31 Jan 2025

Raja Legawa

Itaf (mengacungkan jempol)

Kelas seketika berganti suasana. Dari semula hening dan tenang menjadi berdenging seperti kumbang. Riuh bukan karena rusuh, ramai bukan karena bertikai. Sekadar unjuk syukur berbalut asa. Bukan pesta kemenangan luapan euforia.

Anak-anak usai menggelar “pilkalas”. Pemilihan ketua dan wakil ketua kelas. Pesta demokrasi ala anak-anak kelas 3. Aturannya ringkas. Caranya sederhana. Prosesnya cepat.

Nama-nama kandidat dicatat. Total delapan. Empat nama dicalonkan oleh teman-temannya, empat yang lain mencalonkan diri. Tanpa seleksi administrasi. Tanpa tes medis dan psikiatri. Tanpa tim sukses dan kasak-kusuk koalisi. Tanpa kampanye dan obral janji-janji. Tanpa baliho bualan citra diri. Juga tanpa panitia, apalagi komisi. Pemungutan suara segera dimulai.

Semua pemegang hak pilih wajib memejamkan mata selama voting berlangsung. Nama-nama calon disebut satu demi satu. Yang mendukung disilakan mengacung. Jumlah tangan terangkat dihitung. Ridho meraup sembilan suara, mengungguli tujuh kandidat lainnya. Sudah pasti ia jadi ketua. Belum jelas siapa wakilnya. Itaf dan Fillio sama-sama memperoleh enam suara, menjadi runner up bersama.

Digelar voting putaran kedua. Duel Itaf dan Fillio memperebutkan kursi wakil ketua. 

“Itaf ...,” sebut guru kelas merangkap panitia tunggal, Bu Shoffa.

Sembilan tangan diangkat ke udara.

“Fillio ....”

Delapan belas tangan menunjuk ke angkasa.

Sah! Fillio terpilih sebagai wakil ketua kelas, mendampingi Ridho, yang lebih dulu memastikan diri sebagai ketua. Selama satu semeter ke depan, keduanya akan memimpin teman-temannya.

Pilkalas usai. Dari awal sampai akhir berlangsung damai. Itulah yang disambut anak-anak dengan sukacita. Tidak peduli jago mereka menang atau kalah. Yang jagonya menang tidak mentang-mentang. Yang jagonya kalah tidak marah-marah.

Di tengah kumpulan wajah berbinar ceria, terselip satu yang tampak bermuram durja. Kiranya wajar kalau Itaf kecewa. Ia maju sebagai calon atas usulannya sendiri. Ternyata perolehan suaranya hanya separuh dari jumlah pendukung Fillio, yang dicalonkan oleh murid lain. Sama-sama mencalonkan diri, Ridho menemui takdir berbeda. Ia berhasil terpilih menjadi ketua kelas.

Bu Shoffa mengucapkan selamat kepada ketua dan wakil ketua terpilih. Tidak lupa, beliau menyelipkan nasihat untuk murid-muridnya.

“Semoga kalian bisa menjadi contoh yang baik buat teman-teman,” harapnya kepada Ridho dan Fillio. “Yang belum terpilih jangan berkecil hati. Masih ada kesempatan lagi di kelas 4, 5, dan 6. Tunjukkan bahwa kalian anak-anak hebat yang bisa menjadi contoh yang baik buat teman-teman di sekeliling, ya,” sambungnya.

Bu Shoffa menyapukan pandangan ke seantero kelas. Tentu, Itaf mendapat porsi lebih besar daripada teman-temannya. Bu Shoffa tampak lega. Calon gagal itu terlihat mulai melupakan kekalahannya. Sepertinya Bu Shoffa sengaja tidak gegabah menggelontorkan intervensi ketika Itaf sedang dirundung kemurungan. Salah-salah, overdosis perhatian justru merongrong ketegaran Itaf. Memang Itaf perlu diberi kesempatan untuk mengelola sendiri emosinya. Ia perlu belajar berdamai dengan keadaan, betapa pun pahit atau getirnya.

Ups, jangan-jangan Itaf terdiam bukan karena murung, melainkan merenung. Ia menghitung berapa rugi. Ia membilang apa yang hilang. Lalu ia menemukan, rugi 0 dan hilang 0. Ia tidak menderita kerugian sama sekali. Ia tidak kehilangan apa-apa. Justru ia mendapat keuntungan besar: kesempatan untuk menjadi lebih baik. Seperti pesan Bu Shoffa, Itaf harus tetap menjadi contoh yang baik bagi teman-temannya. Tidak peduli apakah kelak masih berminat dan mendapat mandat untuk menjabat ketua di kelas 4, 5, atau 6.

Mungkin tidak semudah itu Itaf memupus perasaan kalahnya andai kontestasi pilkalas itu semahal dan sesengit pertarungan para elite politik dalam pilpres, pileg, atau pilkada. Itaf tidak kehilangan sepeser pun untuk membayar mahar pencalonan; menggaji tim sukses, juru kampanye, influencer, dan buzzer; menyebar baliho, spanduk, dan kaus; membagi sembako dan angpau. Itaf juga tidak melihat setitik pun noda kecurangan selama proses pemilihan.

Itaf memang bukan politisi sungguhan. Namun, kegagalannya dalam pilkalas tak membuatnya berlama-lama larut dalam kekecewaan. Kecewa sebentar, menata hati dan pikiran, lalu legawa. Itaf memang bukan politisi beneran. Namun, jiwa demokrasinya tak serendah dan sementah politisi yang luarnya asli tetapi dalamnya gadungan.

Bu Shoffa memang bukan komisi pemilu bayaran. Namun, sikap adil dan independennya tidak meragukan. Bersama anak-anak didiknya yang masih muda belia, beliau menampilkan praktik demokrasi yang adem dan elegan. Fair play. Wasit dan pemain sama-sama fair tanpa afair.

Tidak bisakah pemilu fair play seperti itu mengejawantah dalam pesta demokrasi yang skalanya lebih besar? Bukankah para wasit dan pemain dalam pemilu legislatif, presiden, gubernur, dan bupati/wali kota itu lebih dewasa—usia dan ilmunya?


Tabik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer