Muhammad Surya Alam Aprilima. Demikian nama tokoh fenomenal ini. Ditakdirkan terlahir pada 5 April membuat ia menyandang tanggal ulang tahun itu di ujung namanya. Nama yang sungguh indah! Barangkali sepenggal perjalanan sekolahnya ini bisa menjadi sang surya yang menyinari keindahan dunia. Setidaknya, dunia teman-teman seusianya.
Paruh pertama semester gasal kelas 6. Seorang ibu menampakkan kesabarannya yang luar biasa. Ia menyilakan orang-orang lain mendahului gilirannya untuk mengambil laporan hasil belajar tengah semester anaknya. Ia memilih giliran terakhir.
"Saya minta tolong, Pak," pintanya kepada guru wali kelas anaknya. "Nilai matematika Surya itu selalu di bawah rata-rata," lanjutnya.
Keterlaluan memang! Dalam tes diagnostik untuk mendeteksi peta materi sukar pada ujian nasional—waktu itu masih berstatus UASBN—Surya “berhasil” memecahkan rekor. Nilainya 1,25! Artinya, hanya 5 dari 40 butir soal yang dijawab dengan benar.
"Baik, Bu. Beri saya kesempatan untuk melakukan observasi sampai akhir semester," jawab guru wali kelas, yang kala itu masih dalam masa pemulihan pascasakit.
Akhir semester gasal tiba. Hasil observasi wali kelas membuahkan harapan: Surya tidak lemah dalam matematika. What's wrong? Dia bisa berhitung, tapi dia juga terlalu sering mengalami error ketika mendokumentasikan hasil hitungannya. Selain itu, dia sering gagal mencerna kehendak soal matematika. Di samping itu, dia pun amat sedikit menguasai konsep-konsep matematika. Bah, panjang nian rangkaian problemnya!
Itulah fenomenalnya! Guru wali kelasnya bukan guru pengampu matematika! Tambah ruwet lagi, nih! Ia hanya seorang guru SD. Maka, dapat ditebak: terapi yang ditawarkan pun ala guru SD. Sore itu Surya diberi kesempatan untuk menangis. Hampir 2 jam!
Keesokan harinya, Surya diajak hijrah dari tiga kegelapan menuju tiga kecerahan. Pertama, hijrah dari kegelapan emosional terhadap orang-orang di sekitarnya: dari menolak jadi menerima. Kedua, hijrah dari kegelapan spiritual di dalam salatnya: dari salat bikin capek menjadi salat bikin rileks. Ketiga, hijrah dari kegelapan matematika: dari gaib menjadi nyata.
Hasilnya, nilai UASBN matematikanya 9,75! Subḥānallāh! Benarlah janji-Nya, "Bersama kesulitan tersimpan kemudahan x2!"
Hijrah, Istikamah
Sehari pascatangis 2 jam itu, tampak satu perubahan mencolok pada Surya. Salatnya jadi tenang dan betah. Bahkan, ketika salat sunah sebelum Asar, anak—yang kala itu—11 tahun itu mulai lebih dulu dan usai lebih akhir ketimbang gurunya.
Gurunya pun bertanya, "Kok, salatmu sekarang berlama-lama?"
"Iya, to? Saya, kok, nggak merasa?" jawabnya.
"Iya. Kamu kan lihat, tadi ketika kamu mulai salat, saya belum masuk musala. Dan ketika saya sudah salam, kamu belum selesai. Kenapa memang, kok, bisa begitu lama?" tanya gurunya, mengejar penjelasan.
"Nggak tahu, ya cuma enak saja rasanya," jawabnya singkat.
Fenomena baru—betah di dalam salat—itu berlanjut hingga ia lulus. Ya, setidaknya, begitulah yang terlihat oleh gurunya. Ibunya juga melaporkan bahwa sejak hari itu—setelah tangisnya tumpah selama 2 jam—Surya jadi rajin salat malam.
Mendapat berita itu, setiap pagi gurunya bertanya, "Tadi malam salat malam?"
Surya selalu mengangguk. Ini berlanjut hingga malam sebelum hari ujian terakhir.
Rumus Matematika
RUMUS dibalik menjadi SUMUR. Siapa yang dibekali otak encer, rumus akan menjadi alat mujarab untuk menyelesaikan soal-soal matematika. Namun, bagi yang berotak pas-pasan (pas mikir pas blank), pemakaian rumus terbalik saja membuatnya tercebur "sumur" kesalahan jawaban.
Bagaimana Matematika SD?
Oleh para pakar pembelajaran matematika modern, matematika SD dikategorikan sebagai matematika realistik. Artinya, matematika untuk anak SD mesti nyata, tidak seperti matematika akademik untuk anak kuliahan. So, kepada anak-anak selevel Surya, matematika mesti disajikan secara nyata. Bila tersaji secara nyata, soal matematika akan tampak sederhana. Bila soalnya tampak sederhana, penyelesaiannya akan terasa mudah.
Jadi, sebenarnya rumus matematika SD itu ya hanya tiga itu: (1) matematika itu nyata; (2) matematika itu sederhana; dan (3) matematika itu mudah. Menghafalkan, menghayati, dan mengamalkan ketiga rumus ini bukan tugas siswa, melainkan tugas guru. Guru matematika SD dituntut untuk menyajikan matematika secara nyata, mengonstruksi logika mencerna soal secara sederhana, sehingga siswa menemukan kemudahan dalam menyelesaikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar