4 Apr 2012

Bias dalam Sertifikasi Guru

Ketika mendengar kata "sertifikat", lazimnya orang mengasosiasikannya dengan "pengakuan". Sertifikat hak milik tanah, misalnya, dipahami sebagai pengakuan bahwa sebidang tanah sebagaimana disebut spesifikasinya adalah milik orang atau badan yang identitasnya tertera di dalam dokumen tersebut. Keterangan lokasi, ukuran, dan gambar situasi tanah yang tertera di sertifikat mesti sesuai dengan fakta yang terbukti di lapangan. Selisih sekecil apa pun antara data di sertifikat dan fakta di lapangan akan berbuntut panjang bila kelak terjadi sengketa menyangkut status tanah tersebut.

Sertifikasi Guru

Setelah dinyatakan lulus sertifikasi, seorang guru akan menerima sertifikat profesi guru. Konon, menurut konsep yang diundangkan, sertifikat itu berfungsi sebagai pengakuan atas profesionalisme guru. Sedangkan tolok ukur profesionalisme guru terdiri atas 5 (lima) komponen: (1) kualifikasi akademik, (2) kompetensi pedagogik, (3) kompetensi profesional, (4) kompetensi kepribadian, dan (5) kompetensi sosial.

Kualifikasi akademik menjadi komponen yang paling gamblang wujudnya dan paling gampang asesmennya. Siapa pun, asalkan melek huruf, bisa menjadi asesor. Peraturan perundangan yang mengatur standarnya pun tidak memerlukan uraian rinci. Ini tentu berbeda dari empat komponen yang lain. Karena bersifat operasional, tiap-tiap kompetensi itu dijabarkan secara rinci indikator-indikatornya.

Indikator kompetensi yang rinci dan terukur ternyata belum menjamin akurasi. Kelemahan pertama terletak pada instrumen pengukurannya. Setidaknya, hingga saat ini sudah ada tiga jalur yang diintroduksi sebagai mekanisme sertifikasi guru: portofolio, pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG), dan pendidikan profesi guru (PPG).

Pada jalur portofolio, sertifikasi dilakukan dengan scoring portofolio dokumen yang "dianggap sebagai bukti otentik" kompetensi guru. Portofolio diklasifikasi ke dalam empat kompetensi sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jumlah skor portofolio yang mencapai atau melampaui passing grade yang ditetapkan otomatis mengantarkan guru kolektornya ke podium pemegang sertifikat profesi guru. Sedangkan mereka yang gagal meraih passing grade masih punya kesempatan untuk menjalani proses remedial.

Dalam praktiknya, sertifikasi melalui jalur portofolio ditengarai mengandung sejumlah kelemahan. Salah satu kelemahan paling kentara adalah maraknya praktik curang dalam proses pengumpulan dokumen portofolio. Modusnya beraneka ragam. Ada penggandaan piagam/sertifikat keikutsertaan dalam pelatihan atau forum ilmiah. Ada penggandaan dan pembelian karya tulis ilmiah. Ada juga jual-beli piagam/sertifikat dengan kedok penyelenggaraan forum ilmiah atau pendidikan dan pelatihan (diklat). Bila ditelisik lebih dalam, masih ada modus kecurangan yang hampir bisa dipastikan terjadi secara masif: penggandaan dokumen pengembangan kurikulum alias perangkat perencanaan pembelajaran!

Praktik-praktik curang itu terendus oleh pihak pemegang kebijakan. Alhasil, kelak sertifikasi jalur portofolio murni ditiadakan. Semua guru dalam jabatan yang ikut sertifikasi harus melalui jalur PLPG. Apakah langkah ini menjadi solusi mujarab? Untuk memprediksi efektivitas PLPG, ada beberapa elemen yang bisa dicermati.

Hal pertama yang patut dikritisi adalah metodologi. PLPG diselenggarakan dengan mengurung peserta (guru) di ruang karantina yang  jauh dari habitat asli untuk mengamati aktualisasi kompetensi yang disyaratkan. Salah satu kompetensi inti dalam kompetensi pedagogik, misalnya, guru dituntut menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. Bagaimana kompetensi ini bisa diamati sementara selama mengikuti PLPG guru-guru itu berhadapan dan bergumul dengan sesama peserta PLPG?

Hal kedua adalah masalah alokasi waktu. Salah satu indikator kompetensi pedagogik adalah guru mampu melaksanakan penelitian tindakan kelas. Adakah kesempatan untuk mengaktualisasikan kompetensi itu dalam PLPG yang berlangsung hanya selama beberapa hari? Hanya pesulap dan pesihir yang berani menjawab "Ya" atas pertanyaan ini.

Hal ketiga menyangkut teknik penilaian. Dengan teknik apa kompetensi peserta PLPG dinilai? Sejauh mana teknik penilaian yang digunakan itu memadai untuk mengukur kompetensi mereka? Kegalauan makin terasa ketika didapati bahwa peserta yang gagal lulus PLPG ternyata hanya diremedi dengan mengulang ujian tulis.

Uji Kompetensi

Mekanisme sertifikasi guru mengalami babak baru. Kini, semua guru calon peserta sertifikasi periode berjalan wajib mengikuti uji kompetensi awal (UKA). Hanya mereka yang lulus (mencapai passing grade) yang bisa berlanjut ke jenjang PLPG.

Sebelum benar-benar dilaksanakan, UKA sempat menuai protes, atau lebih tepatnya, penolakan. Tidak tanggung-tanggung, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) mengeluarkan pernyataan sikap serupa. Alasannya cukup pragmatis: guru-guru senior yang sudah tua dikhawatirkan gagal dalam UKA. Jika ini terjadi, berarti para pengabdi yang hampir pensiun itu tidak sempat mencicipi tunjangan profesi yang besarannya sama dengan gaji pokok. Masa pengabdian mereka tidak diapresiasi. Tegakah negara menutup mata terhadap pengorbanan para "pahlawan tanpa tanda jasa" bagi bangsanya?

Bias

Sejak digulirkan hingga diimplementasikan sejauh ini, sertifikasi guru mengalami pembiasan yang tak kunjung terluruskan. Sertifikat profesi guru identik dengan hak atas kesejahteraan, bukan pengakuan atas kompetensi yang dimiliki. Akibatnya, sertifikasi guru bisa menjadi alat untuk memenuhi berbagai kepentingan. Di Bumi Pertiwi ini, kesejahteraan ekonomi adalah panglima tertinggi, Bung! Maklum, sudah terlalu lama kita menjadi bangsa melarat!

Certification: validating the authenticity of something or someone. Itu definisi sertifikasi dalam bahasa yang darinya kita meminjam kata sertifikasi. Sertifikasi adalah validasi keautentikan sesuatu atau seseorang. Bahasa kita tidak punya kosakata sebagai padanan kata valid. Kata sahih yang sering dikampanyekan sebagai "nasionalisasi" kata valid sejatinya juga bahasa asing, Arab. Jika kita lebih sreg memakai kata sahih ketimbang valid, itu akan lebih "garang". Sertifikasi guru berarti tashih terhadap autentisitas kompetensi guru. SOP (standard operasional procedure)-nya ya mesti mengikuti SOP tashih hadis-hadis Rasulullah saw. sebagaimana diterapkan oleh para ulama hadis. Sekadar contoh kecil, ketika ditemukan ada seorang saja periwayat hadis yang ditengarai pernah berkata dusta, hadis itu gagal masuk kategori sahih; hadisnya invalid! Nah, jika SOP ini yang dipakai dalam sertifikasi guru, dijamin APBN aman; hemat belanja untuk membayar tunjangan profesi pendidik. Kenapa? Karena banyak dusta terjadi selama proses sertifikasi, berarti banyak pula sertifikat yang tidak sahih!

Akibat langsung dari penerbitan sertifikat profesi adalah --logikanya-- hak pemegangnya untuk menjalani praktik profesinya. Barangkali (saya tidak tahu persis yang berlaku pada profesi lain) hanya pada profesi guru saja, sertifikat profesi berakibat (berakibat, tidak sekadar berpengaruh) langsung terhadap penghasilan, apalagi disebut eksplisit besarannya. Tampaknya, inilah titik awal pembiasan itu. Bila ternyata berorientasi pada kesejahteraan guru, mengapa dipilih jalan sertifikasi? Bukankah renumerasi bisa menjadi pilihan yang lebih aman? Memang, sertifikasi punya kesan lebih berwibawa. Tapi, ya beginilah risikonya. Jika tidak setia pada kesahihan autentik, obsesi bisa bisa menjerumuskan ke lingkaran setan.

Selamat merenungi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer