Teman yang satu ini sungguh beruntung. Ia punya seorang
ayah. Satu-satunya ayah yang dimilikinya itu bekerja sebagai pengemudi becak.
Beliau dan teman-teman seprofesi boleh iri. Pengemudi kapal terbang ada namanya: pilot. Pengemudi kapal laut punya sebutan khusus: nakhoda. Pengemudi kereta api punya julukan: masinis (sekalipun berkelamin perempuan, ia tidak dijuluki mbaksinis). Pengemudi mobil—segala jenis mobil—disebut sopir. Pengemudi dokar, andong, atau delman punya nama: kusir atau sais.
Lha, pengemudi becak? Belum dibuatkan julukan khusus
untuk mereka. Di Betawi, pengemudi sepeda beroda tiga (bila mirip merek produk
tertentu, anggap saja itu bukan ketaksengajaan [?]) itu dipanggil “abang becak”
(bila ia seorang perempuan, pasti panggilannya berubah). Di daerah-daerah lain,
mereka lazim menerima sebutan “tukang becak” atau “penarik becak”. Yang
terakhir ini kacau lagi. Pengemudi becak kan duduk di belakang
kabin penumpang? Masa, menarik dari belakang ke depan???
Namun, bukan kelangkaan sebutan khusus itu yang membuat
abang becak pantas diangkat sebagai guru. (Tapi jangan mimpi dipanggil untuk
mengikuti sertifikasi atau inpassing, lho, Bang!)
***
Seorang perempuan setengah baya berteriak, “Becak …, becak
…!”
Abang becak membalikkan becaknya, menghampiri ibu-ibu yang
memanggilnya – sebetulnya, yang dipanggil tadi kendaraannya. Bercakap-cakap
sebentar, kemudian si ibu bertubuh amat subur itu naik. Si abang menaikkan
barang-barang bawaan si ibu. Semua termuat di kabin becaknya. Si abang segera
mengayuh pedal dan “klingklong … klingklong …”. Sesekali “klakson” dibunyikan,
seakan-akan ia hendak memberitahukan keberuntungannya kepada kawan-kawan
seprofesinya.
Keberuntungan? Ya, bagi abang becak, mendapatkan penumpang
adalah sebuah keberuntungan. Dan, memberitahukan keberuntungan kepada orang
lain itu tidak dilarang—bahkan dianjurkan—sepanjang tidak bermaksud takabur.
Maka, setiap kali berpapasan dengan sesama abang becak, mendahului temannya
yang berjalan searah, atau sekadar melewati temannya yang sedang beristirahat
di trotoar sembari menanti penumpang, tak bosan-bosannya ia menarik tali lonceng
becaknya dan “klingklong … klingklong …”.
Sampai di simpang tiga, becak berbelok ke kiri. Sepasang
kaki si abang masih lincah mengayuh pedal. Kondisi jalan makin tidak rata. Di
sana-sini aspalnya mulai mengelupas. Sesekali becak terasa miring ke kanan,
kali lain miring ke kiri. Kadang terhenti. Salah satu atau kedua rodanya
terperangkap di cerukan jalan yang berlubang. Ayunan kaki si abang tak lagi
santai. Galur ototnya jelas menampakkan upaya untuk mengerahkan tenaga yang
makin besar. Keringatnya tak lagi menetes, melainkan mengalir, membasahi tubuh
sekaligus kaos oblong yang membalutnya.
Tidak hanya berlubang, kini jalan juga menanjak. Putaran
roda becak makin lambat. Kucuran keringat pengayuhnya pun makin deras. Regangan
otot-otot kakinya makin kencang. Oh, … tak kuat lagi ia untuk bertahan mengayuh
pedal becaknya. Tangan kanan menahan pedal rem, tangan kiri menahan stang. Kaki
kiri bertumpu di pedal, kaki kanan diayun ke belakang, dan … haps …
tubuh agak kurus tapi cukup berotot itu pun turun dari sadel becaknya.
Kini si abang berjalan sambil mendorong becaknya, yang
memuat seorang perempuan “berbobot” plus berkarung-karung barang belanjaan,
mendaki jalan yang makin terjal. Dengus napasnya tak dapat menyembunyikan
kelelahannya. Namun, guratan di keningnya justru memperlihatkan gairahnya untuk
menaklukkan tanjakan jalan menuju rumah penumpang becaknya.
Alhamdulillah, sampai. Abang segera mengunci rem, menurunkan
semua barang muatan, mengangkat roda belakang hingga becak sedikit menungging,
menunggu hingga penumpang turun sempurna, lalu menurunkan kembali roda
belakang. Begitulah prosedur baku yang dijalani si abang ketika tugas mengantar
penumpangnya telah tuntas. Penumpang merogoh dompet. Tak jelas berapa rupiah
uang yang diulurkan kepada si abang. Yang jelas, kedua pihak melangsungkan
“upacara” serah-terima ongkos dengan lega. Abang becak dan ibu penumpang saling
berterima kasih seraya tersenyum. Tak ada tanda-tanda kekecewaan di raut
mereka.
Melepas kunci rem, mengangkat roda belakang dan memutar
becaknya 180°, kemudian si abang meloncat ke atas sadel. Dikayuh setengah
putaran, roda becak sudah berputar tiada henti. Justru si abang sekarang mesti
terus-menerus menginjakkan kakinya pada pedal rem. Becak meluncur santai
menuruni jalan kampung. Si abang tinggal mengendalikan setang kemudi dan pedal
rem.
Sepanjang jalan mulutnya menjorok ke depan. Bersiul-siul
riang.
***
Sungguh PROFESIONAL si abang becak! Ia sadar betul bahwa
mengemudi becak adalah profesinya (sekalipun tanpa sertifikasi!). Dan
diferensiasi becak dari alat transportasi yang lain adalah kesanggupannya untuk
mengantarkan penumpangnya sampai ke tujuan, sepanjang jalan menuju ke sana muat
untuk dilewati becak. Si abang telah melakoni tugas profesionalnya secara
tuntas. Bahkan, ia mengerahkan segenap kompetensinya melebihi tugas pokok yang
diembannya.
Tugas pokoknya adalah mengemudi becak. Silakan lacak,
pengemudi alat transportasi apa yang dedikasinya menandingi pengemudi becak—yang,
sekali lagi, belum punya sebutan khusus itu? Pilot dan nakhoda tak turut serta
mengangkat-angkat barang bawaan penumpang ke bagasi pesawat. Masinis dan sopir
tak pernah bersusah-payah mendorong kereta atau mobilnya mendaki jalan terjal
agar para penumpang tetap bisa nyaman dan santai di atas kendaraan sampai di
puncak tanjakan. Kusir dan sais menjadi pesaing terdekat bagi si abang. Tapi …
jangan lupa: mereka memeras tenaga kuda sebagai “mesin” penggerak roda dokar
atau delman.
Abang becak memang luar biasa! Pengemudi sekaligus “mesin”.
Ketika jalan menanjak, tak pernah ia minta penumpangnya untuk turun. Justru ia
yang turun untuk mendorong becaknya. Penumpang pun tetap tenang, nyaman, dan
santai di atas becak. Menaikkan dan menurunkan barang-barang muatan dikerjakan
olehnya tanpa disuruh atau diminta. Ia melakukan semua itu tanpa keluh kesah,
tanpa gerutu, dan … tanpa pamrih di luar kontrak yang disepakati bersama
penumpang.
Pengemudi, ya! Mesin, ya! Porter, ya! Derek, ya!
Dan … untuk semua pekerjaan yang tidak disebut di dalam kontrak, ia PANTANG
MENGEMIS TUNJANGAN!
Berapa % kadar profesionalisme kita dibanding si abang?!?!?!
Jadi malu membaca tulisan ini, hiks. :(
BalasHapus