12 Apr 2012

Tuhan Pangling

Matahari terbit dari barat. Sinarnya terang berkilau, membuat semua mata merasa silau. Perlahan sang bagaskara terus turun dari singgasananya. Jaraknya makin dekat ke bumi, anggota keluarganya yang selama ini ditimang-timang dalam kehangatan dan kecerahan cahayanya. Makin lama makin mendekat. Tinggal tersisa jeda sejengkal di atas kepala orang berdiri.

Sengatan panasnya membakar hangus segala benda, menembus segenap lapisan dinding pelindung makhluk semesta. Jalinan atmosfer robek compang-camping kehilangan rupa. Rajutan ozon koyak menganga di mana-mana. Seluruh mantel penghalang tak kuasa membendung radiasi sinar ultra dan infra dari sang bola raksasa. Tiada yang tersisa. Benua es yang berjuta tahun tidur nyenyak di dua kutub dunia mendadak cair. Lebur. Leleh. Luluh. Lantak.

Bumi berguncang keras. Seluruh planet turut bergetar dahsyat. Resonansinya menimpa segenap benda luar angkasa. Serentak berguguran. Rontok. Jagat raya memuntahkan segala isi perutnya. Bongkah-bongkah bebatuan berhamburan keluar meninggalkan relung persemayaman mereka. Satu, dua, tiga, …, berjuta bongkah menyembul bersamaan lalu meluncur kencang dan terbang di udara. Gravitasi bumi menariknya kembali turun. Tak mau menunggu giliran, rombongan batu-batu sebesar Gunung Semeru jatuh berbarengan. Pecah segala yang ditimpa. Hancur segala yang diterjang.

Gunung-gunung tercerabut dari akarnya. Tingkahnya bak kapas tertiup angin lesus. Magma muncrat menjadi lava pijar. Lava meleleh menjadi lahar. Disapu angin dan hujan, lahar hanyut lalu mengendap di hulu sungai. Tak kuasa menampung guyuran air dari langit, sungai mengalirkan endapan lahar ke hilir. Kelebihan volume muatan, hilir sungai muntah.

Marah. Adonan lahar diempaskan ke sawah, ladang, kebun, dan rumah-rumah di perkampungan. Semua berubah seketika. Gedung yang semula berdiri megah, rumah yang semula bertampang mewah, jembatan yang semula membentang gagah, dalam sekejap musnah. Yang tersisa tinggal puing-puing reruntuk simbol-simbol kepongahan makhluk serakah berbaur dengan sampah.

Sudah terlalu lama tanah warisan Adam dibiarkan tercemar. Tumpahan isi sungai tak sanggup diserap. Sudah menjadi putusan hukum alam bahwa air tak bisa dilarang mengejar posisi yang lebih rendah. Berbondong-bondong air merayap menyusuri lembah, ngarai, dan jurang. Pantang menyerah hingga mencapai kolam raksasa penampungan akhir.

Merasa terjajah oleh tamu asing, air samudra bergolak berontak. Tanpa komando, riak-riaknya berbaris kompak membentuk gelombang raksasa. Ombak bergulung-gulung menghimpun segenap energi, berarak melompati batas lautan. Segala yang dijumpai di daratan menjadi sasaran amuknya. Penghuni daratan yang menjadi korban hajarannya menamainya tsunami. Nama yang tak segarang murkanya.

Situasi makin genting tak terkendali. Manusia kalang kabut mencari perlindungan. Bagai anai-anai berhamburan keluar dari liangnya menyambut pagi setelah semalam berselimut hujan. Kaum ibu yang tengah menyusui melemparkan bayi merah dari timangannya. Yang sedang hamil menggugurkan paksa janin yang bersemayam tenteram di rahimnya. Semua lari tunggang langgang. Kepanikan bersenyawa dengan kelelahan. Langkah gontai. Tubuh sempoyongan bak pendekar mabuk akibat overdosis ciu oplosan.

Anak-anak menjerit bersahutan memanggil ayah atau ibunya. Para remaja berteriak-teriak memanggil kekasihnya. Yang dewasa beradu lantang mengundang kerabatnya. Si tua bangka meronta sumbang mengundang ahli warisnya. Rakyat jelata merintih mengiba perlindungan penguasa. Panglima perang membentak-bentak para serdadu agar siaga dengan senjata lengkap. Para bendahara diperintah direkturnya untuk mencairkan honor paranormal yang disewa untuk menolak bala yang melanda tiba-tiba.

Namun, semua upaya sia-sia. Rupanya ini bukan sembarang bencana. Ini penghulu segala malapetaka. Pamungkas kehancuran. The Ultimate Catastrophe. Qiyamat al-Kubra.

***

Kakek-kakek renta bersimpuh putus asa. Tubuhnya yang rapuh dibiarkan teronggok sia-sia di antara puing-puing bangunan segala rupa. Tangannya melambai lemas memanggil Sosok yang berkelebat secepat kilat di depannya. Sosok Penuh Wibawa tapi cuek tanpa tegur sapa.

“Tuhan, … tolong saya,” rintihnya memelas.

“Tuhan, katamu?” jawab Yang Dipanggil, ketus. “Memangnya kau ini siapa?”

Lho, masa Tuhan lupa dengan hamba-Nya?” si renta balik bertanya. Nadanya protes.

“Bukankah kau dulu juga demen melupakan Tuhanmu, wahai, pencandu dunia? Ketika Nama-Ku dipanggil-panggil oleh kekasih-Ku, kau tak cemburu. Sementara orang-orang di sekitarmu bergegas menemui Aku, kau masih saja larut dalam kesibukanmu menghimpun dinar, dolar, ringgit, dan rupiah pujaanmu. Kali lain, Nama-Ku dipanggil-panggil lagi, kau tak acuh dan terus menikmati keasyikanmu bersenda gurau dengan para kolega dan kroni bisnismu. Padahal sahabat-sahabatmu yang lain berebut menempati barisan depan untuk bercengkerama dengan Aku. Pada saat lain lagi, Nama-Ku kembali dikumandangkan, kau bergeming di peraduanmu. Kaulanjutkan tidur pulasmu pasca kaupuaskan nafsu birahimu bersama pasangan gelapmu. Sedangkan para tetangga sebelah vila persembunyianmu segera bangkit, berdandan rapi, dan berebut mencumbui Aku. Masih pantaskah hari gini kau merasa layak untuk mengaku sebagai hamba-Ku?”

***

Di petak yang lain, seorang wanita paruh baya duduk terpuruk lesu sambil tak henti-henti meronta. Tampaknya ia menangis menyesali kehancuran menara sukses bisnisnya yang nyaris menyundul langit.

“Tuhan, … Tuhan!” teriaknya, memanggil Sosok Agung yang melintas di sebelahnya.

“Apa? Kau memanggil tuhanmu? Bukankah tuhanmu sudah luluh lantak bersama sirnanya keangkuhanmu?”

Lhoh, bukankah Engkaulah Tuhan itu?”

“Sejak kapan kau mengenal Aku sebagai Tuhanmu, wahai, pemuja harta?”

“Masa, Tuhan tidak mengenaliku? Atau, Tuhan lupa padaku? Padahal setiap tahun aku menyisihkan laba bisnisku untuk biaya perjalanan ziarah ke rumah-Mu, lho, Tuhan.”

“Ya, ya, ya …. Tapi, kau tak acuh ketika Aku sakit. Bahkan, ketika Aku hampir mati kelaparan, kau pun abai tak peduli.”

“Ah, Tuhan bisa saja. Masa, Tuhan sakit, malah hampir mati kelaparan lagi?”

“Begitulah. Gelimang harta menyilaukan penglihatanmu. Jadi, kau tak peka melihat kehadiran-Ku. Yang kauziarahi setiap tahun itu hanya simbol rumah-Ku. Sedangkan Aku selalu hadir menyelinap di balik raga hamba-Ku yang papa. Nah, ingatlah. Berapa orang pegawai perusahaanmu jatuh sakit setiap tahun? Berapa orang di antara mereka yang harus tercekik hutang untuk melunasi ongkos rumah sakit? Bahkan, berapa yang merelakan seluruh hartanya ludes terjual untuk menebus biaya pengobatan? Tega-teganya kau setiap tahun melawat ke negeri seberang yang kaupuja-puja sebagai Tanah Suci, sementara mereka mengerang kesakitan raga dan ragad? Bukankah pundi-pundi bisnismu itu kaukumpulkan dengan memeras keringat mereka?”

“O, … maafkan hamba atas kelalaian itu, Tuhan. Please, … deh. Lalu kapan Tuhan menderita kelaparan?”

“Lagi-lagi penglihatanmu tertutup tumpukan harta yang menjelma jadi tuhanmu. Sejumlah tetanggamu meregang nyawa menahan lapar. Makan sekali mereka gunakan untuk hidup tiga atau empat hari. Sementara, kau sehari tiga atau empat kali keluar masuk resto atau kafe bintang lima demi menjamu rekan-rekan bisnismu yang tak bakal kelaparan tanpa kautraktir. Seumur hidup kau cuek terhadap Aku. Lalu, hari gini kau merasa layak memanggil Aku Tuhan?”

***

Di salah satu sudut bekas kota metropolitan, berdiri termangu seorang pensiunan guru. Batinnya menggerutu. Dia mencoba menghitung-hitung jasanya selama 40 tahun mengabdi di beberapa sekolah. Dia mulai menyebut nama murid-muridnya yang sudah sukses menjadi orang. Ada yang menjadi pejabat di pemerintahan. Ada yang menjadi aparat hukum terkenal. Ada yang menjadi pengusaha kaya raya. Yang menjadi politisi beken juga ada. Artis kesohor pun ada.

Dia berharap deretan nama-nama besar itu bisa menjadi penolongnya pada hari yang penuh kepayahan ini. Dia yakin profesinya yang mulia sebagai pendidik generasi penerus dan pewaris bangsa itu bisa menjadi payung yang menaunginya dari azab pedih pada hari nahas ini. Maka, begitu melihat kelebat Sosok Sempurna, dia pun tak sungkan memanggil-Nya. Panggilannya santun, khas intonasi guru.

Seperti yang sudah-sudah, Tuhan tampak tidak berkenan dengan panggilannya.

“Tidak sadarkah kau bahwa selama 40 tahun menjadi guru, kautelantarkan Aku ketika Aku menjelma sebagai murid-muridmu yang kauanggap bodoh? Kaubangga-banggakan segelintir bekas muridmu yang menuai sukses di hari kelak. Sementara, terhadap ratusan bahkan ribuan muridmu yang mengidap DPR (daya pemahaman rendah), kau tak ambil peran. Kau justru bangga dengan hobimu memberikan rapor merah kepada mereka. Kau merasa puas ketika pada akhir tahun bisa mempermalukan mereka dengan vonis tinggal kelas. Bagaimana kau tak malu untuk menyebut Aku sebagai Tuhanmu pada hari gini?”

Astagfirullah ….


Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer