- Dapatkah Anda menyebut nama-nama Miss Universe (ratu sejagad) lima tahun terakhir? Atau, para Putri Indonesia lima tahun terakhir?
- Mampukah Anda menyebut nama-nama aktor dan aktris pemenang Piala Oscar lima tahun terakhir? Atau, para peraih Piala Citra dalam FFI tahun terakhir saja?
- Sanggupkah Anda menyebut lima nama orang terkaya sejagad yang terakhir dirilis majalah Forbes? Atau, lima orang terkaya di Indonesia tahun terakhir?
Bagaimana? Anda menyerah? Tak
mengapa. Tak perlu putus asa. Mungkin risiko yang akan Anda derita hanya gagal
memenangi kuis televisi atau mengisi penuh seluruh kotak TTS. Agar tidak larut
dalam perasaan kurang cerdas, segera beralihlah ke pertanyaan-pertanyaan
berikut.
- Siapa nama guru Anda di kelas satu SD? Masihkah Anda ingat raut wajah beliau? Masih mampukah Anda mengenang gaya khas tawa atau senyum beliau?
- Siapa teman sekolah Anda yang paling berpengaruh terhadap perjalanan hidup Anda? Masih sanggupkah Anda mengenang momen-momen bersamanya yang paling berkesan?
Orang-orang yang Anda sebut
untuk menjawab dua pertanyaan terakhir mungkin tidak pernah muncul di televisi,
majalah, atau koran. Mungkin juga Anda tidak pernah bertemu lagi dengan mereka selama belasan atau puluhan tahun. Tapi mengapa mereka begitu lekat terpatri di
dalam memori Anda? Bukankah mereka hanya orang-orang biasa yang hampa piala
atau medali? Bukankah mereka hanya orang-orang sederhana yang namanya tak
pernah tercatat di museum atau buku rekor?
Sebaliknya, orang-orang beken
dan kesohor yang ditanyakan sebelumnya tidak semua – atau, bahkan boleh jadi,
tidak satu pun – kerasan menghuni ruang ingatan di otak Anda. Padahal, mereka orang-orang
top yang wajahnya pernah menghiasi layar kaca semua saluran televisi. Ulasan
prestasi mereka pernah mendominasi headlines semua surat kabar, tabloid,
dan majalah. Nama mereka pernah dielu-elukan jutaan fans. Penampilan
mereka di podium atau panggung disambut gegap gempita tepuk tangan dan
sorak-sorai segenap tamu undangan yang hadir.
Hanya ada satu faktor yang
membuat kepekaan ingatan kita kepada dua kelompok orang tadi berbeda: MAKNA. Kita
tak perlu mengerutkan kening untuk mengenang orang-orang yang sempat memahat
makna di dalam perjalanan hidup kita. Bahkan, orang-orang “penting”
sewaktu-waktu dapat hadir dan menguasai lamunan panjang kita. Rintik tawa,
senyum simpul, atau derai air mata bisa datang tiba-tiba – di luar kesadaran,
eh, kesengajaan kita.
Sementara, barangkali kita
terpaksa mengobok-obok buku pintar, ensiklopedia, bundel majalah bekas, atau
kliping koran untuk menemukan kembali nama-nama pesohor kelas wahid. Kenapa
begitu sulit kita mengungkap kembali nama-nama besar yang pernah tenar itu? Tak
lain, karena keagungan dan kemasyhuran mereka nihil makna bagi kehidupan kita.
Rentang sejarah kita tak tersentuh pengaruh oleh ingar-bingar prestasi dan
prestise mereka.
***
Dalam sebuah olimpiade penyandang cacat
atau paralympics,
diperlombakan cabang atletik nomor lari 100 meter. Sepuluh atlet mengambil ancang-ancang di garis start.
Semuanya kaum difabel. Bendera start
dikibaskan. Kesepuluh pelari melakukan take-off dengan penuh semangat. Namun
sayang, langkah kaki mereka tak berirama. Temponya tak beraturan. Arah lajunya tidak
menentu, zig-zag. Garis lintasan sering diterjang. Pindah ke lintasan pelari
lain menjadi hal yang biasa. Tidak ada vonis diskualifikasi.
Dua
pelari leading di posisi terdepan, meninggalkan teman-teman
mereka. Bila salah satu mulai tertinggal,
yang lain mengurangi kecepatan. Bila sudah sejajar, keduanya lalu berlari
beriringan. Mereka bergantian saling mendahului, tapi kemudian yang di depan
menanti yang tertinggal di belakang. Dua-duanya seperti tidak bernafsu untuk
mencapai garis finish lebih dulu.
Lima pelari berikutnya saling memperebutkan posisi ketiga. Jarak antarmereka tak terpaut jauh. Tapi, anehnya,
yang terdepan di antara mereka seolah-olah tak mau lepas dari rombongan
berlima. Sebentar-sebentar berhenti dan menoleh ke belakang. Bila keempat
temannya sudah melewatinya, baru kemudian ia lari lagi sekencang-kencangnya.
Begitu terus, ia melakukannya berulang-ulang.
Tiga yang lain tampak terseok-seok di urutan paling belakang. Posisi mereka terpaut cukup jauh dari rombongan lima pelari di papan
tengah. Apalagi dari sepasang pelari yang hampir pasti menjuarai perlombaan.
Langkah mereka gontai. Tak tampak keringat berbintil di kulit mereka. Tiba-tiba ... gedebuk! Salah seorang dari tiga pelari itu jatuh. Kaki kanannya kesrimpet kaki kirinya sendiri. Kedua tangannya bertumpu pada lantai lintasan. Begitu
juga sepasang lututnya. Tubuhnya yang layu tak sampai ambruk. Pantatnya
diturunkan sampai menempel lantai. Ia lalu berselonjor. Diraba-raba kedua
lututnya. Dua-duanya lecet, berdarah. Sang
pelari menyeringai menahan perih.
Dua
temannya, yang telanjur meninggalkannya beberapa langkah, segera berhenti. Yang
seorang berbalik menghampiri temannya yang masih teronggok di lantai. Yang seorang lagi tampak susah payah berusaha untuk
meneriaki teman-temannya yang sudah jauh di depan. Salah satu tangannya dilambai-lambaikan ke arah mereka. Dapat ditebak,
pasti ia ingin memperjelas maksud teriakannya.
Semua
yang dipanggil berhenti seketika. Satu per satu menoleh ke belakang, balik
badan, lalu ... beradu cepat untuk
menghampiri teman mereka yang masih mendeprok. Laju mereka lebih cepat daripada ketika mengejar garis finish. Jangan-jangan para pelari cepat luar biasa (yang luar
biasa bukan cepatnya) itu menyangka bahwa garis finish-nya di lokasi
jatuhnya sang kompetitor. Tak habis pikir!
Sepasang pelari terdepan pun ikut berbalik haluan. Padahal, jarak mereka ke garis finish tinggal
beberapa langkah lagi.
Sembilan
pelari mengerubungi atlet yang belum
berhasil bangkit dari lantai lintasan. Seolah mereka berebut posisi
paling dekat ke tubuh yang terkulai lemas
itu. Salah
seorang dari mereka, pengidap Down’s Syndrom (DS), meraih lengan si jatuh. Tubuhnya yang lunglai
ditarik ke atas, lalu dirangkul erat-erat?
“Bagaimana? Sudah agak enakkah?” tanya si DS.
Yang
ditanya hanya tersenyum. Di balik
senyumnya ada ungkapan terima kasih dengan ketulusan sempurna, sebanding dengan
ketulusan simpati kesembilan temannya. Di balik senyumnya ada ekspresi kepuasan
yang utuh, setara dengan keutuhan empati kesembilan sahabat yang mestinya
menjadi lawan-lawannya dalam kompetisi benrgensi itu.
Sepuluh
kontestan saling bertatapan.
Semua tersenyum lebar. Satu demi satu mereka menggamit lengan teman sebelahnya. Sepuluh pasang lengan bergandengan membentuk rantai.
Berdiri berjajar lurus menyilang lajur lintasan, lalu mereka berlari bersama.
Beriringan. Bergandengan. Langkah mereka tidak begitu kompak. Namun, laju mereka selalu sama. Tidak ada yang
mendahului di depan. Tidak ada yang tertinggal di belakang.
Sepuluh kaki mencapai garis finish
bersama, walaupun sebagian kaki kiri dan sebagian lain kaki kanan. Sepuluh
pasang tangan lepas dari gandengan, lalu diangkat ke atas kepala. Sepuluh atlet
membentuk lingkaran, dengan muka menghadap ke luar. Sepuluh wajah menebar senyum
ceria, merayakan kemenangan bersama. Sepuluh pasang tangan melambai-lambai ke
segenap penjuru mata angin, menyapa setiap penonton yang tampak terpana.
Sepuluh atlet berhasil menjadi juara semua.
Seluruh penonton berdiri spontan.
Tanpa aba-aba, tanpa komandan. Seantero stadion bergemuruh oleh tepuk tangan.
Berpacu keras dengan bunyi terompet, drum, gendang, dan aneka tetabuhan. Uniknya,
tepuk tangan berlanjut dengan durasi amat panjang. Tidak seperti lazimnya, yang
hanya bertahan dalam hitungan detik. Ratusan, ribuan, atau jutaan pasang tangan
itu seolah tidak rela untuk mengakhiri repetisi tepukan.
Sejumlah petugas tampak
mondar-mandir di seputar arena. Kelabakan. Yang disiapkan hanya satu keping medali
emas, satu keping medali perak, dan satu keping medali perunggu. Ternyata,
kesepuluh sprinter berhak atas emas semua. Panitia makin gugup. Buntu,
tak kunjung menemukan jalan keluar.
Tiba-tiba salah seorang
atlet, pengidap cerebral palsy ringan, keluar dari lingkaran. Dengan
bahasa yang tidak begitu jelas, ia mencoba menawarkan solusi. Medali emas
diambil dari meja panitia. Tanpa permisi. Diambilnya seutas pita bekas penanda finish
yang masih terserak di ujung lintasan. Salah satu ujungnya disusupkan ke tali
medali, lalu diikat bersama ujung yang lain. Dengan wajah dingin tanpa
ekspresi, ia berlari membawa medali ke tempatnya semula. Kesembilan temannya,
yang belum berhenti mengacung-acungkan kedua tangan sambil melompat-lompat
kecil dalam formasi lingkaran, diberi isyarat untuk merapat. Lingkaran jadi
mengecil. Satu demi satu kepala mereka masuk ke kolong pita yang disulap jadi
kalung raksasa. Lempeng medali dipegang dan diacungkan bergiliran sampai merata
ke sepuluh juara.
Stadion kembali bergetar oleh
riuhnya tepuk tangan. Lama sekali. Lebih lama daripada yang pertama. Lagi-lagi,
seluruh mata yang menyaksikan atraksi langka itu tak kuasa menahan air mata.
Jiwa-jiwa yang selama ini bangga dengan sertifikat sehat dari psikiater hari
itu koyak tercabik oleh pertunjukan spektakuler yang disuguhkan oleh sepuluh
atlet difabel. Tak ada yang sanggup memadamkan pemantik kesadaran bahwa yang
abnormal pun layak menjadi guru bagi yang waras.
Sekeping medali emas, yang
dikalungkan pada sepuluh leher juara pertama, mendadak mengalami penggandaan
berlipat-lipat. Kadar emasnya tak sebatas 24 karat. Kilau yang terpancar jauh
lebih terang dan jernih. Bentuknya tidak hanya lempengan bundar dan tipis.
Posisinya tidak hanya menggantung di depan dada. Medali-medali itu membongkah
tebal dan padat. Bongkahan emas berkilau cahaya ultraterang itu melekat kuat di
relung dada. Ya, sekeping medali emas yang dikalungkan sebagai tanda
penghargaan atas prestasi mereka di lintasan lari terasa tak punya arti
dibandingkan segumpal hati yang bertahta di singgasana jiwa mereka.
***
Kita boleh bangga dengan
koleksi trofi, piala, medali, dan piagam yang menyesaki etalase atau
mendekorasi dinding rumah kita. Menyulap ruang tamu menjadi ruang pamer
prestasi pun merupakan hak kita. Pun kita tidak dilarang untuk berharap agar
deretan bukti autentik prestasi kita itu mendapat apresiasi tinggi dari setiap
tamu yang datang. Asalkan, kita juga siap kecewa jika ternyata decak kagum
mereka hanya bertahan sesaat, pada tatapan pertama. Pada kehadiran kedua dan
seterusnya, mata mereka sudah tidak berselera untuk melirik berhala-berhala
pujaan yang terpajang rapi di rumah kita.
Prasasti abadi di lubuk
sanubari orang-orang yang pernah berinteraksi dengan kita hanyalah hasil
pahatan kita selama bersama mereka. Wicara, wirama, wiled,
dan wirasa kita akan terekam sempurna di pita kenangan mereka. Warnanya
tak akan pernah luntur oleh hantaman gelombang zaman. Nadanya tak akan pernah
pudar oleh terpaan ombak waktu.
Tul. Gak ada artinya jadi juara bila hanya tuk diri sendiri.
BalasHapus