19 Feb 2019

Tak Ada Murid Tak Pintar

Dia itu salah satu murid saya. Murid ilmu per-SOAL-an. Mulai dari nol. Besar. Dulu dia suka menyodorkan soal. Sudah jadi naskah sepaket. Minta disuntingkan. Saya baca sekilas. Lalu saya tanyakan: mana kisi-kisinya? Terbelalaklah si empunya soal.

Saya hafal. Mayoritas soal tes di negeri ini tidak menetas dari telur kisi-kisi. Entah. Mungkin terlalu merepotkan. Sempat membuat soalnya saja sudah bejo. Tak perlu dibebani tuntuntan yang lebih merepotkan: membuat kisi-kisi. Atau ada alasan lain: sudah mahir. Tiap pekan membuat soal. Masa, masih harus membuat kisi-kisi juga?

Dalam coaching kelompok pekan lalu, saya bertanya. Kepada seorang teman. Guru, yang juga penjahit. “Apakah penjahit yang sudah mahir juga biasa membuat baju yang dipesan pelanggannya tanpa membuat pola?” Begitu saya bertanya. “Ya tidaklah, Pak,” jawabnya. Sambil berekspresi gemas. Atau menggemaskan?

Murid saya punya alasan yang sama. Sudah tak berbilang naskah soal yang dihasilkan. Dan semua lolos. Tanpa ditagih kisi-kisinya. Barangkali lagi apes. Malam itu, belasan tahun lalu, dia menggugah sardula nendra. Sebenarnya sudah bertahun-tahun saya suka mengintip soal-soal buatannya. Dan saya temukan sejumlah kejanggalan. Tapi saya tak ambil pusing. Lebih enak melanjutkan tidur.

Insiden malam itu saya tangkap sebagai peluang. Kesempatan untuk turut berbakti: menambal kurikulum keguruan yang bolong-bolong. Turun tangan. Sekecil apa pun. Tak sekadar urung angan. Saya pinjam jargonnya Mas Anies, menteri yang tidak awet itu.

Diam-diam saya mengambil dokumen kurikulum. Lalu saya buatkan kisi-kisi soalnya. Lalu saya sodorkan kepadanya. Seperti dipaksa, dia pun membuat soal baru. Mulai dari nol lagi. Sesekali dia minta konfirmasi. Tentang stimulus yang mesti disajikan. Dia mendadak jadi rajin. Membolak-balik halaman koran dan majalah. Tak lagi mengandalkan buku teks, kitab sucinya bertahun-tahun. Malam-malamnya banyak tersita untuk menyeriusi mainan baru: soal yang genah. Dan mulai jarang menggauli mainan lama: saya. (?!)

Satu paket soal tes sumatif selesai. Sinyal-sinyal kelelahan tak bisa disembunyikan. Tapi, ekspresi kegembiraan tak jua mampu dirahasiakan. Rupanya dia mulai menemukan: penampakan ilmu yang pernah dikhutbahkan oleh mahagurunya. Bahwa menilai hasil belajar ternyata tak sama dengan menguji hafalan isi diktat.

Penasaran bercampur bayang-bayang kerepotan. Dia memberanikan diri bertanya: apakah setiap kali membuat soal harus juga membuat kisi-kisinya? Jawaban saya enteng: bukan harus membuat kisi-kisi, tapi harus berdasarkan kisi-kisi. Selama kurikulum belum berubah, satu kali dibuat, kisi-kisi bisa dipakai setiap tahun. Untuk jenis penilaian yang sama. Soalnya saja yang diperbarui. Diubah konteks atau stimulusnya. Atau diganti pertanyaannya. Atau semuanya. Maka, indikator soal mesti elastis.

Murid saya makin bergairah. Bukan terhadap saya! Melainkan terhadap seni merancang soal. Yang mengasyikkan itu. Dua, tiga, empat tahun tak cukup untuk membuatnya mahir. Seraya menapaki jalan menuju kemahiran itulah, dia melengkapi diri dengan kisi-kisi soal. Satu demi satu. Untuk seluruh kelas yang diampu. Untuk berbagai jenis penilaian: akhir tahun, akhir semester, tengah semester. Plus beberapa tes harian.

Ujian tak pernah luput menyambangi pejuang. Ketika bank kisi-kisi soal terpegang, kurikulum berganti. Eh, ber- atau di-, ya? Saya yakin, dia kecewa. Walau tak diungkapkan kepada saya. Justru saya yang sering menampakkan raut muka kecewa. Lantaran dia makin mesra dengan mainan yang mencanduinya: perangkat penilaian. Hingga merenggut malam-malamnya. Yang sebenarnya malam-malam saya pula.

Beberapa tahun terakhir dia menuai akibatnya: didaulat membuat soal untuk dipakai bersama. Digunakan di beberapa sekolah. Mulai sesubrayon. Lalu serayon. Dan hari-hari ini, dia sibuk dengan tugas baru lagi: menelaah soal. Buatan teman-teman sejawatnya. Untuk ujian akhir. Beberapa bulan mendatang.

Duh, saya hanya bisa menyesal! Sungguh, saya jadi tahu: tak ada murid yang tak pintar. Andai saya menyadari ini sedari dulu, pasti saya biarkan dia jumud dalam tradisi soal yang wujūduhū ka`adamihī. Ada rupa, tapi tiada dampak dan makna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer