10 Apr 2012

MP3 atau MP4?

Pagi itu rumah Pak Dar cukup ramai. Tidak seperti biasanya, memang. Bertahun-tahun tinggal di situ, baru kali ini suasana Lebaran di rumah Pak Dar tampak meriah. Sekitar pukul sepuluh pagi, serombongan tamu datang dengan beberapa mobil minibus. Rumah yang tak begitu luas itu penuh oleh tetamu Lebaran. Bahkan, beberapa tamu laki-laki terpaksa duduk lesehan di teras dan beberapa yang lain memilih duduk di bangku panjang di bawah rerimbun pohon mangga yang tumbuh di halaman depan yang juga terbilang sempit.
Tidak tampak ada acara formal. Yang terdengar hanya obrolan ringan tanpa batasan topik yang jelas. Usai topik yang satu, obrolan melompat ke topik yang lain. Alur pembicaraan pun mengalir lancar walau sebentar-sebentar beralih tema. Sesekali riuh derai tawa hadirin dan tuan serta nyonya rumah meningkahi percakapan bebas dan santai tanpa pemandu acara itu.
“Kalau Lebaran begini libur berapa hari, Mbak Rin?” pertanyaan Bu Dar tiba-tiba menghentikan perbincangan yang semula saling bersahutan.
“Dua minggu, Bu,” jawab Sarinah.
Sebelum kenal Bu Dar, dulu Sarinah di kampungnya dipanggil “Nah”. Ada juga beberapa tetangga yang memanggilnya “Sar”. Tapi, sejak bertemu Bu Dar belasan tahun silam, perempuan desa itu menyandang panggilan baru: Ririn. Bu Dar, pegawai biasa di sebuah instansi pemerintah itu, memang dikenal lihai mempercantik panggilan untuk nama-nama yang berkonotasi kampungan. Sarinah dipanggil Ririn. Painem dijuluki Iin. Samiatun dipanggil Mia. Juminten dijuluki Inten. Mesirah dipanggil Meme. Dan … entah, sudah berapa lagi gadis-gadis yang datang dengan nama kampungan, kelak kembali pulang ke desa membawa julukan baru namun tetap diambil dari bagian namanya.

Rupanya tamu-tamu istimewa Pak Dar pagi itu adalah para “alumni” pembantu rumah tangga (PRT) di keluarga Pak Dar. Mereka sengaja datang bareng-bareng untuk reuni dengan mantan majikan mereka. Ya, reuni dengan mantan majikan, bukan reuni dengan sesama PRT karena mereka dulu tak pernah bekerja di rumah Pak Dar pada periode yang sama. Seorang PRT “lulus”, baru disusul PRT lain datang menggantikan posisinya.
Sampai sebanyak itukah “pensiunan” PRT Pak Dar? Oh, tidak! Sebenarnya mantan PRT yang datang hari itu hanya lima: Ririn, Iin, Mia, Inten, dan Meme. Namun, masing-masing membawa rombongan satu mobil. Selain suami dan anak-anak mereka, turut hadir dalam reuni itu adalah para karyawan mereka. Hahhh, … karyawan? Ya, para perempuan bekas PRT itu kini punya sejumlah karyawan. Dan mobil-mobil yang mengangkut mereka itu adalah milik perempuan-perempuan bekas tukang cuci, masak, sapu, pel, dan momong itu.
Pak Dar dan Bu Dar, sepasang PNS yang bekerja di instansi yang sama itu, memang unik. Mereka unik dalam memperlakukan pembantu. Tiap-tiap pembantu diberi masa pengabdian hanya dua tahun. Setelah lewat dua tahun, mereka “diwisuda” dengan titel MPD – Mantan Pembantu(nya) Dar. Sebelum menerima pesangon, mereka harus menyetorkan tebusan berupa calon penggantinya. Tak ayal, semua mantan pembantu keluarga Dar berasal dari satu desa yang sama.
Setelah melewati masa magang, setiap PRT wajib punya aktivitas sampingan. Masa magang adalah masa yang dilalui PRT untuk mengenal dan menguasai pekerjaan rumah tangga yang harus dibereskan di keluarga Dar. Rata-rata, para PRT itu dulu memerlukan waktu satu minggu hingga satu bulan untuk menjadi mahir. Nah, setelah mahir sebagai PRT itulah, mereka dipanggil untuk interview dengan Pak dan Bu Dar. Bincang-bincang serius tapi santai itu bertujuan untuk mendeteksi bakat keterampilan dan minat pekerjaan mereka.
***
Memasuki bulan kedua di keluarga Dar, Sarinah alias Ririn didaftarkan ke sebuah kursus menjahit. Maka, setiap sore selepas menuntaskan pekerjaannya di rumah Pak Dar, ia mengayuh sepeda ke tempat kursus. Ririn tak pernah memikirkan ongkos kursus. Semua biaya kursus ditanggung Bu Dar.
“Mulai bulan ini kamu hanya menerima separuh gajimu, Rin. Yang separuh lagi dipakai untuk membayar biaya kursus,” kata Bu Dar menjelaskan, ketika menyerahkan gaji Sarinah bulan kedua.
Sarinah tidak berkomentar. Mungkin sebenarnya ia kecewa karena tak bisa mengirimkan uang kepada emaknya di desa sebesar bulan pertama. Tapi, mungkin juga ia memahami dan menerima kebijakan majikannya walaupun ia juga tidak tahu berapa ongkos kursusnya. Yang jelas, ia tampak makin tekun dan bersemangat mengikuti kursus menjahit dua jam tiap hari.
***
Dua tahun berlalu. Ririn Sarinah berhasil menggondol ijazah MM – Mahir Menjahit. Hari “wisuda” sudah di ambang pintu. Sarinah pulang untuk menjemput gadis tetangganya: Iin Painem. Masa pendadaran belum usai. Sarinah wajib menjadi mentor bagi sahabatnya yang lugu itu sampai laik bekerja sendiri. Beruntung, Iin tergolong smart. Magang dua minggu sudah cukup untuk menjadikannya mahir bekerja untuk keluarga Pak Dar.
“Rin, ini pesangonmu. Cuma sedikit, tapi mudah-mudahan bermanfaat untuk masa depanmu dan berkah, ya, Nok,” ujar Bu Dar sambil menyerahkan sebuah amplop putih panjang kepada alumnus pembantu pertamanya.
Pagi itu Sarinah usai berkemas untuk meninggalkan keluarga majikan yang dilayaninya selama dua tahun. Hari itu ia mengakhiri statusnya sebagai PRT di keluarga Dar. Ia belum tahu akan bekerja apa sekembalinya ke desa asalnya nanti. Semula ia berpikir untuk melamar pekerjaan di perusahaan garmen. Berbekal ijazah keterampilan menjahit, tentu ia punya peluang besar untuk diterima. Namun, perbincangan di meja makan bersama Pak dan Bu Dar selama sekitar sebulan terakhir membuat pikirannya berubah.
Memang, memasuki “masa persiapan pensiun”-nya, Sarinah sering ditahan di meja makan seusai makan malam. Pak Dar dan Bu Dar mengajaknya mengobrol. Mereka selalu mendorongnya untuk membuka lapangan kerja sendiri. Keterampilan menjahit yang didapatnya dari kursus selama dua tahun dianggap memadai untuk membuka usaha jasa jahitan. Di desa Sarinah memang belum ada penjahit. Bahkan, di satu kecamatan baru ada empat tempat jasa jahitan pakaian. Keempatnya ada di ibukota kecamatan. Peluang untuk mendapatkan pelanggan masih terbuka lebar. Namun, yang tak kuasa dipikirnya, dari mana ia harus mencari modal? Bukankah ia membutuhkan, setidaknya, satu unit mesin jahit dan sejumlah bahan untuk menjahit pakaian? Sementara, selama dua tahun bekerja ia tak sempat menabung. Gaji yang diterimanya tiap bulan hanya 50%, dan seluruhnya dikirimkan kepada orang tuanya di desa.
“Iin, titip Kiki dan Oval, ya,” pesan Bu Dar kepada pembantu barunya.
Bu Dar dan Pak Dar memang berencana untuk mengantar Ririn sampai di rumahnya. Untuk memudahkan perjalanan ke kampung halaman Ririn, Pak Dar meminjam mobil kantor. Dua kardus ukuran sedang berisi pakaian Ririn diangkat Pak Dar lalu dimasukkan ke mobil. Jok belakang sengaja dilipat agar dapat dimuati barang-barang bawaan Ririn. Sebuah kardus besar dibungkus kertas payung sudah lebih dulu menghuni kabin belakang yang difungsikan sebagai bagasi itu.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam, sampailah mobil di halaman rumah Ririn Sarinah. Pintu bagasi dibuka. Tiga kardus diturunkan. Ririn bengong, penasaran. “Kok ada kardus sebesar ini?” batinnya. Seribu tanda tanya silih berganti menghampiri benaknya. Apa isi kardus itu? Apakah benda misterius itu untuknya? Atau, untuk emaknya? Atau, untuk bapaknya? Atau, untuk adik-adiknya? Atau, Pak Dar dan Bu Dar masih akan melanjutkan perjalanan ke tempat lain untuk menyerahkan sumbangan, seperti yang sering mereka lakukan selama ini? Atau, itu barang milik kantor yang terbawa bersama mobilnya?
Pak Dar sendiri yang mengangkat kardus besar itu, lalu menaruhnya di samping almari yang tersandarkan ke dinding ruang utama yang terbuat dari papan setengah lapuk.
“Itu, Rin, ada mesin jahit untuk kamu. Kami tidak bisa membalas segala kebaikanmu dalam membantu meringankan pekerjaan keluarga kami selama dua tahun ini,” Pak Dar membuka misteri kardus besar itu setelah berpamitan kepada kedua orang tua Ririn. “Harapan kami, mesin itu bisa menjadi modal awal pekerjaanmu. Seperti yang kami katakan ketika kamu baru datang ke rumah kami dulu, pembantu rumah tangga itu tidak boleh dijadikan profesi seumur hidup. Amplop yang tadi diberikan Ibumu (Bu Dar, maksudnya) itu tabunganmu sendiri. Separuh gajimu selama dua tahun itu setiap bulan ditabungkan di bank oleh Ibumu dan kemarin baru kami ambil. Semoga bisa kamu pakai untuk melengkapi peralatan dan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuka usaha jahitan.”
Pak Dar dan Bu Dar beranjak pergi meninggalkan rumah Ririn Sarinah. Gadis belasan tahun itu tertegun semakin lama. Rasa hormatnya kepada Pak dan Bu Dar berubah menjadi kekaguman. Kegelisahannya dalam menghadapi masa “pensiun” sebagai PRT berubah menjadi impian masa depan yang cerah dan menggairahkan.
***
Perlakuan yang diterima Iin Painem dari Pak Dar dan Bu Dar sama dengan yang diterima Ririn Sarinah. Nasib yang menimpa Mia Samiatun, Inten Juminten, dan Meme Mesirah pun tak jauh berbeda. Magang, mahir, kursus, pensiun, pulang kampung membawa “pesangon” plus alat kerja mandiri. Dan mereka sekarang menjelma menjadi wiraswastawati di bidangnya masing-masing. Ririn menjadi bos “Sarinah Tailor”. Iin menjadi juragan rumah makan “Mak Inem”. Samiatun menjadi manajer “Mama Mia Catering”. Juminten menjadi pimpinan “Inten Ayu Bridal” yang mendominasi pasar resepsi perkawinan sekabupaten. Sedangkan Mesirah melenggang dengan waralaba “Salon Meme” yang dikelolanya.
Pagi itu, masih dalam suasana Lebaran, lima pensiunan PRT berkumpul di rumah mantan majikan mereka. Masing-masing membawa keluarga dan sejumlah karyawannya. Ya, … Ririn, Iin, Mia, Inten, dan Meme adalah para MP3: Mantan Pembantu Punya Pegawai. Atau, barangkali mereka juga pantas menyandang julukan MP4 (Mantan Pembantu Punya Perusahaan Pribadi).
“Pak Dar, Bu Dar,” tiba-tiba suara Sarinah terkesan lebih serius dibanding sebelumnya. “Di samping untuk bersilaturahmi, kedatangan kami ini ada maksudnya. Alhamdulillah, berkat doa Pak Dar dan Bu Dar, kami berlima berpatungan membuka usaha bersama. Tapi usaha kami ini agak beda dari yang sudah kami jalani selama ini. Kami mendirikan panti asuhan untuk anak-anak kurang beruntung, lengkap dengan sebuah masjid. Kalau tidak keberatan dan Gusti Allah mengizinkan, Pak Dar dan Bu Dar kami mohon berkenan hadir dalam acara syukuran dan peresmian nanti.”
***
Hari peresmian panti asuhan dan masjid di desa para MP3 atau MP4 pun tiba. Pak Dar dan Bu Dar hadir memenuhi permintaan para mantan pembantunya. Pasangan pensiunan PNS itu disilakan duduk di deretan kursi terdepan, berjajar dengan para pejabat di tingkat desa, kecamatan, bahkan kabupaten.
“Acara puncak, peresmian masjid dan panti asuhan. Yang terhormat, Pak Dar dan Bu Dar dimohon berkenan membuka selubung papan nama. Hadirin dimohon berdiri,” terdengar jelas dan merdu aba-aba oleh MC.
Pak Dar dan Bu Dar beranjak dari kursi, melangkah dengan agak canggung menuju tiang papan nama bangunan yang akan diresmikan. Pak Dar menarik tali selubung sebelah kanan, Bu Dar yang sebelah kiri. Papan nama berukuran 4 m x 2 meter terbuka sempurna. “Panti Asuhan dan Masjid Dar al-Karomah” tertera di sisi depan, menghadap ke jalan raya.
Dar al-Karomah bisa diartikan sebagai desa yang mulia, bisa juga kampung yang murah. Namun, lebih daripada itu, bagi Ririn dkk., nama panti dan masjid yang mereka bangun itu bermakna kampung mereka menjadi desa mulia berkat kemurahan Pak dan Bu Dar yang berhati mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer