17 Nov 2012

Lugas Nian

"Yang deg-degan (bukan es degan. lho!) tegang bukan adik-adik peserta lomba. Yang tegang justru ibu-ibu di kanan dan kiri aula. Kalau adik-adik ini sudah mantap, siap berlomba. Bahkan adik-adik sudah tidak sabar untuk segera mengerjakan soal. Mereka pada ngrasani, 'Pembukaannya kok lama banget?' Oleh sebab itu, saya tidak akan berpidato. Saya tidak perlu menyampaikan pidato apa pun. Saya tidak perlu memberikan pesan apa-apa yang harus Adik-adik lakukan. Adik-adik semua sudah tahu apa yang mesti kalian lakukan, karena Adik-adik semua adalah para juara.

Tadi semua mengaku ingin seperti Pak Menteri. Bahkan, semua ingin melebihi Pak Menteri. Tidak perlu ingin, karena sekarang saja Adik-adik sudah melebihi saya. Saya dulu tergolong tidak pintar matematika, sedangkan Adik-adik semua juara matematika plus studi Islam, lagi. Luar biasa!

Saya juga mengapresiasi keterlibatan Gontor (Ponpes Darussalam Gontor, maksud beliau) dalam kerjasama ini. Saya sudah sering berkunjung ke Gontor, dan saya mengagumi prestasi Gontor walaupun saya tidak sempat nyantri di sana. Itu karena saya dulu tidak lolos seleksi masuk ke sana.

Adik-adik semua yakin jadi juara karena semua peserta ini adalah para juara. Hari ini kita hanya akan mencari siapa juaranya juara. Jadi, nanti siang jam 2 (14.00, maksud beliau) selepas zuhur, saya ingin tahu siapa juaranya juara itu: namanya siapa, laki-laki atau perempuan, dari mana asalnya. Karena semua sudah jadi juara, saya yakin tidak ada di antara Adik-adik yang ingin menjadi penjahat."

Hanya itu sambutan Dahlan Iskan dalam pembukaan final FRC (Fakhruddin ar-Razi Competetion) ke-2 tahun 2012 di aula kampus STEKPI, Kalibata (atau Pancoran? -- maaf, saya bloon tentang Ibukota), Sabtu, 17 November 2012). Betapa lugasnya! Kurang pintar matematika diakuinya. Tidak lolos seleksi masuk Gontor dipamerkannya. Kepada anak-anak belia yang belum gaduk kuping untuk mencerna pidato menteri, beliau mengalah. 

Tahu aja Pak Menteri yang satu ini bahwa anak-anak negeri itu lebih membutuhkan motivasi ketimbang orasi. Alangkah pesat perkembangan jiwa mereka andai atmosfer seperti ini mereka temukan setiap hari di ruang-ruang kelas mereka!

Tibalah saatnya deklarasi pembukaan secara seremonial resmi. Dua orang petugas mendekat beliau. Satu membawa mikrofon, satunya lagi membawa nampan memuat pemukul gong. Tangan Dahlan menyambar mikrofon.

"Saya ingin didampingi tiga peserta terjauh. Peserta dari Makassar, Medan, dan Bali, silakan maju. Lariii ...!" teriak beliau.

Pak Menteri lupa bahwa ada seorang peserta dari luar negeri: Kuala Lumpur. Ralat segera dikoreksi.

"Tambah satu lagi. Yang dari Kuala Lumpur, silakan maju."

Empat batang tubuh mungil beliau rangkul. "Yang dari Medan, silakan memukul gong tiga kali," pinta beliau. "Pak Menteri menyaksikan saja."

Dasar orang Horas! Memukul gong kok di bagian tepinya? Takut dengan bagian tengah yang methuthuk itu, kalee! Ralat lagi. Kali ini, kesempatan mengoreksi dipercayakan kepada si Kuala Lumpur. "Do you speak Malay?" tanya beliau, yang kemudian beliau jawab sendiri, "Yes, of course." Berhasil! Sohibnya Upin-Ipin itu memukul gong tepat di pethuthukan tengah. Bunyinya menggelegar memenuhi aula.

Kok ada menteri selugas itu, ya? MURI sudah menyiapkan sertifikat atau belum? Atau, jangan-jangan beliau satu-satunya di dunia? Kalau memang begitu, The Guinness juga tak boleh ketinggalan, dong!

***
Sebelum giliran Dahlan Iskan, Pak Rektor (Prof. Agung ... -- saya lupa lengkapnya; maklum, namanya tenggelam oleh gelarnya: Prof., Dr., Ak., M.Si.) lebih dulu menyampaikan pidato sambutan selaku tuan rumah. Berikut petikannya, hanya yang terekam oleh cerminku.

"Adik-adik saat ini berada di rahim STEKPI (Nama komplitnya: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia; jadi, ada satu kata yang disembunyikan dari singkatannya). Ya, aula ini ibarat rahim ibu. Di bawah kita ini perpustakaan, seperti plasenta. Keluar dari aula ini, di depan sana Adik-adik akan disambut air yang menetes dari atas; itu ibarat ASI. Maju lagi, di halaman sana ada air lagi, yang memancar ke atas. Artinya, lulusan STEKPI harus mencuat di masyarakat, dengan karya dan kerjanya. Tapi tidak boleh sombong, karena air yang memancar itu akhirnya merunduk ke bawah juga. Maka, menengok ke kanan, Adik-adik menemukan masjid, tempat untuk menundukkan wajah, menaklukkan nafsu sombong."

Luar biasa! Arsitektur yang tidak mengedapankan kemewahan binti kemegahan, melainkan filosofi komunal-transendental yang harmonis dan rapi.

Pembaca tahu dan masih ingat kasus penangkapan sepasang remaja penimba ilmu agama di kamar mandi sebuah masjid dekat kampus mereka? STEKPI punya resep jitu untuk menangkal dorongan birahi busuk itu! Di semua ruang toilet, dinding depan dan samping kiri-kanan menggantung, terbuka di bagian bawahnya, setinggi kira-kira 25 cm dari lantai. Hanya sepanjang landasan kloset yang dindingnya menutup penuh sampai ke lantai. Ketika sedang jongkok di atas kloset, saya dapat melihat kaki orang yang kencing berdiri di toilet sebelah saya.

Boleh juga, itu perancang toilet! Antisipatif! Saya jadi ingat pesan Bang Napi: "Ingat! Kemaksiatan terjadi tidak hanya karena ada niat, tetapi juga karena ada kesempatan!"

Ya, hari ini saya merasa jadi mahasiswa STEKPI. Dan posting ini adalah tesisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer