Matahari terbit dari
barat. Sinarnya terang berkilau, membuat semua mata merasa silau. Perlahan sang bagaskara
terus turun dari singgasananya. Jaraknya makin dekat ke bumi, anggota
keluarganya yang selama ini ditimang-timang dalam kehangatan dan kecerahan
cahayanya. Makin lama makin mendekat. Tinggal tersisa jeda sejengkal di atas
kepala orang berdiri.
Sengatan panasnya
membakar hangus segala benda, menembus segenap lapisan dinding pelindung makhluk semesta. Jalinan atmosfer
robek compang-camping kehilangan rupa. Rajutan ozon koyak menganga di
mana-mana. Seluruh mantel penghalang tak kuasa membendung radiasi sinar ultra
dan infra dari sang bola raksasa. Tiada yang tersisa. Benua es yang berjuta
tahun tidur nyenyak di dua kutub dunia mendadak cair. Lebur. Leleh. Luluh. Lantak.
Bumi berguncang
keras. Seluruh planet turut bergetar dahsyat. Resonansinya menimpa segenap
benda luar angkasa. Serentak berguguran. Rontok. Jagat raya memuntahkan segala
isi perutnya. Bongkah-bongkah bebatuan berhamburan keluar meninggalkan relung
persemayaman mereka. Satu, dua, tiga, …, berjuta bongkah menyembul bersamaan lalu meluncur kencang
dan terbang di udara. Gravitasi bumi menariknya kembali turun. Tak mau menunggu
giliran, rombongan batu-batu sebesar Gunung Semeru jatuh berbarengan. Pecah
segala yang ditimpa. Hancur segala yang diterjang.
Gunung-gunung
tercerabut dari akarnya.
Tingkahnya bak kapas tertiup angin lesus. Magma muncrat menjadi lava pijar.
Lava meleleh menjadi lahar. Disapu angin dan hujan, lahar hanyut lalu mengendap
di hulu sungai. Tak kuasa menampung guyuran air dari langit, sungai mengalirkan
endapan lahar ke hilir. Kelebihan volume muatan, hilir sungai muntah.
Marah. Adonan lahar diempaskan
ke sawah, ladang, kebun, dan rumah-rumah di perkampungan. Semua berubah seketika.
Gedung yang semula berdiri megah, rumah yang semula bertampang mewah, jembatan
yang semula membentang gagah, dalam sekejap musnah. Yang tersisa tinggal
puing-puing reruntuk simbol-simbol kepongahan makhluk serakah berbaur dengan
sampah.
Sudah terlalu lama
tanah warisan Adam dibiarkan tercemar. Tumpahan isi sungai tak sanggup diserap.
Sudah menjadi putusan hukum alam bahwa air tak bisa dilarang mengejar posisi
yang lebih rendah. Berbondong-bondong air merayap menyusuri lembah, ngarai, dan
jurang. Pantang menyerah hingga mencapai kolam raksasa penampungan akhir.
Merasa terjajah oleh
tamu asing, air samudra bergolak berontak. Tanpa komando, riak-riaknya berbaris
kompak membentuk gelombang raksasa. Ombak bergulung-gulung menghimpun segenap
energi, berarak melompati batas lautan. Segala yang dijumpai di daratan menjadi
sasaran amuknya. Penghuni daratan yang menjadi korban hajarannya menamainya
tsunami. Nama yang tak segarang murkanya.
Situasi makin
genting tak terkendali. Manusia kalang kabut mencari perlindungan. Bagai
anai-anai berhamburan keluar dari liangnya menyambut pagi setelah semalam
berselimut hujan. Kaum ibu yang tengah menyusui melemparkan bayi merah dari
timangannya. Yang sedang hamil menggugurkan paksa janin yang bersemayam
tenteram di rahimnya. Semua lari tunggang langgang. Kepanikan bersenyawa dengan
kelelahan. Langkah gontai. Tubuh sempoyongan bak pendekar mabuk akibat
overdosis ciu oplosan.
Anak-anak menjerit
bersahutan memanggil ayah atau ibunya. Para remaja berteriak-teriak memanggil
kekasihnya. Yang dewasa beradu lantang mengundang kerabatnya. Si tua bangka
meronta sumbang mengundang ahli warisnya. Rakyat jelata merintih mengiba
perlindungan penguasa. Panglima perang membentak-bentak para serdadu agar siaga
dengan senjata lengkap.
Para bendahara diperintah direkturnya untuk mencairkan honor paranormal yang
disewa untuk menolak bala yang melanda tiba-tiba.
Namun, semua upaya
sia-sia. Rupanya ini bukan sembarang bencana. Ini penghulu segala malapetaka.
Pamungkas kehancuran. The Ultimate Catastrophe. Qiyamat al-Kubra.
***
Kakek-kakek renta
bersimpuh putus asa. Tubuhnya yang rapuh dibiarkan teronggok sia-sia di antara
puing-puing bangunan segala rupa. Tangannya melambai lemas memanggil Sosok yang
berkelebat secepat kilat di depannya. Sosok Penuh Wibawa tapi cuek tanpa tegur
sapa.
“Tuhan, … tolong saya,” rintihnya
memelas.
“Tuhan, katamu?”
jawab Yang Dipanggil, ketus. “Memangnya kau ini siapa?”
“Lho, masa Tuhan
lupa dengan hamba-Nya?” si renta balik bertanya. Nadanya protes.
“Bukankah kau dulu
juga demen melupakan Tuhanmu, wahai, pencandu dunia? Ketika Nama-Ku
dipanggil-panggil oleh kekasih-Ku, kau tak cemburu. Sementara orang-orang di
sekitarmu bergegas menemui Aku, kau masih saja larut dalam kesibukanmu
menghimpun dinar, dolar, ringgit, dan rupiah pujaanmu. Kali lain, Nama-Ku
dipanggil-panggil lagi, kau tak acuh dan terus menikmati keasyikanmu bersenda
gurau dengan para kolega dan kroni bisnismu. Padahal sahabat-sahabatmu yang
lain berebut menempati barisan depan untuk bercengkerama dengan Aku. Pada saat
lain lagi, Nama-Ku kembali dikumandangkan, kau bergeming di peraduanmu.
Kaulanjutkan tidur pulasmu pasca kaupuaskan nafsu birahimu bersama pasangan
gelapmu. Sedangkan para tetangga sebelah vila persembunyianmu segera bangkit,
berdandan rapi, dan berebut mencumbui Aku. Masih pantaskah hari gini kau
merasa layak untuk mengaku
sebagai hamba-Ku?”
***
Di petak yang lain,
seorang wanita paruh baya duduk terpuruk lesu sambil tak henti-henti meronta.
Tampaknya ia menangis menyesali kehancuran menara sukses bisnisnya yang nyaris
menyundul langit.
“Tuhan, … Tuhan!” teriaknya,
memanggil Sosok Agung yang melintas di sebelahnya.
“Apa? Kau memanggil
tuhanmu? Bukankah tuhanmu sudah luluh lantak bersama sirnanya keangkuhanmu?”
“Lhoh, bukankah
Engkaulah Tuhan itu?”
“Sejak kapan kau
mengenal Aku sebagai Tuhanmu, wahai, pemuja harta?”
“Masa, Tuhan tidak mengenaliku?
Atau, Tuhan lupa padaku? Padahal setiap tahun aku menyisihkan laba bisnisku
untuk biaya perjalanan ziarah ke rumah-Mu, lho, Tuhan.”
“Ya, ya, ya …. Tapi,
kau tak acuh ketika Aku sakit. Bahkan, ketika Aku hampir mati kelaparan, kau
pun abai tak peduli.”
“Ah, Tuhan bisa
saja. Masa,
Tuhan sakit, malah hampir mati kelaparan lagi?”
“Begitulah. Gelimang
harta menyilaukan penglihatanmu. Jadi, kau tak peka melihat kehadiran-Ku. Yang
kauziarahi setiap tahun itu hanya simbol rumah-Ku. Sedangkan Aku selalu hadir menyelinap di balik raga hamba-Ku yang papa. Nah,
ingatlah. Berapa orang pegawai perusahaanmu jatuh sakit setiap tahun? Berapa
orang di antara mereka yang harus tercekik hutang untuk melunasi ongkos rumah
sakit? Bahkan, berapa yang merelakan seluruh hartanya ludes terjual untuk
menebus biaya pengobatan? Tega-teganya kau setiap tahun melawat ke negeri
seberang yang kaupuja-puja sebagai Tanah Suci, sementara mereka mengerang
kesakitan raga dan ragad? Bukankah pundi-pundi bisnismu itu kaukumpulkan
dengan memeras keringat mereka?”
“O, … maafkan hamba atas
kelalaian itu, Tuhan. Please, … deh. Lalu kapan Tuhan menderita kelaparan?”
“Lagi-lagi
penglihatanmu tertutup tumpukan harta yang menjelma jadi tuhanmu. Sejumlah
tetanggamu meregang nyawa menahan lapar. Makan sekali mereka gunakan untuk
hidup tiga atau empat hari. Sementara, kau sehari tiga atau empat kali keluar masuk
resto atau kafe
bintang lima demi menjamu rekan-rekan bisnismu yang tak bakal kelaparan tanpa
kautraktir. Seumur hidup kau cuek terhadap Aku. Lalu, hari gini kau
merasa layak memanggil Aku Tuhan?”
***
Di salah satu sudut
bekas kota metropolitan, berdiri termangu seorang pensiunan guru. Batinnya
menggerutu. Dia mencoba menghitung-hitung jasanya selama 40 tahun mengabdi di
beberapa sekolah. Dia mulai menyebut nama murid-muridnya yang sudah sukses
menjadi orang. Ada yang menjadi pejabat di pemerintahan. Ada yang menjadi
aparat hukum terkenal. Ada yang menjadi pengusaha kaya raya. Yang menjadi
politisi beken juga ada. Artis kesohor pun ada.
Dia berharap deretan
nama-nama besar itu bisa menjadi penolongnya pada hari yang penuh kepayahan
ini. Dia yakin profesinya yang mulia sebagai pendidik generasi penerus dan
pewaris bangsa itu bisa menjadi payung yang menaunginya dari azab pedih pada
hari nahas
ini. Maka, begitu melihat kelebat Sosok Sempurna, dia pun tak sungkan
memanggil-Nya. Panggilannya santun, khas intonasi guru.
Seperti yang
sudah-sudah, Tuhan tampak tidak berkenan dengan panggilannya.
“Tidak sadarkah kau
bahwa selama 40 tahun menjadi guru, kautelantarkan Aku ketika Aku menjelma
sebagai murid-muridmu yang kauanggap bodoh? Kaubangga-banggakan segelintir
bekas muridmu yang menuai sukses di hari kelak. Sementara, terhadap ratusan
bahkan ribuan muridmu yang mengidap DPR (daya pemahaman rendah), kau tak ambil
peran. Kau justru bangga dengan hobimu memberikan rapor merah kepada mereka.
Kau merasa puas ketika pada akhir tahun bisa mempermalukan mereka dengan vonis tinggal
kelas. Bagaimana kau tak malu untuk menyebut Aku sebagai Tuhanmu pada hari gini?”
Astagfirullah ….
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar