20 Jan 2025

Gratis dan Bergizi Saja Belum Cukup

Sumber gambar: kompas.com

Usai menumpang salat Zuhur, saya mampir ke ruang kelas 2. Seorang anak laki-laki sedang mengambil nasi dan sayur untuk dituang ke piringnya. Serba sedikit. Sampai di talam ketiga, paling kanan dari arahnya, ia seperti ragu.

“Ini apa, Bu?” tanyanya kepada ibu gurunya.

“Ayam,” jawab Bu Guru.

Saya sempat menggoda, “Hanya cuilan ayam.”

Anak itu mengambil satu potong ayam, lalu berjalan menuju tempat duduknya.

Mangga, Pak,” kata dua orang ibu guru, bergantian menawari saya sebelum mengambil jatah makan siang yang disajikan secara prasmanan.

Saya hanya tersenyum simpul sambil menganjurkan tangan kanan ke arah meja hidangan. Telapak tangan saya terbuka penuh. Saya memang tidak biasa menyilakan orang dengan ibu jari saja—sementara, empat jari yang lain mengatup. Saya lalu keluar meninggalkan mereka. Saya lupa, sempat mengucapkan terima kasih atau tidak. Kalau tidak, semoga senyum saya—sudah saya manis-maniskan—mereka anggap mewakili ucapan terima kasih atas tawaran makan siang itu. Kalau sampai terima kasih itu terungkap secara lisan, itu prestasi luar biasa. Kalau ada kontes kekikiran dalam melisankan pujian dan terima kasih, saya pasti juara.

Sampai di luar kelas, saya mendapati seorang gadis mungil menaruh piring dan sendok di keranjang plastik di sebelah wastafel. Piring basah itu ditaruh dalam posisi telentang. Anak itu lalu masuk ke ruang kelas. Saya membatin protes, “Kok tidak ditengkurapkan?” Masih dalam batin, saya mengoceh, “Kalau menelungkup, kan, airnya mudah mengalir? Piringnya akan menjadi kering. Atau, lebih bagus lagi, piring itu ditiriskan di rak. Posisinya miring.”

Ah, bodoh amat! Saya berlalu sambil membawa kritik terpendam di dalam hati. Anehnya, sambil berjalan saya masih bolak-balik menoleh ke arah wastafel dan keranjang itu. Eh, gadis itu kembali ke keranjang piringnya. Dua helai kain lap—sepertinya, kanebo—tersampir di tangannya. Yang satu dibentangkan di dinding rak. Yang satunya lagi dipakai untuk mengelap piring dan sendok yang semula ditinggalkan.

Saya balik badan lalu kembali menghampiri anak itu.

“Rara,” jawabnya, ketika saya tanyakan namanya.

Duh, saya telanjur menyalah-nyalahkan prosedur cuci piring yang dilakukan Rara. Saya gegabah melayangkan dakwaan. Tentu sasaran saya bukan Rara, melainkan guru-gurunya. Untung, saya hanya membatinnya. 

Ternyata piring telentang itu hanya sementara. Dan ... Rara cukup cerdas “binti” cermat. Seandainya piring yang masih basah itu ditengkurapkan—seperti saran yang saya batin—pasti air di lekukannya menetes deras dan membasahi rak kayu (rak sepatu sekaligus bangku) yang dipakai untuk tatakan keranjang. Pantas saja, Rara tampak berpikir-pikir sejenak sebelum meletakkan piringnya di keranjang. Rupanya dia mencari cara untuk meminimalisasi tetesan air. 

Mungkin, sebelum mencuci piring, dia mengira kain lap sudah tersedia di keranjang. Setelah tidak mendapati kain lap di sekitar wastafel, dia lalu memutar akal untuk menemukan solusi. Dan ... dia berhasil melalui ujian critical thinking dan creativity skills itu dengan mulus. Tidak tersirat ekspresi protes dan gerutuan di raut mukanya. Wajahnya terjaga tetap manis hingga detik terakhir saya memandanginya. Saya mengamati keprigelan Rara dengan sepenuh mongkok.

Nuriya Khumaira Azzahra alias Rara

“Habis ini ditaruh di mana piringnya?” tanya saya setelah Rara tuntas mengelap perabot makannya.

“Di rak,” jawabnya singkat.

Rara mengangguk ketika saya tanya apakah rak piringnya ada di dalam kelas.

Dua anak—dua-duanya perempuan—menyusul ke area wastafel sebelum Rara kembali ke kelas. Yang satu langsung membuka keran dan mencuci piring dan sendok yang usai dipakai untuk makan siang. Yang satunya lagi mengantre di belakangnya.

Kepada yang sedang mencuci piring, saya bertanya,  “Di rumah juga biasa mencuci piring sendiri?”

“Iya. Tapi, kalau di rumah enggak pakai sabun. Hanya pakai busa,” jelasnya.

Sama. Dulu, sewaktu kecil, saya kalau mencuci piring juga tidak memakai sabun. Tapi tidak serupa. Saya memakai abu sebagai pengganti sabun. Ada lagi yang tidak serupa: alat penggosoknya bukan busa, melainkan sabut kelapa. Ah, kok jadi melamun? Barangkali memang demikian adanya: kenangan masa kecil baru terasa keindahannya setelah kita beranjak tua. Dan perilaku anak-anak yang kita jumpai sering mudah membangkitkan kenangan indah ketika kita seumuran mereka.

Hari ini Rara dan kawan-kawan menjadi pelaku. Saya yakin, mereka saat ini—seperti saya ketika seusia mereka—belum merasakan kebiasaan mencuci piring sendiri itu sebagai pengalaman berharga. Mereka masih harus menunggu puluhan tahun untuk menyelaminya. Ketika sudah menemukan maknanya kelak, barangkali mereka akan mewariskan kebiasaan positif itu kepada anak-anak mereka.

Saya tidak melanjutkan pengamatan terhadap dua teman Rara. Saya bukan peneliti yang mengejar Scopus atau SINTA. Sampel satu anak saja sudah cukup untuk saya jadikan dasar generalisasi. Saya lagi-lagi menyimpan penasaran. Anak kedua itu mengaku, di rumah juga biasa mencuci piring sendiri. Jadi, kebiasaan baik itu dibawa dari mana ke mana? Dari rumah ke sekolah atau sebaliknya?

Bukannya merancang penelitian untuk menjawab penasaran itu, angan saya malah melayang ke sekolah-sekolah sasaran program makan bergizi gratis yang baru dimulai awal bulan sekaligus awal tahun ini. Pemberian makan bergizi—tidak perlu kata gratis karena kata pemberian sudah mengandung arti ‘gratis’—itu bagus. Dengan asupan makanan bergizi setiap hari, para pelajar siap tumbuh menjadi generasi emas. Namun, semua orang mafhum, makanan bergizi itu baru mengemaskan raga. Jika tidak dibarengi pemberlianan jiwa, emas jasmaniah itu rentan berkarat.

Tidak mungkinkah program pemberian makan bergizi kepada anak-anak sekolah itu disempurnakan dan dipadukan dengan pembentukan karakter berlian? Salah satunya, melalui pembiasaan membereskan sendiri perabot makan yang mereka pakai. Dengan perabot yang semuanya berbahan logam stainless seperti di sekolah Rara, kiranya pendidikan cuci piring sendiri itu tetap aman, untuk anak PAUD sekalipun.


Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer