Pagi
itu rumah Pak Dar cukup ramai.
Tidak seperti biasanya, memang. Bertahun-tahun tinggal di situ, baru kali ini
suasana Lebaran di rumah Pak Dar tampak meriah. Sekitar pukul sepuluh pagi,
serombongan tamu datang dengan beberapa mobil minibus. Rumah yang tak begitu
luas itu penuh oleh tetamu Lebaran. Bahkan, beberapa tamu laki-laki terpaksa
duduk lesehan di teras dan beberapa yang lain memilih duduk di bangku panjang
di bawah rerimbun pohon mangga yang tumbuh di halaman depan yang juga terbilang
sempit.
Tidak tampak ada acara formal.
Yang terdengar hanya obrolan ringan tanpa batasan topik yang jelas. Usai topik
yang satu, obrolan melompat ke topik yang lain. Alur pembicaraan pun mengalir
lancar walau sebentar-sebentar beralih tema. Sesekali riuh derai tawa hadirin
dan tuan serta nyonya rumah meningkahi percakapan bebas dan santai tanpa
pemandu acara itu.
“Kalau Lebaran begini libur
berapa hari, Mbak Rin?” pertanyaan Bu Dar tiba-tiba menghentikan perbincangan
yang semula saling bersahutan.
“Dua minggu, Bu,” jawab
Sarinah.
Sebelum kenal Bu Dar, dulu
Sarinah di kampungnya dipanggil “Nah”. Ada juga beberapa tetangga yang
memanggilnya “Sar”. Tapi, sejak bertemu Bu Dar belasan tahun silam, perempuan
desa itu menyandang panggilan baru: Ririn. Bu Dar, pegawai biasa di sebuah
instansi pemerintah itu, memang dikenal lihai mempercantik panggilan untuk
nama-nama yang berkonotasi kampungan. Sarinah dipanggil Ririn. Painem dijuluki
Iin. Samiatun dipanggil Mia. Juminten dijuluki Inten. Mesirah dipanggil Meme.
Dan … entah, sudah berapa lagi gadis-gadis yang datang dengan nama kampungan,
kelak kembali pulang ke desa membawa julukan baru namun tetap diambil dari
bagian namanya.
Rupanya tamu-tamu istimewa Pak
Dar pagi itu adalah para “alumni” pembantu rumah tangga (PRT) di keluarga Pak
Dar. Mereka sengaja datang bareng-bareng untuk reuni dengan mantan majikan
mereka. Ya, reuni dengan mantan majikan, bukan reuni dengan sesama PRT karena
mereka dulu tak pernah bekerja di rumah Pak Dar pada periode yang sama. Seorang
PRT “lulus”, baru disusul PRT lain datang menggantikan posisinya.
Sampai sebanyak itukah
“pensiunan” PRT Pak Dar? Oh, tidak! Sebenarnya mantan PRT yang datang hari itu
hanya lima: Ririn, Iin, Mia, Inten, dan Meme. Namun, masing-masing membawa
rombongan satu mobil. Selain suami dan anak-anak mereka, turut hadir dalam
reuni itu adalah para karyawan mereka. Hahhh, … karyawan? Ya, para perempuan
bekas PRT itu kini punya sejumlah karyawan. Dan mobil-mobil yang mengangkut
mereka itu adalah milik perempuan-perempuan bekas tukang cuci, masak, sapu,
pel, dan momong itu.
Pak Dar dan Bu Dar, sepasang
PNS yang bekerja di instansi yang sama itu, memang unik. Mereka unik dalam
memperlakukan pembantu. Tiap-tiap pembantu diberi masa pengabdian hanya dua
tahun. Setelah lewat dua tahun, mereka “diwisuda” dengan titel MPD – Mantan
Pembantu(nya) Dar. Sebelum menerima pesangon, mereka harus menyetorkan
tebusan berupa calon penggantinya. Tak ayal, semua mantan pembantu keluarga Dar
berasal dari satu desa yang sama.
Setelah melewati masa magang,
setiap PRT wajib punya aktivitas sampingan. Masa magang adalah masa yang
dilalui PRT untuk mengenal dan menguasai pekerjaan rumah tangga yang harus
dibereskan di keluarga Dar. Rata-rata, para PRT itu dulu memerlukan waktu satu
minggu hingga satu bulan untuk menjadi mahir. Nah, setelah mahir sebagai PRT
itulah, mereka dipanggil untuk interview dengan Pak dan Bu Dar.
Bincang-bincang serius tapi santai itu bertujuan untuk mendeteksi bakat
keterampilan dan minat pekerjaan mereka.
***
Memasuki bulan kedua di
keluarga Dar, Sarinah alias Ririn didaftarkan ke sebuah kursus menjahit. Maka,
setiap sore selepas menuntaskan pekerjaannya di rumah Pak Dar, ia mengayuh
sepeda ke tempat kursus. Ririn tak pernah memikirkan ongkos kursus. Semua biaya
kursus ditanggung Bu Dar.
“Mulai bulan ini kamu hanya
menerima separuh gajimu, Rin. Yang separuh lagi dipakai untuk membayar biaya
kursus,” kata Bu Dar menjelaskan, ketika menyerahkan gaji Sarinah bulan kedua.
Sarinah tidak berkomentar.
Mungkin sebenarnya ia kecewa karena tak bisa mengirimkan uang kepada emaknya di
desa sebesar bulan pertama. Tapi, mungkin juga ia memahami dan menerima
kebijakan majikannya walaupun ia juga tidak tahu berapa ongkos kursusnya. Yang
jelas, ia tampak makin tekun dan bersemangat mengikuti kursus menjahit dua jam
tiap hari.
***
Dua tahun berlalu. Ririn
Sarinah berhasil menggondol ijazah MM – Mahir Menjahit. Hari “wisuda” sudah di
ambang pintu. Sarinah pulang untuk menjemput gadis tetangganya: Iin Painem. Masa
pendadaran belum usai. Sarinah wajib menjadi mentor bagi sahabatnya yang lugu
itu sampai laik bekerja sendiri. Beruntung, Iin tergolong smart. Magang
dua minggu sudah cukup untuk menjadikannya mahir bekerja untuk keluarga Pak Dar.
“Rin, ini pesangonmu. Cuma
sedikit, tapi mudah-mudahan bermanfaat untuk masa depanmu dan berkah, ya, Nok,”
ujar Bu Dar sambil menyerahkan sebuah amplop putih panjang kepada alumnus
pembantu pertamanya.
Pagi itu Sarinah usai berkemas
untuk meninggalkan keluarga majikan yang dilayaninya selama dua tahun. Hari itu
ia mengakhiri statusnya sebagai PRT di keluarga Dar. Ia belum tahu akan bekerja
apa sekembalinya ke desa asalnya nanti. Semula ia berpikir untuk melamar
pekerjaan di perusahaan garmen. Berbekal ijazah keterampilan menjahit, tentu ia
punya peluang besar untuk diterima. Namun, perbincangan di meja makan bersama
Pak dan Bu Dar selama sekitar sebulan terakhir membuat pikirannya berubah.
Memang, memasuki “masa
persiapan pensiun”-nya, Sarinah sering ditahan di meja makan seusai makan
malam. Pak Dar dan Bu Dar mengajaknya mengobrol. Mereka selalu mendorongnya
untuk membuka lapangan kerja sendiri. Keterampilan menjahit yang didapatnya
dari kursus selama dua tahun dianggap memadai untuk membuka usaha jasa jahitan.
Di desa Sarinah memang belum ada penjahit. Bahkan, di satu kecamatan baru ada
empat tempat jasa jahitan pakaian. Keempatnya ada di ibukota kecamatan. Peluang
untuk mendapatkan pelanggan masih terbuka lebar. Namun, yang tak kuasa
dipikirnya, dari mana ia harus mencari modal? Bukankah ia membutuhkan,
setidaknya, satu unit mesin jahit dan sejumlah bahan untuk menjahit pakaian?
Sementara, selama dua tahun bekerja ia tak sempat menabung. Gaji yang
diterimanya tiap bulan hanya 50%, dan seluruhnya dikirimkan kepada orang tuanya
di desa.
“Iin, titip Kiki dan Oval,
ya,” pesan Bu Dar kepada pembantu barunya.
Bu Dar dan Pak Dar memang
berencana untuk mengantar Ririn sampai di rumahnya. Untuk memudahkan perjalanan
ke kampung halaman Ririn, Pak Dar meminjam mobil kantor. Dua kardus ukuran
sedang berisi pakaian Ririn diangkat Pak Dar lalu dimasukkan ke mobil. Jok
belakang sengaja dilipat agar dapat dimuati barang-barang bawaan Ririn. Sebuah
kardus besar dibungkus kertas payung sudah lebih dulu menghuni kabin belakang
yang difungsikan sebagai bagasi itu.
Setelah menempuh perjalanan
sekitar 2 jam, sampailah mobil di halaman rumah Ririn Sarinah. Pintu bagasi
dibuka. Tiga kardus diturunkan. Ririn bengong, penasaran. “Kok ada kardus
sebesar ini?” batinnya. Seribu tanda tanya silih berganti menghampiri benaknya.
Apa isi kardus itu? Apakah benda misterius itu untuknya? Atau, untuk emaknya?
Atau, untuk bapaknya? Atau, untuk adik-adiknya? Atau, Pak Dar dan Bu Dar masih
akan melanjutkan perjalanan ke tempat lain untuk menyerahkan sumbangan, seperti
yang sering mereka lakukan selama ini? Atau, itu barang milik kantor yang
terbawa bersama mobilnya?
Pak Dar sendiri yang
mengangkat kardus besar itu, lalu menaruhnya di samping almari yang
tersandarkan ke dinding ruang utama yang terbuat dari papan setengah lapuk.
“Itu, Rin, ada mesin jahit
untuk kamu. Kami tidak bisa membalas segala kebaikanmu dalam membantu
meringankan pekerjaan keluarga kami selama dua tahun ini,” Pak Dar membuka
misteri kardus besar itu setelah berpamitan kepada kedua orang tua Ririn. “Harapan
kami, mesin itu bisa menjadi modal awal pekerjaanmu. Seperti yang kami katakan
ketika kamu baru datang ke rumah kami dulu, pembantu rumah tangga itu tidak
boleh dijadikan profesi seumur hidup. Amplop yang tadi diberikan Ibumu (Bu Dar,
maksudnya) itu tabunganmu sendiri. Separuh gajimu selama dua tahun itu setiap
bulan ditabungkan di bank oleh Ibumu dan kemarin baru kami ambil. Semoga bisa
kamu pakai untuk melengkapi peralatan dan bahan-bahan yang diperlukan untuk
membuka usaha jahitan.”
Pak Dar dan Bu Dar beranjak
pergi meninggalkan rumah Ririn Sarinah. Gadis belasan tahun itu tertegun
semakin lama. Rasa hormatnya kepada Pak dan Bu Dar berubah menjadi kekaguman.
Kegelisahannya dalam menghadapi masa “pensiun” sebagai PRT berubah menjadi
impian masa depan yang cerah dan menggairahkan.
***
Perlakuan yang diterima Iin
Painem dari Pak Dar dan Bu Dar sama dengan yang diterima Ririn Sarinah. Nasib
yang menimpa Mia Samiatun, Inten Juminten, dan Meme Mesirah pun tak jauh
berbeda. Magang, mahir, kursus, pensiun, pulang kampung membawa “pesangon” plus
alat kerja mandiri. Dan mereka sekarang menjelma menjadi wiraswastawati di
bidangnya masing-masing. Ririn menjadi bos “Sarinah Tailor”. Iin menjadi
juragan rumah makan “Mak Inem”. Samiatun menjadi manajer “Mama Mia Catering”.
Juminten menjadi pimpinan “Inten Ayu Bridal” yang mendominasi pasar resepsi
perkawinan sekabupaten. Sedangkan Mesirah melenggang dengan waralaba “Salon Meme”
yang dikelolanya.
Pagi itu, masih dalam suasana
Lebaran, lima pensiunan PRT berkumpul di rumah mantan majikan mereka. Masing-masing
membawa keluarga dan sejumlah karyawannya. Ya, … Ririn, Iin, Mia, Inten, dan
Meme adalah para MP3: Mantan Pembantu Punya Pegawai. Atau, barangkali mereka
juga pantas menyandang julukan MP4 (Mantan Pembantu Punya Perusahaan Pribadi).
“Pak Dar, Bu Dar,” tiba-tiba
suara Sarinah terkesan lebih serius dibanding sebelumnya. “Di samping untuk
bersilaturahmi, kedatangan kami ini ada maksudnya. Alhamdulillah, berkat doa
Pak Dar dan Bu Dar, kami berlima berpatungan membuka usaha bersama. Tapi usaha
kami ini agak beda dari yang sudah kami jalani selama ini. Kami mendirikan
panti asuhan untuk anak-anak kurang beruntung, lengkap dengan sebuah masjid.
Kalau tidak keberatan dan Gusti Allah mengizinkan, Pak Dar dan Bu Dar kami
mohon berkenan hadir dalam acara syukuran dan peresmian nanti.”
***
Hari peresmian panti asuhan
dan masjid di desa para MP3 atau MP4 pun tiba. Pak Dar dan Bu Dar hadir
memenuhi permintaan para mantan pembantunya. Pasangan pensiunan PNS itu
disilakan duduk di deretan kursi terdepan, berjajar dengan para pejabat di
tingkat desa, kecamatan, bahkan kabupaten.
“Acara puncak, peresmian
masjid dan panti asuhan. Yang terhormat, Pak Dar dan Bu Dar dimohon berkenan
membuka selubung papan nama. Hadirin dimohon berdiri,” terdengar jelas dan
merdu aba-aba oleh MC.
Pak Dar dan Bu Dar beranjak
dari kursi, melangkah dengan agak canggung menuju tiang papan nama bangunan
yang akan diresmikan. Pak Dar menarik tali selubung sebelah kanan, Bu Dar yang
sebelah kiri. Papan nama berukuran 4 m x 2 meter terbuka sempurna. “Panti
Asuhan dan Masjid Dar al-Karomah” tertera di sisi depan, menghadap ke jalan
raya.
Dar al-Karomah bisa diartikan
sebagai desa yang mulia, bisa juga kampung yang murah. Namun, lebih daripada
itu, bagi Ririn dkk., nama panti dan masjid yang mereka bangun itu bermakna kampung
mereka menjadi desa mulia berkat kemurahan Pak dan Bu Dar yang berhati mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar