![]() |
Tri CahyaNINGsih |
Tri CahyaNINGsih, namanya. Kehadiran empat huruf kapital di tengah nama belakangnya itu saya sengaja. Bukan salah tik. Tidak usah ditanyakan kenapa. Hanya mereka yang paham yang tahu jawabannya.
Nama itu sempat viral sejak 24 Oktober tahun lalu. Nama Tri terus berkibar di jagat maya. Setidaknya hingga satu pekan berikutnya. Berkat capaiannya yang menonjol dalam seleksi kompetensi dasar (SKD) calon pegawai negeri sipil (CPNS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Jawa Tengah. Skornya 476. Tertinggi. Warganet mengelu-elukannya.
Skor SKD Tri menjadi istimewa, mengingat status sosialnya yang tidak istimewa. Ibu dua anak yang tinggal di Penggung, Boyolali itu “hanya” seorang buruh pabrik tekstil. Suaminya, Wahyudi, juga seorang buruh pabrik di kota tetangga: Salatiga.
Kesempatan mengikuti seleksi CPNS dipandang Tri sebagai peluang untuk mengubah nasib. Dengan profesi buruh pabrik, mereka gamang menatap masa depan kedua anak mereka. Maklum, buruh pabrik tidak punya karier. Penghasilannya tergantung pada UMK, yang diteken gubernur tiap tahun.
Hari-hari ini nama perempuan 32 tahun itu kembali menggemparkan media pemberitaan. Peringkat pertama perolehan skor SKD ternyata tidak serta-merta mengantarkan Tri menjadi anggota KORPRI. Kekaguman warganet empat bulan yang lalu, kini berubah menjadi keibaan.
Formasi yang dilamar Tri, penjaga tahanan. Ada syarat tinggi badan: minimal 158 cm. Dalam tes kesehatan diketahui, tinggi badan Tri hanya 157,5 cm. Tri lahir terlalu cepat. Sejak masuk TK hingga lulus SMA, dia belum sempat menikmati jatah makan bergizi gratis (MBG). Selama Tri bersekolah, barangkali yang berlaku di keluarga masih MGJS akibat MGMB. Makan bergizi jarang sekali akibat makan begizi mahal banget. Pun ketika sudah bekerja, ransumnya mungkin MGWW. Mangan gur waton wareg. Akibatnya, ketertinggalan setengah senti pun tidak terkejar.
Kegagalan Tri mewujudkan impiannya untuk menjadi abdi negara itu sepenuhnya dapat dimaklumi. Kriteria tinggi badan sudah diumumkan sejak awal. Pengukuran tinggi badan Tri dilakukan secara presisi dan transparan. Dapat dipertanggungjawabkan. Satu saja yang saya gagal memahaminya: mengapa pengukuran tinggi badan itu baru dilakukan setelah serangkaian tes dilalui oleh pelamar?
Tri berdomisili di Boyolali. Dia bekerja di pabrik. Wahyudi, suaminya, juga pekerja pabrik. Mereka punya dua anak kecil: sulungnya kelas 4, bungsunya 4,5 tahun. Tes seleksi CPNS dilangsungkan di Semarang. Tiap kali Tri berangkat tes, Wahyudi mengantarnya. Tentu menunggui sampai selesai. Bisa jadi, dua-duanya harus meninggalkan pekerjaan mereka. Bisa ditebak konsekuensi bagi buruh pabrik yang mangkir. Kalau anak-anak, sih, bisa dititipkan di TPA (tetangga penitipan anak). Gratis.
***
Sekian tahun silam, cucu (anak keponakan) saya datang ke Semarang. Diantar pamannya, keponakan saya dari kakak yang lain. Dari pelosok selatan kabupaten Wonogiri. Hendak mendaftar di sebuah perguruan tinggi vokasi. Program studi pilihannya mensyaratkan bebas buta warna. Setibanya di kampus, ia diberitahu perihal itu. Karena tidak membawa (belum punya) surat keterangan bebas buta warna, ia disarankan oleh panitia untuk tes di puskesmas.
Dari puskesmas, cucu saya langsung pulang. Ups, salah. Kembali ke rumah kakeknya yang tinggal tidak jauh dari kampus yang dituju, maksud saya. Ia sudah tidak perlu kembali ke kampus incarannya. Surat keterangan dari puskesmas menyatakan ia buta warna. Selesai. Ia tidak perlu susah-susah mempersiapkan diri untuk tes potensi akademik dan lain-lain.
Bisa dibayangkan seandainya verifikasi “melek warna” itu dilakukan setelah cucu saya melalui rangkaian tes lainnya. Tidak terbayangkan bagaimana perasaannya seandainya ia mengalami nasib serupa dengan Tri. Misalkan skor tes potensi akademiknya melampaui ambang batas lolos (passing grade), belakangan baru diketahui matanya buta warna.
Memang cucu saya sempat loyo. Akibat gagal masuk kampus dan program studi pilihannya. “Hanya” gara-gara tidak bisa membaca angka yang dibentuk dengan mosaik warna.
“Jauh-jauh hanya untuk tes mata, Mbah,” keluhnya menyambut kedatangan saya.
Saya memberi ia tantangan, “Kalau masih ingin kuliah, harus banting setir. Pilih jurusan yang tidak mensyaratkan bebas buta warna. Mulai dari nol. Anggap saja kamu lulusan SMA. Belum punya spesialisasi kejuruan.”
Ia lulusan SMK. Jurusan Teknik Komputer Jaringan (TKJ). Menurut pengakuannya, ia tidak dites “angka-warna” ketika masuk SMK dulu. Gegabah! Tapi baik hati. Sekolah swasta di provinsi tetangga itu memberinya beasiswa penuh sampai lulus.
Cucu pertama saya dari anak pertamanya kakak pertama itu menerima tantangan saya. Ia mendaftar untuk jurusan yang ramah buta warna: teknik konstruksi gedung. Masih di perguruan tinggi vokasi. Cuma, kampusnya jauh lebih jauh. Di Depok. Dekat Jakarta, kata orang-orang. Lebih jauh, tetapi lebih menggembirakan. Bukan hanya gratis kuliah, melainkan juga mendapat uang saku bulanan. Lolos seleksi Bidikmisi—sebelum berganti nama menjadi KIP yang sering salah sasaran.
Cucu saya mendapati kemujuran besar setelah melalui kekecewaan kecil. Semoga demikian pula nasib Tri. Hasil SKD-nya yang istimewa itu kelak bisa digunakan untuk seleksi CPNS lagi. Di formasi yang lain. Lalu lolos menjadi PNS. Dengan tugas yang tidak seriskan menjaga rumah tahanan. Rumahnya, sih, tidak sangar. Tapi, penghuninya itu, lho!
Yang lebih penting, semoga ada koreksi prosedur seleksi CPNS di Kemenkumham. Juga di instansi apa pun. Tahapan seleksi diatur menurut akal waras.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar