Suatu sore lepas asar, di ruang tamu rumah seorang konselor. Sebenarnya, beliau "hanya" seorang guru di sebuah perguruan tinggi. Di sela-sela kesibukan memberikan kuliah, beliau juga punya hobi mengajarkan ilmu agama di salah satu petak rumahnya. Ruangan sederhana itu mirip sebuah pondok pesantren. Setiap hari, pada jam-jam tertentu, belasan --kadang puluhan-- remaja akhir, putra-putri, menimba ilmu di sana. Adalah keakrabannya dengan berbagai persoalan umat yang mengantarkan beliau kepada julukan "konselor".
Seorang mahasiswi semester akhir duduk tertunduk lesu di kursi kayu. Wajahnya tertunduk layu. Kedua matanya sembab. Sebentar-sebentar tangannya merogoh tisu dari dalam tas, lalu menyapu air matanya yang nyaris jatuh. Sepasang bibirnya bergantian digigit-gigit sendiri. Sepertinya ada ekspresi yang ditahan. Tak ada yang menemani. Tadi istri Pak Konselor hanya sempat menyambutnya di pintu, menyilakan duduk, mengambilkan segelas air putih, menanyakan kabar, lalu kembali bersembunyi di ruang tengah. Memang begitu biasanya. Jika tamu yang datang tampak membawa beban berat, beliau lebih suka menyingkir. Beliau bukan tipe istri keminter yang suka menyerobot kepiawaian sang suami.
Sepeda motor butut datang dan langsung diparkir di halaman. Yang ditunggu baru pulang dari masjid. Usai memimpin salat jamaah, memang beliau biasa menyapa orang-orang yang masih bertahan di masjid. Beliau tidak pernah tenang meninggalkan suatu tempat sebelum memastikan tidak ada orang ditimpa kesulitan di tempat itu. Sepasang sandal yang terparkir di depan teras menjadi petunjuk bahwa sedang ada tamu di rumah. Jika demikian, beliau pilih masuk lewat pintu samping. Kepada istri yang sedang menyeterika di ruang tengah, beliau menanyakan perihal tamunya. Berbekal keterangan minim dari sang istri, beliau pun minta izin untuk menemui tamunya.
"Ayo, Mbak, sambil diminum," sapanya kepada si tamu setelah berbagi salam.
"Iy ... ya, Pak, terima kasih," sahut si tamu sedikit gugup.
"Tumben sendirian?"
Yang ditanya tidak menjawab. Yang terdengar justru isak tangis lirih. Rupanya ia tak sanggup lagi untuk menahan entah perasaan apa yang tersimpan di hatinya.
"Tidak usah ditahan. Menangis itu memang kadang-kadang bisa menjadi cara efektif untuk melepaskan perasaan."
"Iy ... ya, Pak. Maaf, saya tidak ku...at menahan diri."
"Tidak usah ditahan, Mbak. Mungkin layak untuk dibagi dengan saya. Ya, ... kalau tidak bisa ikut mikir, setidaknya saya bisa ikut merasakan."
"Iya, Pak, rasanya bumi sudah berhenti berputar."
"Iya. Dari dulu juga kita tidak pernah merasakan kalau bumi yang kita pijak ini sebenarnya berputar terus. Tanpa kita sadari, perasaan kita ini memang sering tertipu oleh kesibukan pikiran kita sendiri."
"Tertipu? ... Persis, Pak. Ternyata perasaan saya selama ini juga hanya menjadi korban penipuan, ya, Pak?"
"Masa iya? Perasaan apa, memangnya?"
"Perasaan memiliki."
"Memiliki? Memiliki apa, Mbak? Lalu ... kenapa terjadi penipuan?"
***
Usut punya usut, mahasiswi cantik itu baru saja menjadi korban PHK (putus hubungan kekasih). Pemuda gagah yang sudah tiga tahun lebih menjadi pujaan hatinya tiba-tiba meninggalkannya. Seniornya satu fakultas itu beralih ke lain hati. Pertemuannya dengan adik kelasnya semasa SMP menjadi pemicu keretakan hubungannya dengan gadis anggun yang berharap menjadi pendamping hidupnya itu. Gelagat itu sebenarnya sudah tampak beberapa bulan terakhir. Namun, cintanya yang tak bertepi mampu menepis kecurigaan gadis malang itu kepada pasangannya. Berkali-kali ia menengarai perubahan sikap kekasihnya, namun berulang-ulang pula ia berhasil meyakinkan diri bahwa tambatan hatinya itu tipe lelaki setia.
***
"Bersyukurlah, Mbak," nasihat Pak Konselor menanggapi penuturan tamunya yang tengah dirundung duka lara.
"Apa, Pak? Bapak nyukurin kemalangan saya?" sahut si mahasiswi terbelalak. "Ternyata Bapak tak sebijak yang diceritakan orang-orang. Jangan-jangan ... Bapak berharap bisa mengail di air keruh?! Jangan-jangan Bapak tidak lebih baik daripada para petualang yang suka menyamar sebagai ustaz, seperti yang sering jual tampang di layar tv?"
Si korban pengkhianatan mulai kehilangan kendali. Bicaranya ngelantur. Kalap! Perasaannya makin tercabik-cabik. Sekujur tubuhnya bergetar. Duduknya tak lagi tenang. Sorot matanya menyiratkan kekecewaan.
"Ehrm ... ehrm .... Silakan, Mbak, diminum dulu mumpung masih anget," istri Pak Konselor tiba-tiba muncul sambil meletakkan dua gelas teh hangat di meja tamu.
"Oh, maaf, ya, Bu, saya jadi kalut."
"Ndak apa-apa. Pendaki gunung itu kalau sudah sampai di puncak, nanti pasti akan turun juga," jawab Bu Konselor (maksudnya, istri Pak Konselor) santai, sambil duduk di sebelah suaminya. Tangan kanannya meraih tangan kanan Pak Konselor, lalu meremas-remasnya di pangkuannya.
"Di dunia ini ada golongan orang yang menakjubkan, Mbak. Dan saya yakin Mbak pasti termasuk dalam golongan itu," ujar Pak Konselor bernada menghibur. "Seisi dunia takjub karena golongan itu selalu cerdas dalam menyikapi takdir. Ketika dikucuri anugerah, mereka bersyukur. Sebaliknya, mereka bersabar ketika ditimpa musibah."
"Tapi kenapa Bapak menyuruh saya bersyukur atas musibah ini?"
"Ya ... mungkin saya salah. Kalau Mbak menganggap ini musibah, ya Mbak bersabar. Cuma, kalau Mbak bisa menerimanya sebagai anugerah, pasti bersyukur itu pilihan sikap yang lebih menenteramkan."
"Bapak menganggap musibah yang menimpa saya ini sebagai anugerah yang patut untuk disyukuri?"
"Saya merasakannya begitu. Emmm ... maaf, sudah sejauh mana hubungan Mbak dengan Mas itu?"
"Ya, baru sebatas saling mencintai, Pak. Dan selama ini saya tidak pernah berniat untuk berpaling dari dia. Saya pun berharap, bahkan yakin, kelak dialah imam saya dalam berumah tangga. Tapi, ternyata ...."
"Ternyata," potong pak Konselor, "Yang Maha Memelihara akhirnya menyelamatkan Mbak."
"Menyelamatkan? Bapak kok berpikiran aneh begitu?"
"Iya, ... kesan aneh itu pasti muncul selagi kita menolaknya. Dan penolakan itu respon spontan terhadap sesuatu yang baru sampai di ambang kesadaran. Nanti, kalau sudah masuk ke penghayatan di alam bawah sadar, sesuatu yang semula aneh itu akan kita terima sebagai sesuatu yang wajar. Bahkan, tidak mustahil kita merasakannya sebagai sesuatu yang indah."
"Hehe ... ternyata Bapak punya bakat untuk jadi pujangga juga?"
"O, tidak hanya pujangga. Saya bahkan berbakat jadi dukun peramal," timpal Pak Konselor. "Nah, menurut kartu ramalan saya, Mbak akan jauh lebih menderita seandainya Tuhan terlambat memisahkan Mbak dari laki-laki itu."
"Maksud Bapak?"
"Ya, ... selagi hubungan Mbak dengan dia baru sebatas itu, berarti perpisahan ini belum terlambat. Saya tidak bisa membayangkan kepedihan Mbak seandainya Mbak ditinggalkan olehnya ketika Mbak sudah telanjur berstatus sebagai istrinya, atau kalau sudah punya anak. Apalagi, kalau dia berpaling kepada wanita lain ketika Mbak tengah hamil, mengandung calon bayi buah cinta Mbak dengannya?!"
Perempuan muda --sangat muda-- itu kembali tersedu-sedu. Barangkali ia membayangkan dirinya sedang berbadan dua lalu di tengah malam, ketika terjaga dari tidurnya, mendapati suaminya asyik masyuk ber-sms-an mesra dengan wanita lain. (Tapi kala itu belum musim sms, lho!)
"Perasaan sakit lantaran dikhianati suami mungkin bisa reda dalam waktu singkat," lanjut Pak Konselor, "Tapi, status janda akan melekat pada diri Mbak. Dan saya yakin, dengan status janda itu, seorang wanita tak lagi leluasa dan mudah untuk merajut kasih sayang dengan laki-laki lain. Sedangkan saat ini, Mbak masih gadis. Status Mbak belum berubah dari setahun, dua tahun, sewindu, atau dua windu silam."
"Tapi, Pak, ... andai kami jadi menikah, apakah suatu saat dia akan meninggalkan saya juga?"
"Itu yang tertera di kartu ramalan saya. Bukankah peristiwa yang Mbak anggap sebagai musibah ini sudah cukup sebagai indikasi bahwa dia punya bakat untuk mengkhianati Mbak? Jadi, Mbak beruntung, indikasi itu ditampakkan sekarang, sebelum Mbak dinikahinya. Itu berarti, Tuhan amat sayang kepada Mbak. Dia pelihara Mbak hingga selamat dari jebakan racun cinta yang ditebarkan oleh laki-laki pengkhianat. Mbak boleh menganggap ini musibah, maka bersabarlah. Namun, bila Mbak berhasil menerimanya sebagai anugerah dan secara cerdas mensyukurinya, pasti sikap Mbak itu mengundang decak kagum dan pujian dari segenap penghuni bumi dan langit. Tapi, ... itu hanya ramalan guru ngaji yang tidak pernah terliput kamera tv, lho, Mbak. Akhirnya, terserah Mbak mau ambil sikap bagaimana."
"Maka, anugerah Tuhanmu yang manakah yang layak untuk kaudustakan?" timpal istri Pak Konselor menutup curhat sore itu, "Bukankah Mbak sering membaca firman itu?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar