dua “log book” yang berisi jurnal perilaku murid-murid sekolah mereka. Saya buka “log book” kelas 2. Saya ketik kata kunci: sudah wudu. Nihil. Tidak ada catatan serupa selain dua liputan hari kemarin itu. Kata kunci yang sama saya ketikkan di bilah pencarian pada “log book” kelas 3. Terlacak dua reportase.

Pada 5 Juni 2024, seorang guru meliput, “Adit kembali dari kamar mandi dengan kondisi sudah berwudu lagi.” Narasi itu diikuti catatan dialog dua teman Adit: Cemara dan dan Daffa. “Daffa sudah wudu, belum?” tanya Cemara. Sudah, dari rumah, jawab Daffa.

Sebelum itu, pada 26 April 2024 kepedulian Cemara juga dipergoki oleh guru yang sama. Kali itu Najwa, juga teman sekelasnya, baru usai dari toilet. Cemara menanyainya, Sudah wudu lagi, belum? Najwa menjawab, Sudah.

Titimangsa liputannya menandakan bahwa dua insiden itu berlangsung ketika para pelakunya—kini kelas 3—masih duduk di kelas 2. Memang, “log book” berlabel “DAILY ACTIVITY KELAS 3” itu tahun lalu masih bergelar “DAILY ACTIVITY KELAS 2”. Seiring dengan pergantian tahun ajaran, namanya diperbarui, disesuaikan dengan tingkat kelas para tokoh ceritanya. Jadi, “DAILY ACTIVITY KELAS 2” yang sekarang berisi cerita keseharian anak-anak yang tahun lalu kelas 1.

Di komunitas kelas 2 tahun lalu ada Cemara. Di kelas 2 tahun ini ada Fathir. Keduanya pernah tepergok paparazi—ups, gurunya—ketika sedang menjadi “alarm” wudu. Bisa jadi, tidak hanya sekali atau sesekali mereka menjalankan peran alarm itu. Atau, boleh jadi banyak “Fathir” dan “Cemara” lain di kelas mereka masing-masing. 

Saya membayangkan Gibran, Raffa, Aya, Adit, Daffa, Najwa, dan entah siapa lagi—yang sudah terbiasa melanggengkan wudu itu—juga seperti Fathir dan Cemara: juweh mengingatkan teman yang usai berhadas. Lalu teman yang diingatkan itu “balas dendam”: menjadi “alarm” untuk temannya yang lain. Alhasil, terbentuklah “alarm” berantai. Wah, kalau dibiarkan keterusan, bisa-bisa melanggengkan wudu itu menjadi budaya sekolah mereka.

Sebentar! Saya jadi penasaran: dari mana Fathir, Cemara, dan kawan-kawan membawa benih kebiasaan melanggengkan wudu itu? Dari keluarga, masyarakat sekitar tempat tinggal, atau sekolah? Ah, biarlah pertanyaan itu saya sisakan untuk bahan riset kaum peneliti (dan pengembang) pendidikan karakter. Bagian saya cukup berdoa: dari mana pun benihnya disemai, semoga kebiasaan positif mereka itu menular ke dua lingkungan pendidikan lainnya.

Yang gagal saya mungkiri, cerita tentang anak-anak pejuang wudu itu telah membuat saya cukup malu. Anak-anak sebelia mereka, yang barangkali belum mukalaf, sudah segigih itu berjuang membangun komunitas “tiada detik berlalu tanpa wudu”. Ah, saya jadi bimbang: cerita mereka itu sebenarnya “membuat saya cukup (lumayan) malu” atau “cukup (hanya) membuat saya malu (saja)”?

Betapa memalukannya saya kalau liputan peristiwa itu cukup hanya membuat saya malu saja! Kalau hanya malu thok sudah merasa cukup, tentu saya akan dipermalukan oleh Fathir atau Cemara sewaktu-waktu tepergok mereka ketika saya keluar dari toilet. Lantas harus bagaimana?


Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer