Tetangga depan rumah kami dulu punya empat orang anak: tiga perempuan dan satu laki-laki. Tidak seperti anak-anak sebayanya di desa kami, anak lelaki tetanggaku itu tak kenal pekerjaan anak desa. Dia tidak pernah terlihat memikul air dari umbul di seberang desa untuk memenuhi keperluan dapur. Memikul hasil bumi dari sawah atau ladang juga tak pernah dilakukan. “Nikmatnya” memikul pupuk kandang ke tanah garapan orang tuanya pun tak pernah dirasakan. Paling-paling, sesekali dia ikut teman-teman sebayanya beramai-ramai menggembala sapi di padang rumput.
Enak nian hidup anak tetanggaku itu. Barangkali nasib baik
itu menimpa dirinya lantaran dia menjadi anak lelaki satu-satunya di
keluarganya.
Suatu pagi ayahku mengajak anak-anaknya—aku dan dua kakakku—mengusung
pupuk kandang ke ladang. Itu kami lakukan berulang-ulang dalam sehari. Capek,
memang. Ada bengkak merah di pundak kami. Dalam hati, aku pun memprotes
perlakuan ayahku kepada kami. Kala itu usiaku belum genap sepuluh tahun.
Sedangkan anak lelaki tetanggaku itu sekitar enam atau tujuh tahun lebih tua
daripada aku.
“Kalau tidak melibatkan anak-anak 'bayi', apa khawatir tanaman sampeyan tidak subur, to, Kang?" tegur tetanggaku
mencibir ayahku.
“Wong yang saya pupuk ini bukan tanamannya, kok, Dhi,”
sahut ayahku. “Yang saya pupuk itu justru anak-anak ini.”
"Memupuk anak-anaknya?" gumamku waktu itu. Bagaimana bisa?
Kalau sejak kecil pundak kami dibebani pekerjaan seberat ini, yang pasti
terjadi justru tubuh kami sulit tumbuh. Ayahku terlalu mengada-ada. Atau,
beliau tidak mau dipersalahkan oleh anak-anaknya? Atau juga, jangan-jangan
ayahku memang—maaf—kurang waras?
Kini ayahku sudah tiada. Semoga beliau diampuni dari segala
dosanya dan menerima ganjaran atas seluruh kebaikannya. Sekarang aku ganti
menempati posisi beliau: menjadi seorang ayah. Kadang terngiang di benakku
jawaban ayahku kepada tetangga kami dulu: memupuk anak-anak. Dengan cara begitukah ayahku memupuk kami?
Akhirnya kutemukan juga maksud ayahku kala itu. Beliau dulu
hanya seorang petani tradisional. Pendidikan yang sempat dikenyamnya mungkin hanya
sampai kelas 2 atau 3 sekolah rakyat. Baca tulis tak begitu lancar. Berbicara
juga tak mahir. Apalagi berkhotbah! Beliau tak mampu “memupuk” kami dengan
untaian kata-kata bijak. Satu-satunya metode pendidikan yang beliau kenal
adalah mencelupkan kami ke dunia nyata. Dan itu sering terasa keras bagi anak
seusia kami waktu itu.
Kini aku menjadi manusia dewasa, seperti ayahku waktu itu.
Kehidupan tidak makin lunak, justru terasa makin keras. Aku tak boleh banyak
mengeluh. Mengumpat, memaki, dan menyalahkan sana-sini bukanlah siasat bijak
untuk menghadapi derasnya arus kehidupan.
Kini aku sudah tak punya ayah, tapi punya banyak bos, teman
sejawat, tetangga, dan keluarga. Di antara mereka, tak satu pun ada yang
sanggup menyelesaikan sendiri seluruh keperluannya. Adakalanya mereka
membutuhkan uluran tanganku. Tak perlu menunggu dimohon, diminta, disuruh,
apalagi sampai diteriaki, aku mesti mengerti.
Persis seperti yang dikehendaki ayahku ketika aku masih
kecil. Tanpa disuruh, aku mesti mengikuti langkah beliau: memikul sepasang
keranjang penuh pupuk kandang ke ladang. Tanpa diminta, aku mesti kembali ke
kandang, memenuhi kedua keranjang dengan kotoran sapi, lalu mengangkutnya lagi
ke ladang. Sebelum matahari tenggelam di ufuk barat, aku mesti memikul lagi.
Kali ini muatannya berganti: air bersih untuk keperluan dapur. Jika gentong
belum terisi penuh, tanpa dimohon aku mesti bolak-balik ke sendang, mengambil
air sepikul demi sepikul. Pundakku terasa perih. Bila kaos oblong yang membalut
tubuhku dilepas, tampak memar merah di kedua sisi pundakku. Tapi, sekali lagi, itu
tak layak kujadikan alasan untuk mengeluh.
Ternyata ayahku, yang kolot dan lugu itu, adalah seorang pendidik!
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar