“Bawa saja ke barak militer.”
“Fatwa” itu saya sampaikan sebagai jawaban spontan atas curhatan seorang kepala sekolah. Ia risau. Institusinya mendambakan sekolah-sekolah yang diselenggarakannya tampil sebagai sekolah unggul. Untuk mewujudkannya, sumber daya manusia pelaksana sekolah tentu memegang peranan kunci. Tidak bisa ditawar, keunggulan guru dan tenaga kependidikan menjadi kontributor utama dan pertama.
Aneka forum upgrading diselenggarakan secara berkala. Mulai dari sekadar gelar wicara, seminar, lokakarya, hingga pendidikan dan pelatihan (diklat). Ia risau. Semua tidak menunjukkan dampak signifikan. Hanya gayeng di tempat dan waktu berlangsungnya acara. Selepasnya, semua kembali ke kebiasaan semula.
Metode dan model upgrading apa lagi yang perlu dipakai? Ia risau. Curhat kepada saya. Ia sempat terbengong-bengong mendengar jawaban saya. Maklum, waktunya beriringan dengan musim “retret” di Akademi Militer (Akmil) yang diikuti “jemaat” Kabinet Merah Putih.
Mengapa barak militer? Sudah saya sebut, itu jawaban spontan. Tidak melalui proses istinbat. Tidak perlu digali landasan berpikirnya. Saya hanya berkaca pada secuil pengalaman. Diramu bersama segumpal khayalan.
Semasa kecil saya, jalan di depan rumah orang tua—juga depan SD—saya dilalui banyak tentara. Long march. Menapak tilas rute gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman. Itu kata orang-orang. Ketika itu saya belum mengenal istilah-istilah itu.
Pada usia SD itu saya baru bisa mengamati dan mengagumi penampilan mereka. Bertubuh kekar tetapi ramping. Gagah. Berbaju dan bercelana doreng. Ketat. Bersepatu lars. Hitam. Bertopi baja—kata orang-orang lagi. Menggendong ransel di punggung. Menyengkelit botol minum di pinggang. Berjalan cepat. Sambil bernyanyi. Rampak. Kompak.
Semasa SD itu pula, saya sering mengikuti latihan baris-berbaris. Juga sering ditunjuk sebagai pemimpin upacara bendera. Saya membayangkan postur tubuh saya setegap para tentara itu. Sekuat tenaga saya berusaha mengatur gerakan kaki dan tangan segesit dan serapi mereka.
Tentara menjadi idola saya semasa SD. Saya sempat tergiur ingin menjadi tentara. Sayangnya, saya penakut. Kalau dinakali teman—adik kelas sekalipun—buru-buru saya menangis. Itu senjata ampuh. Kalau ada yang menangis, pasti ada teman yang melapor kepada guru. Perkelahian pun batal. Aman.
Di SPG (sekolah pendidikan guru—setingkat SMA), saya (lupa: terpilih atau ditunjuk) menjadi wakil ketua OSIS. Salah satu bidang garap saya, pendidikan pendahuluan bela negara. Setiap akhir pekan, saya melatih para calon petugas upacara sebelum bertugas pada Senin pekan berikutnya. Saya terapkan standar baris-berbaris tentara. Termasuk gaya instruksi saya. Eksesnya, saya tidak disukai teman-teman laki-laki dan ditakuti teman-teman perempuan. Dapat ditebak akibatnya: semua batal menaksir. Fatal!
Pernah suatu ketika, latihan upacara ditongkrongi seorang pegawai Kandepdikbud (sekarang dinas pendidikan kabupaten). Bagian Binmudora (pembinaan pemuda dan olahraga). Beliau memberikan brifing usai latihan. Ada koreksi: posisi tangan pengibar bendera. Dalam tata upacara sipil (TUS), kepalan tangan ketika memegang tali pengerek bendera menghadap ke dalam. Ibu jari di atas. Maknanya, bela negara ke dalam: mengisi kemerdekaan. Yang saya praktikkan sebelumnya terbalik. Kepalan tangan menghadap ke luar. Ibu jari di bawah. Cara ini berlaku dalam tata upacara militer (TUM). Maknanya, bela negara ke luar: mempertahankan kemerdekaan.
Ada juga yang dipuji—karena sudah benar: arah pembentangan bendera. Sebelum dikibarkan, bendera dibentangkan dari tengah ke kanan. Petugas tengah memegang pangkal bawah (bagian putih) bendera yang sudah diikatkan ke tali pengerek. Petugas kanan menarik kedua ujung bendera—merah dengan tangan kanan, putih dengan tangan kiri—sambil mundur beberapa langkah, menyesuaikan ukuran bendera. Petugas kiri memegang lalu menarik tali pengerek.
Sekian tahun kemudian, saya menjadi guru SMA. Mengajar di dua sekolah. Dua-duanya punya sejumlah murid berperangai kurang menyenangkan. Ada yang, menurut kacamata saya, keterlaluan: menyerang guru secara fisik. Para guru kewalahan. Menyerah. Anak-anak itu dikembalikan kepada orang tua mereka. Jadi korban frustrasi gurunya.
Murid-murid pembuat jengkel itu dapat diibaratkan kendaraan rusak. Guru-guru—bisa juga orang tua murid—yang kehabisan akal itu ibarat si pemilik kendaraan. Kendaraan rusak yang dibuang akan menjadi rongsokan. Kalau bernasib mujur, ia akan diambil pemulung, lalu kelak diaur ulang menjadi barang lain yang bermanfaat. Kalau malang, rongsokan itu akan menjadi sampah yang mencemari lingkungan. Besi-besinya berkarat dan keropos. Ujung-ujungnya yang runcing dan pinggirannya yang tajam dapat melukai orang-orang yang menyentuhnya.
Demikian pula masa depan murid-murid yang terbuang dari sekolah mereka itu.
Kendaraan yang rusak itu akan menemukan nasib berbeda kalau pemiliknya sabar dan legawa. Dia boleh frustrasi lantaran gagal memperbaiki sendiri kendaraannya. Namun, dia tidak boleh menafikan keberadaan orang lain yang layak dipercaya untuk mereparasi kendaraannya. Menerima kegagalan sendiri seraya mengakui kemampuan orang lain itu wujud sikap legawa. Tetap menyayangi kendaraannya, lalu membawanya ke bengkel, dan rela bepergian dengan berjalan kaki selagi kendaraannya menjalani reparasi itu wujud sikap sabar.
Jika sekolah dengan segenap sumber daya yang dimilikinya dan keluarga dengan segala ikhtiarnya tidak mampu mereparasi perilaku murid/anaknya, berdosakah kalau mereka memercayakan reparasi itu kepada “bengkel”? Ada yang sepakat dengan catatan: tetapi jangan militer! Mereka yang menolak keterlibatan militer itu menyodorkan beberapa alternatif. Mulai dari restorasi parsial berupa konseling pada anak yang bermasalah hingga restorasi sistemik: penciptaan ekosistem pendidikan—sekolah, keluarga, dan masyarakat—yang suportif bagi pembangunan karakter anak-anak.
Ide mereka itu bagus: manusiawi dan elegan. Hanya saja, tampaknya mereka memandang masalah kenakalan anak sekolah ini dari langit lapisan ke-7. Tanpa teleskop. Dalam satu sekolah, ada berapa murid yang membutuhkan konseling? Dalam satu kabupaten/kota, berapa konselor profesional yang diperlukan? Siapa dan berapa orang yang akan dikerahkan untuk merestorasi ekosistem pendidikan di sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam setiap kabupaten/kota?
Mengapa diboyong ke barak militer? Bukan tentaranya saja yang didatangkan ke sekolah? Ada dua kepentingan: psikologis dan teknis. Di barak militer, tentara menjadi tuan rumah. Sementara, kalau didatangkan ke sekolah, tentara menjadi tamu. Perbedaan status itu menciptakan suasana psikologis yang berbeda pula. Tentara yang dipinjam sementara untuk mendidik anak-anak berperilaku khusus itu butuh otonomi dan kepercayaan diri. Keduanya mereka miliki kalau mereka menyandang status sebagai tuan rumah, bukan tamu.
Di barak militer tersedia sarana dan prasarana yang memadai untuk menempa sikap dan mental anak-anak secara massal. Kapasitas tempat tidur, kamar mandi, ruang makan, tempat ibadah, lapangan olahraga, dan fasilitas-fasilitas lain harus menjamin terlaksananya kegiatan peserta didik secara serentak. Tidur, mandi, dan makan di barak militer itu dibatasi durasinya. Kegiatan selama 24 jam sehari dijadwalkan secara terstruktur. Itu metode pembiasaan disiplin.
Belum lagi, bagaimana manajemen dampaknya terhadap murid-murid yang bukan sasaran program? Ketika sekolah mereka dipakai sebagai ajang pendidikan khusus bagi teman-temannya yang berperilaku khusus, diapakan murid-murid “umum” itu? Diliburkan? Atau tetap masuk dan menjadi penonton yang bebas menyoraki teman-temannya yang tengah menjalani terapi?
Nah, ketika murid-murid “khusus” tetirah di barak militer, murid-murid “umum” tetap menjalani aktivitas belajar seperti biasa. Di sela-sela pembelajaran, guru dapat menyisipkan usaha-usaha penciptaan ekosistem sekolah yang suportif bagi pemulihan perilaku anak-anak yang sedang dididik di barak militer. Sekembalinya dari pendadaran, murid-murid “khusus” itu diterima oleh teman-teman dan guru-gurunya. Tanpa pelabelan negatif. Tanpa perundungan. Tanpa pengucilan.
Setelah kembali ke sekolah, murid-murid alumni barak militer itu difasilitasi untuk dapat melanggengkan kebiasaan positif yang diperoleh di pendadaran. Salah satu cara efektif untuk maskud tersebut adalah pemberian kepercayaan. Mereka diberi kepercayaan untuk menularkan kebiasaan positif itu kepada teman-temannya. Dengan dipercaya menjadi mentor, mereka merasa punya tanggung jawab untuk tampil sebagai model.
Saya belum pernah mengalami maupun menyaksikan sendiri pendidikan karakter ala militer. Saya hanya sempat menyimak secuil pengalaman istri saya. Belasan tahun yang lalu, dia bersama teman-temannya dikirim ke Rindam IV/Diponegoro di Magelang. Hanya 3 hari. Kembali ke rumah, dia menceritakan pengalamannya dilatih menyelesaikan kegiatan dalam waktu yang dibatasi.
Oleh-oleh itu saya aplikasikan di kelas saya. Dalam skala kecil dan sederhana: prosedur baku salat Zuhur. Mulai dari melepas sepatu dan kaus kaki sampai memakainya kembali. Dalam waktu kurang dari 3 pekan, seluruh murid di kelas saya—anak-anak kelas 6—berhasil menjalankan prosedur tanpa komando.
Bagi saya, pendidikan karakter melalui pembiasaan di barak militer itu hanya sebatas melintas di khayalan. Sementara, Dedi Mulyadi—walau hanya di rumah, bukan di barak militer—sempat merasakan didikan ala militer dari ayahnya. Saya tidak tahu lebih jauh, apakah kerangka berpikir “Gubernur Konten” itu sebangun dengan kerangka berkhayal saya. Yang saya tahu, beliau juga hanya memberikan job kepada institusi militer sebagai “bengkel”. Bukan mengalihkan wewenang pendidikan sipil dari sekolah ke garnisun. Setelah dibina di barak militer, anak-anak kembali menjalani aktivitas sebagai pelajar di sekolah sipil. Perkara nanti ada di antara mereka yang kesengsem dengan kehidupan ala militer hingga bercita-cita menjadi tentara, ya, saya doakan saja semoga cita-cita mulia itu terkabul.
Ada lagi penolakan yang bersandar pada regulasi. Didalihkan, tidak ada peraturan perundang-undangan yang memberikan mandat kepada militer untuk mendidik anak-anak sipil. Saya enteng saja menanggapi pendapat seperti itu. Pendidikan itu perkara muamalah. Dalam fikih muamalah berlaku kaidah “sepanjang tidak ada dalil larangan, boleh dilakukan”. Lah, adakah peraturan perundang-undangan yang melarang pelibatan militer dalam pendidikan anak sekolah?
Saya antimiliterisme. Dalam pengertian, pemanfaatan militer sebagai alat kekuasaan untuk mengebiri hak-hak sipil. Kehadiran tentara dalam rangka mengintai, memata-matai, menakut-nakuti, apalagi membantai masyarakat sipil, jelas saya tolak sejak dalam pikiran. Namun, dalam hal pendayagunaan militer untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat sipil, di mana dosanya?
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar