28 Apr 2012

Anak-Ibu-Ayah Berbagi Impian

Apakah Anda punya impian tentang putra/putri Anda?
Apakah Anda berani mengukur tingkat kerealistisan impian Anda?
Jika Anda menjawab "ya", mintalah putra/putri Anda untuk mengisi rapor Anda seperti form A berikut.
Sementara, Anda sendiri mengisi daftar impian Anda seperti form B berikut.
(Pernyataan-pernyataan di dalam form A dan B sekadar contoh; bisa diubah sesuai dengan keperluan. Yang harus diperhatikan, pernyataan di dalam form A mesti linier dengan pernyataan di dalam form B yang bernomor sama.)
Lalu tukarkan daftar impian Anda dengan rapor Anda. Diskusikan berdua saja dengan ananda. 
Jika skor impian Anda sama dengan skor rapor Anda pada nomor yang sama, berarti impian Anda pada nomor tersebut cukup realistis. Sebaliknya, jika skor impian dan rapor pada nomor yang sama terpaut jauh, berarti impian Anda tidak realistis. Ringkasnya, makin kecil selisih kedua skor berarti impian Anda makin realistis; makin jauh selisihnya berarti makin ngelantur Anda mengigau.
***
Metode ini pernah disimulasikan secara kolosal di sekolah kami. Hasilnya, mendapat respons luar biasa dari orang tua murid.
***

20 Apr 2012

Diputus, ... Syukurin!

Suatu sore lepas asar, di ruang tamu rumah seorang konselor. Sebenarnya, beliau "hanya" seorang guru di sebuah perguruan tinggi. Di sela-sela kesibukan memberikan kuliah, beliau juga punya hobi mengajarkan ilmu agama di salah satu petak rumahnya. Ruangan sederhana itu mirip sebuah pondok pesantren. Setiap hari, pada jam-jam tertentu, belasan --kadang puluhan-- remaja akhir, putra-putri, menimba ilmu di sana. Adalah keakrabannya dengan berbagai persoalan umat yang mengantarkan beliau kepada julukan "konselor".

Seorang mahasiswi semester akhir duduk tertunduk lesu di kursi kayu. Wajahnya tertunduk layu. Kedua matanya sembab. Sebentar-sebentar tangannya merogoh tisu dari dalam tas, lalu menyapu air matanya yang nyaris jatuh. Sepasang bibirnya bergantian digigit-gigit sendiri. Sepertinya ada ekspresi yang ditahan. Tak ada yang menemani. Tadi istri Pak Konselor hanya sempat menyambutnya di pintu, menyilakan duduk, mengambilkan segelas air putih, menanyakan kabar, lalu kembali bersembunyi di ruang tengah. Memang begitu biasanya. Jika tamu yang datang tampak membawa beban berat, beliau lebih suka menyingkir. Beliau bukan tipe istri keminter yang suka menyerobot kepiawaian sang suami.

16 Apr 2012

Untung, Sempat Nyicil!

Ketika kecil dulu, aku sering dikudang oleh Simbok (panggilan untuk ibu dalam tradisi keluarga kami). Kudangan beliau tidak berbeda jauh dari impian kebanyakan masyarakat petani tradisional desa: mbesuk gedhe dadi dhokter.

Aku berani memastikan, kala itu Simbok tidak memikirkan konsekuensi yang harus ditanggung untuk mengantarkan anaknya mewujudkan kudangan tersebut. Seandainya sempat berpikir tentang hal itu, pasti beliau tidak bakal berani mengungkapkan kudangan sembrono begitu. Kelak aku pun sempat protes karena ternyata beliau tidak wani nggetih untuk mewujudkan kudangannya sendiri. Sebagai pelampiasan kekecewaan itu, kuabadikan cita-cita besar beliau dalam corak tulisan tanganku. Ya, tulisan tanganku mirip tulisan dokter di resep obat.

Baru setelah jadi orang (bukan anak-anak lagi, maksudku), aku memahami maksud kudangan Simbok, yang kini sudah berusia senja. Kudangan itu setidaknya berguna sebagai pelecut agar aku tumbuh bersama impian besar. Dan ... benar-benar gairahku terpantik oleh kekudangan itu. Anganku sering melambung tak terkendali.

Ada janji tersimpan rapi di balik khayalanku. Kalau sudah besar kelak, aku akan membahagiakan Simbok dan Bapak. Dengan berprofesi sebagai dokter, pasti tidak begitu sulit untuk memanjakan kedua orang tua. Apalagi, hanya kemanjaan ala orang-orang desa. Rumah berdinding gedek hadiah Simbah akan segera kusulap menjadi loji termegah di kampung kami, melebihi kemegahan rumah Pak Lurah. Mobil priyayi nyaris tanpa bunyi akan setia membawa Simbok dan Bapak ke pasar untuk membeli pakaian dan perhiasan paling cantik. Keesokan harinya, kendaraan yang tak terbeli oleh harga seluruh ternak milik para tetangga sekampung itu kembali mengantarkan mereka ke pesta pernikahan kerabat di kampung sebelah. Bapak dan Simbok akan segera pensiun sebagai petani gurem, yang setiap musim tanam tiba selalu tercekik utang benih segala macam tanaman dan pupuk yang ditawarkan secara paksa oleh rentenir berlabel KUD.

Imajinasiku tumbuh seliar itu bukan tanpa alasan. Rekam jejak hasil belajarku di sekolah kiranya cukup untuk bekal bermimpi jadi dokter. Kalau toh gagal jadi dokter seperti kudangan Simbok, aku layak untuk mengejar cita-citaku sendiri: insinyur. Itu juga profesi yang cukup potensial untuk membahagiakan orang tua kelak. Namun, selepas SMP aku mesti mengubur dalam-dalam mimpiku untuk memilih salah satu dari dua profesi itu. Sekolah yang dipilihkan untukku tidak memungkinkan mengantarku ke gerbang sekolah dokter ataupun insinyur. Akhirnya, aku pun harus mencari akal untuk mengabadikan cita-citaku. Singkatan gelar insinyur kuabadikan dalam tanda tanganku.

Kendati sudah kehilangan dua alternatif mimpi, aku tak patah arang. Masih menggebu hasratku untuk dapat membuat kedua orang tuaku tersenyum dengan baktiku kelak. Pokoknya, tiada rotan, akar pun jadi. Yang penting, aku harus mengurangi—kalau tidak bisa menghilangkan—kepayahan Simbok dan Bapak seperti yang bertahun-tahun kusaksikan.

***

Untung, janjiku itu hanya kusimpan di benakku sendiri. Tak seorang pun pernah mendengarnya, termasuk telingaku sendiri. Belum lagi lulus sekolah, aku sudah kecantol seorang bidadari (eh, bidadari itu orang atau bukan, ya?). Menghidupi diri sendiri saja belum cukup, aku nekat menantang tanggung jawab untuk memikul kebutuhan anak orang. Utang untuk biaya maskawin saja belum lunas, aku sudah keburu punya anak.

Alih-alih merenovasi rumah tinggal orang tua, untuk mengangsur ongkos kontrak rumah saja aku justru harus mengiris beberapa petak ladang mereka. Jangankan menyediakan "mobil dinas" untuk mereka, untuk membayar uang muka sepeda motor saja aku malah tak sungkan-sungkan menuntun anak sapi mereka ke pasar.

Ketika anakku berumur dua tahun lebih dua bulan, Bapak meninggal. Aku di-tilap-kan. Beliau sakit beberapa hari, aku tidak mendengar kabarnya. Beliau sudah membujur kaku tanpa napas, aku gagal dilacak. Sampai jasadnya dikubur rapat-rapat di perut bumi, aku belum nongol di antara kerumunan pelayat. Jauh di luar dugaan, sejumlah tetanggaku berhasil mengendus persembunyianku. Tak mau membuang-buang waktu, mereka membawaku meluncur ke rumah orang tuaku.

Sekitar empat jam kami menempuh perjalanan dari tempat persembunyianku ke kampung halamanku yang sudah 12 tahun kutinggalkan. Sampai di desa kelahiranku, aku melihat sebuah payung baru tertancap di tanah makam. "Itu pasti kuburan Bapak." Kucoba menyembunyikan air mata duka. Kutahan untuk tak ada isak tangis. Sampai di rumah, yang kudapati tinggal suasana lengang. Simbok, kelima saudaraku, ipar-iparku, keponakan-keponakan, serta beberapa paman dan bibiku menyambut kehadiranku yang terlampau terlambat.

Inikah kutukan yang pas untuk anak senista aku? Jangankan turut memandikan dan mengafani, untuk ikut menyalati jenazah Bapak saja aku tak kebagian kesempatan!

Ketika malam telah larut, ketika orang-orang yang kecapekan mulai terlelap tidur, ketika suara dengkuran mulai terdengar bersahut-sahutan, baru aku membiarkan air mataku meleleh keluar. Kucoba untuk berdoa. Kucoba melafalkan doa yang pernah diajarkan oleh guru-guruku.

"Wahai, Tuhan, ampunilah aku; 
ampuni juga kedua orang tuaku; 
sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangi aku ketika aku masih kecil."

Tiba-tiba bibirku mengatup rapat. Lidahku kelu. Bagaimana aku berani memohon agar Tuhan menyayangi kedua orang tuaku? Bukankah Dia sudah terlampau banyak mencurahkan kasih sayang-Nya kepada mereka? Bukankah Tuhan tak pernah menghentikan aliran rahmat-Nya seumur hidup mereka? Bukankah Tuhan tak pernah mencabut kembali kasih sayang-Nya yang pernah dilimpahkan kepada mereka?

Demi mendengar permohonanku, seolah-olah Tuhan menamparku dengan jawaban sarkastik, "Tidak malukah kau memintakan kasih sayang-Ku untuk kedua orang tuamu? Tidak tampakkah olehmu aliran kasih sayang-Ku kepada mereka yang tak pernah putus selama ini? Bukankah kau yang semestinya membalas kasih sayang mereka? Bukankah mereka mencurahkan kasih sayang kepadamu tidak sebatas ketika kau masih kecil? Bukankah kau terus menguras kasih sayang mereka hingga kau setua ini? Dan ... bukankah mereka tak pernah jenuh atau enggan untuk meneruskan kasih sayang-Ku kepadamu, wahai, hamba yang tolol?"

Duh, Gusti! Berhari-hari aku tak berani mengulang doa itu. Sampai akhirnya pujian seorang tetanggaku berhasil membesarkan hatiku.

"Memang tidak sia-sia didikan bapakmu dulu, Kang. Sudah bertahun-tahun menjadi orang kota, setiap pulang ke kampung kau masih tidak lupa ngangsu untuk mengisi gentong sampai penuh. Bapakmu benar-benar berhasil memupuk anak-anaknya," komentar tetanggaku itu ketika bertemu dengan aku, yang tengah memikul sepasang jerigen berisi air di jalan.

Sejak itu aku kembali berani berdoa, memintakan kasih sayang-Nya untuk kedua orang tuaku, terutama Bapak, yang sudah berpulang. Ya, semoga sisa-sisa memar di kedua pundakku bekas beban pikulan, kapal di kedua telapak tanganku bekas alu dan pukulan kedelai, serta bekas luka sayatan sabit yang bertaburan di punggung tanganku layak kupamerkan kepada Tuhan sebagai bukti cicilan baktiku kepada Bapak dan Simbok. Cicilan baktiku itu semoga cukup sebagai sumbu keberanianku untuk mengiba kepada-Nya.

Tak terbayangkan, seandainya semasa kecil dulu aku tidak "dipupuk" oleh Bapak dan Simbok dengan cara seperti itu, mungkin seumur hidup aku tak punya catatan cicilan bakti anak kepada orang tua.

Terima kasih, Pak. Matur nuwun, Mbok. Thank You, Allah, Engkau anugerahkan kepadaku sepasang orang tua tradisional, yang sanggup mendidik anak-anaknya secara bersahaja.


14 Apr 2012

Juara Sejati

  • Dapatkah Anda menyebut nama-nama Miss Universe (ratu sejagad) lima tahun terakhir? Atau, para Putri Indonesia lima tahun terakhir?
  • Mampukah Anda menyebut nama-nama aktor dan aktris pemenang Piala Oscar lima tahun terakhir? Atau, para peraih Piala Citra dalam FFI tahun terakhir saja?
  • Sanggupkah Anda menyebut lima nama orang terkaya sejagad yang terakhir dirilis majalah Forbes? Atau, lima orang terkaya di Indonesia tahun terakhir?
Bagaimana? Anda menyerah? Tak mengapa. Tak perlu putus asa. Mungkin risiko yang akan Anda derita hanya gagal memenangi kuis televisi atau mengisi penuh seluruh kotak TTS. Agar tidak larut dalam perasaan kurang cerdas, segera beralihlah ke pertanyaan-pertanyaan berikut.

12 Apr 2012

Tuhan Pangling

Matahari terbit dari barat. Sinarnya terang berkilau, membuat semua mata merasa silau. Perlahan sang bagaskara terus turun dari singgasananya. Jaraknya makin dekat ke bumi, anggota keluarganya yang selama ini ditimang-timang dalam kehangatan dan kecerahan cahayanya. Makin lama makin mendekat. Tinggal tersisa jeda sejengkal di atas kepala orang berdiri.

Sengatan panasnya membakar hangus segala benda, menembus segenap lapisan dinding pelindung makhluk semesta. Jalinan atmosfer robek compang-camping kehilangan rupa. Rajutan ozon koyak menganga di mana-mana. Seluruh mantel penghalang tak kuasa membendung radiasi sinar ultra dan infra dari sang bola raksasa. Tiada yang tersisa. Benua es yang berjuta tahun tidur nyenyak di dua kutub dunia mendadak cair. Lebur. Leleh. Luluh. Lantak.

Bumi berguncang keras. Seluruh planet turut bergetar dahsyat. Resonansinya menimpa segenap benda luar angkasa. Serentak berguguran. Rontok. Jagat raya memuntahkan segala isi perutnya. Bongkah-bongkah bebatuan berhamburan keluar meninggalkan relung persemayaman mereka. Satu, dua, tiga, …, berjuta bongkah menyembul bersamaan lalu meluncur kencang dan terbang di udara. Gravitasi bumi menariknya kembali turun. Tak mau menunggu giliran, rombongan batu-batu sebesar Gunung Semeru jatuh berbarengan. Pecah segala yang ditimpa. Hancur segala yang diterjang.

Gunung-gunung tercerabut dari akarnya. Tingkahnya bak kapas tertiup angin lesus. Magma muncrat menjadi lava pijar. Lava meleleh menjadi lahar. Disapu angin dan hujan, lahar hanyut lalu mengendap di hulu sungai. Tak kuasa menampung guyuran air dari langit, sungai mengalirkan endapan lahar ke hilir. Kelebihan volume muatan, hilir sungai muntah.

Marah. Adonan lahar diempaskan ke sawah, ladang, kebun, dan rumah-rumah di perkampungan. Semua berubah seketika. Gedung yang semula berdiri megah, rumah yang semula bertampang mewah, jembatan yang semula membentang gagah, dalam sekejap musnah. Yang tersisa tinggal puing-puing reruntuk simbol-simbol kepongahan makhluk serakah berbaur dengan sampah.

Sudah terlalu lama tanah warisan Adam dibiarkan tercemar. Tumpahan isi sungai tak sanggup diserap. Sudah menjadi putusan hukum alam bahwa air tak bisa dilarang mengejar posisi yang lebih rendah. Berbondong-bondong air merayap menyusuri lembah, ngarai, dan jurang. Pantang menyerah hingga mencapai kolam raksasa penampungan akhir.

Merasa terjajah oleh tamu asing, air samudra bergolak berontak. Tanpa komando, riak-riaknya berbaris kompak membentuk gelombang raksasa. Ombak bergulung-gulung menghimpun segenap energi, berarak melompati batas lautan. Segala yang dijumpai di daratan menjadi sasaran amuknya. Penghuni daratan yang menjadi korban hajarannya menamainya tsunami. Nama yang tak segarang murkanya.

Situasi makin genting tak terkendali. Manusia kalang kabut mencari perlindungan. Bagai anai-anai berhamburan keluar dari liangnya menyambut pagi setelah semalam berselimut hujan. Kaum ibu yang tengah menyusui melemparkan bayi merah dari timangannya. Yang sedang hamil menggugurkan paksa janin yang bersemayam tenteram di rahimnya. Semua lari tunggang langgang. Kepanikan bersenyawa dengan kelelahan. Langkah gontai. Tubuh sempoyongan bak pendekar mabuk akibat overdosis ciu oplosan.

Anak-anak menjerit bersahutan memanggil ayah atau ibunya. Para remaja berteriak-teriak memanggil kekasihnya. Yang dewasa beradu lantang mengundang kerabatnya. Si tua bangka meronta sumbang mengundang ahli warisnya. Rakyat jelata merintih mengiba perlindungan penguasa. Panglima perang membentak-bentak para serdadu agar siaga dengan senjata lengkap. Para bendahara diperintah direkturnya untuk mencairkan honor paranormal yang disewa untuk menolak bala yang melanda tiba-tiba.

Namun, semua upaya sia-sia. Rupanya ini bukan sembarang bencana. Ini penghulu segala malapetaka. Pamungkas kehancuran. The Ultimate Catastrophe. Qiyamat al-Kubra.

***

Kakek-kakek renta bersimpuh putus asa. Tubuhnya yang rapuh dibiarkan teronggok sia-sia di antara puing-puing bangunan segala rupa. Tangannya melambai lemas memanggil Sosok yang berkelebat secepat kilat di depannya. Sosok Penuh Wibawa tapi cuek tanpa tegur sapa.

“Tuhan, … tolong saya,” rintihnya memelas.

“Tuhan, katamu?” jawab Yang Dipanggil, ketus. “Memangnya kau ini siapa?”

Lho, masa Tuhan lupa dengan hamba-Nya?” si renta balik bertanya. Nadanya protes.

“Bukankah kau dulu juga demen melupakan Tuhanmu, wahai, pencandu dunia? Ketika Nama-Ku dipanggil-panggil oleh kekasih-Ku, kau tak cemburu. Sementara orang-orang di sekitarmu bergegas menemui Aku, kau masih saja larut dalam kesibukanmu menghimpun dinar, dolar, ringgit, dan rupiah pujaanmu. Kali lain, Nama-Ku dipanggil-panggil lagi, kau tak acuh dan terus menikmati keasyikanmu bersenda gurau dengan para kolega dan kroni bisnismu. Padahal sahabat-sahabatmu yang lain berebut menempati barisan depan untuk bercengkerama dengan Aku. Pada saat lain lagi, Nama-Ku kembali dikumandangkan, kau bergeming di peraduanmu. Kaulanjutkan tidur pulasmu pasca kaupuaskan nafsu birahimu bersama pasangan gelapmu. Sedangkan para tetangga sebelah vila persembunyianmu segera bangkit, berdandan rapi, dan berebut mencumbui Aku. Masih pantaskah hari gini kau merasa layak untuk mengaku sebagai hamba-Ku?”

***

Di petak yang lain, seorang wanita paruh baya duduk terpuruk lesu sambil tak henti-henti meronta. Tampaknya ia menangis menyesali kehancuran menara sukses bisnisnya yang nyaris menyundul langit.

“Tuhan, … Tuhan!” teriaknya, memanggil Sosok Agung yang melintas di sebelahnya.

“Apa? Kau memanggil tuhanmu? Bukankah tuhanmu sudah luluh lantak bersama sirnanya keangkuhanmu?”

Lhoh, bukankah Engkaulah Tuhan itu?”

“Sejak kapan kau mengenal Aku sebagai Tuhanmu, wahai, pemuja harta?”

“Masa, Tuhan tidak mengenaliku? Atau, Tuhan lupa padaku? Padahal setiap tahun aku menyisihkan laba bisnisku untuk biaya perjalanan ziarah ke rumah-Mu, lho, Tuhan.”

“Ya, ya, ya …. Tapi, kau tak acuh ketika Aku sakit. Bahkan, ketika Aku hampir mati kelaparan, kau pun abai tak peduli.”

“Ah, Tuhan bisa saja. Masa, Tuhan sakit, malah hampir mati kelaparan lagi?”

“Begitulah. Gelimang harta menyilaukan penglihatanmu. Jadi, kau tak peka melihat kehadiran-Ku. Yang kauziarahi setiap tahun itu hanya simbol rumah-Ku. Sedangkan Aku selalu hadir menyelinap di balik raga hamba-Ku yang papa. Nah, ingatlah. Berapa orang pegawai perusahaanmu jatuh sakit setiap tahun? Berapa orang di antara mereka yang harus tercekik hutang untuk melunasi ongkos rumah sakit? Bahkan, berapa yang merelakan seluruh hartanya ludes terjual untuk menebus biaya pengobatan? Tega-teganya kau setiap tahun melawat ke negeri seberang yang kaupuja-puja sebagai Tanah Suci, sementara mereka mengerang kesakitan raga dan ragad? Bukankah pundi-pundi bisnismu itu kaukumpulkan dengan memeras keringat mereka?”

“O, … maafkan hamba atas kelalaian itu, Tuhan. Please, … deh. Lalu kapan Tuhan menderita kelaparan?”

“Lagi-lagi penglihatanmu tertutup tumpukan harta yang menjelma jadi tuhanmu. Sejumlah tetanggamu meregang nyawa menahan lapar. Makan sekali mereka gunakan untuk hidup tiga atau empat hari. Sementara, kau sehari tiga atau empat kali keluar masuk resto atau kafe bintang lima demi menjamu rekan-rekan bisnismu yang tak bakal kelaparan tanpa kautraktir. Seumur hidup kau cuek terhadap Aku. Lalu, hari gini kau merasa layak memanggil Aku Tuhan?”

***

Di salah satu sudut bekas kota metropolitan, berdiri termangu seorang pensiunan guru. Batinnya menggerutu. Dia mencoba menghitung-hitung jasanya selama 40 tahun mengabdi di beberapa sekolah. Dia mulai menyebut nama murid-muridnya yang sudah sukses menjadi orang. Ada yang menjadi pejabat di pemerintahan. Ada yang menjadi aparat hukum terkenal. Ada yang menjadi pengusaha kaya raya. Yang menjadi politisi beken juga ada. Artis kesohor pun ada.

Dia berharap deretan nama-nama besar itu bisa menjadi penolongnya pada hari yang penuh kepayahan ini. Dia yakin profesinya yang mulia sebagai pendidik generasi penerus dan pewaris bangsa itu bisa menjadi payung yang menaunginya dari azab pedih pada hari nahas ini. Maka, begitu melihat kelebat Sosok Sempurna, dia pun tak sungkan memanggil-Nya. Panggilannya santun, khas intonasi guru.

Seperti yang sudah-sudah, Tuhan tampak tidak berkenan dengan panggilannya.

“Tidak sadarkah kau bahwa selama 40 tahun menjadi guru, kautelantarkan Aku ketika Aku menjelma sebagai murid-muridmu yang kauanggap bodoh? Kaubangga-banggakan segelintir bekas muridmu yang menuai sukses di hari kelak. Sementara, terhadap ratusan bahkan ribuan muridmu yang mengidap DPR (daya pemahaman rendah), kau tak ambil peran. Kau justru bangga dengan hobimu memberikan rapor merah kepada mereka. Kau merasa puas ketika pada akhir tahun bisa mempermalukan mereka dengan vonis tinggal kelas. Bagaimana kau tak malu untuk menyebut Aku sebagai Tuhanmu pada hari gini?”

Astagfirullah ….


Tabik.

10 Apr 2012

MP3 atau MP4?

Pagi itu rumah Pak Dar cukup ramai. Tidak seperti biasanya, memang. Bertahun-tahun tinggal di situ, baru kali ini suasana Lebaran di rumah Pak Dar tampak meriah. Sekitar pukul sepuluh pagi, serombongan tamu datang dengan beberapa mobil minibus. Rumah yang tak begitu luas itu penuh oleh tetamu Lebaran. Bahkan, beberapa tamu laki-laki terpaksa duduk lesehan di teras dan beberapa yang lain memilih duduk di bangku panjang di bawah rerimbun pohon mangga yang tumbuh di halaman depan yang juga terbilang sempit.
Tidak tampak ada acara formal. Yang terdengar hanya obrolan ringan tanpa batasan topik yang jelas. Usai topik yang satu, obrolan melompat ke topik yang lain. Alur pembicaraan pun mengalir lancar walau sebentar-sebentar beralih tema. Sesekali riuh derai tawa hadirin dan tuan serta nyonya rumah meningkahi percakapan bebas dan santai tanpa pemandu acara itu.
“Kalau Lebaran begini libur berapa hari, Mbak Rin?” pertanyaan Bu Dar tiba-tiba menghentikan perbincangan yang semula saling bersahutan.
“Dua minggu, Bu,” jawab Sarinah.
Sebelum kenal Bu Dar, dulu Sarinah di kampungnya dipanggil “Nah”. Ada juga beberapa tetangga yang memanggilnya “Sar”. Tapi, sejak bertemu Bu Dar belasan tahun silam, perempuan desa itu menyandang panggilan baru: Ririn. Bu Dar, pegawai biasa di sebuah instansi pemerintah itu, memang dikenal lihai mempercantik panggilan untuk nama-nama yang berkonotasi kampungan. Sarinah dipanggil Ririn. Painem dijuluki Iin. Samiatun dipanggil Mia. Juminten dijuluki Inten. Mesirah dipanggil Meme. Dan … entah, sudah berapa lagi gadis-gadis yang datang dengan nama kampungan, kelak kembali pulang ke desa membawa julukan baru namun tetap diambil dari bagian namanya.

9 Apr 2012

Malu kepada Penjaja Mendoan

Mendoan adalah sejenis tempe yang amat tipis. Di “negara” asalnya, mendoan memang didesain tipis sejak dari awal pencetakannya. Setelah dikupas kemasannya yang terdiri atas dua lapis, daun pisang di lapisan dalam dan daun jati di lapisan luar, tempe mendoan mesti diangkat secara hati-hati. Kalau tidak, ia akan mudah patah karena ketipisannya. Dilumuri adonan tepung terigu berbumbu lalu digoreng, mendoan menjadi camilan lezat untuk ukuran masyarakat sekelas saya.

8 Apr 2012

Berguru kepada Abang Becak

Teman yang satu ini sungguh beruntung. Ia punya seorang ayah. Satu-satunya ayah yang dimilikinya itu bekerja sebagai pengemudi becak.

Beliau dan teman-teman seprofesi boleh iri. Pengemudi kapal terbang ada namanya: pilot. Pengemudi kapal laut punya sebutan khusus: nakhoda. Pengemudi kereta api punya julukan: masinis (sekalipun berkelamin perempuan, ia tidak dijuluki mbaksinis). Pengemudi mobil—segala jenis mobil—disebut sopir. Pengemudi dokar, andong, atau delman punya nama: kusir atau sais.

Quo Vadis Pendidikan Karakter?

To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society. Pesan ini disampaikan oleh mendiang Theodore Roosevelt, presiden ke-26 Amerika Serikat. Secara lebih sinis, pada kesempatan lain presiden termuda yang pernah dimiliki negeri Paman Sam itu menyindir, A man who has never gone to school may steal from a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.” 

Akhir-akhir ini isu pendidikan karakter mencuat sebagai topik perbincangan yang ramai menghiasi halaman media massa. Berbagai kalangan—pejabat eksekutif, politisi, pakar dan pengamat pendidikan—seolah-olah berpacu unjuk keprihatinan. Semua seperti sudah sepakat bahwa segala bentuk keterpurukan yang melanda bangsa ini merupakan akibat kegagalan sistem pendidikan kita di dalam membangun karakter bangsa.

Di negeri kita tidak sulit untuk menemukan bukti kebenaran tesis Roosevelt tersebut. Hampir dapat dipastikan bahwa pelaku kejahatan di jalan raya yang dijuluki “bajing loncat” adalah orang-orang yang berijazah pendidikan rendah atau sama sekali tidak mengantongi ijazah. Sebaliknya, mayoritas pesakitan dalam kasus tindak pidana korupsi—dari kelas teri hingga kakap—menyandang  gelar akademik di depan atau belakang nama mereka.

Pendidikan Moral

Kegagalan sistem pendidikan kita di dalam mengemban misi character building adalah simpulan yang tak terbantahkan. Namun, perlu dirunut faktor pencetus kegagalan itu. Apakah pendidikan karakter sudah dijalankan tetapi gagal mencapai tujuan? Apakah ia hanya hadir di dalam cetak biru pendidikan tetapi gagal dijalankan sebagaimana mestinya? Ataukah grand design sistem pendidikan nasional kita memang tidak pernah menyediakan ruang bagi pendidikan karakter?

Sepanjang sejarah pendidikan nasional yang penulis alami atau ketahui, muatan pendidikan moral tidak pernah absen dari kurikulum pendidikan formal. Mata pelajaran Pendidikan Agama selalu hadir di dalam struktur kurikulum, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Demikian juga Pendidikan Kewarganegaraan, yang sempat mengalami beberapa kali perubahan nama. Pada era 1980-an, selain dua mata pelajaran tersebut, bahkan juga ada Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.

Belum lagi penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang pada masa Orde Baru menjadi menu wajib bagi siswa dan mahasiswa baru. Di depan hampir semua sekolah terpampang papan nama Gugus Depan Pramuka dan pada hari tertentu seluruh siswanya mengenakan pakaian seragam cokelat-cokelat. Bukankah Pramuka memiliki Dwi Darma dan Dasa Darma, yang berisi rumusan misi hidup sebagai acuan karakter para anggotanya?

Menilik fakta tersebut, secara ‘ilmul-yaqīn kita tidak bisa memungkiri bahwa grand design pendidikan nasional kita dari waktu ke waktu selalu sarat dengan misi pendidikan moral. Pertanyaannya adalah mengapa semua wahana pendidikan karakter itu tidak meninggalkan jejak pada output yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah kita? Ada apa dengan praktik pendidikan kita?

Dalam perkembangan mutakhir sistem pendidikan nasional, kita mengenal kurikulum berbasis kompetensi. Dengan kurikulum ini, titik berat standar nasional bukan lagi pada materi pelajaran yang harus dikuasai, melainkan pada kompetensi atau kecakapan yang mesti dicapai oleh peserta didik. Bagaimana pendidikan karakter diamanatkan oleh kurikulum yang kini sedang diterapkan? Tabel berikut menyajikan daftar kompetensi yang bermuatan pendidikan karakter untuk kelas I semester 1 sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah.

Cuplikan Standar Isi yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tersebut menggambarkan betapa kurikulum sekolah sebenarnya sarat dengan misi pendidikan karakter. Amanat untuk membangun watak itu tersebar hampir di semua mata pelajaran. Seandainya proses pendidikan benar-benar berjalan di atas rel kurikulum, betapa prima karakter anak bangsa ini?!

Untuk mengevaluasi apakah standar kompetensi tersebut dijadikan acuan di dalam praktik pendidikan, kita bisa mengamati proses pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Ketika mengajarkan perilaku jujur, misalnya, apakah guru mengajak anak-anak untuk mendiskusikan alasan mengapa kita perlu berperilaku jujur? Apakah anak-anak diberi kesempatan untuk menceritakan pengalamannya ketika berperilaku tidak jujur atau ketika menerima perlakuan tidak jujur dari orang lain? Apakah ibu/bapak guru juga menyediakan anekdot atau lembar pengamatan untuk merekam perkembangan kejujuran anak-anak, yang dapat diisi oleh gurunya sendiri, teman sekelas, orang tua, atau teman sepermainan di lingkungan rumahnya?

Ataukah anak-anak hanya dipaksa untuk menghafal bahan pelajaran yang tertulis di buku-buku teks pelajaran, yang setiap pagi dan siang memaksa punggung mereka terbungkuk-bungkuk membawanya ke dan dari sekolah? Materi hafalan itu biasanya mencakup seputar pengertian jujur, contoh-contoh perilaku jujur, manfaat dari perilaku jujur, akibat dari ketidakjujuran, dan sekelumit cerita rekaan tentang seorang anak yang berperilaku jujur.

Jika proses pembelajaran sudah berjalan seperti ilustrasi pertama tetapi gagal membangun karakter jujur pada siswa, patut dicurigai andil komponen pendidikan di luar sekolah terhadap kegagalan tersebut. Namun, bila potret pembelajaran di sekolah tercermin pada ilustrasi kedua di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter gagal membumi di tataran praksis kurikulum.

Kompetensi Guru

Secara tekstual, kurikulum sekolah sudah mendeskripsikan impian pendidikan karakter. Secara lebih gagah mimpi itu juga dapat dibaca pada rumusan visi dan misi tiap-tiap satuan pendidikan. Bila ternyata mimpi-mimpi indah itu hanya mengawang-awang di langit, evaluasi terhadap kompetensi guru menjadi sebuah keniscayaan. Kurikulum, meski sudah dirancang berbasis kompetensi, tidak akan menuai kompetensi siswa seperti yang diimpikan jika tidak dioperasikan oleh guru-guru kompeten.

Meningkatkan kompetensi guru menjadi tanggung jawab bersama. Pemerintah, lembaga penyelenggara pendidikan guru, dan berbagai lembaga nonpemerintah yang dibentuk untuk menggerakkan sumberdaya pendidikan memikul tanggung jawab ini. Pola pendidikan dan pelatihan guru—pre-service maupun in service—mesti mengalami reformasi. Langkah-langkah inisiasi pendidikan karakter melalui penyusunan kurikulum eksplisit maupun modul tidak memberikan banyak harapan bila tidak didahului dengan membangun kompetensi guru sebagai pendidik karakter.

Kepada segenap elemen bangsa perlu dikumandangkan pesan Cicero, “Within the character of the citizen lies the welfare of the nation.” Di dalam karakter warga negara terletak kesejahteraan bangsa. Kepada setiap guru Indonesia mesti diyakinkan kesadaran, “You are a character educator!” Ya! Wahai, guru Indonesia, Anda adalah seorang pendidik karakter!

7 Apr 2012

Ayahku Seorang Pendidik

Tetangga depan rumah kami dulu punya empat orang anak: tiga perempuan dan satu laki-laki. Tidak seperti anak-anak sebayanya di desa kami, anak lelaki tetanggaku itu tak kenal pekerjaan anak desa. Dia tidak pernah terlihat memikul air dari umbul di seberang desa untuk memenuhi keperluan dapur. Memikul hasil bumi dari sawah atau ladang juga tak pernah dilakukan. “Nikmatnya” memikul pupuk kandang ke tanah garapan orang tuanya pun tak pernah dirasakan. Paling-paling, sesekali dia ikut teman-teman sebayanya beramai-ramai menggembala sapi di padang rumput.

4 Apr 2012

Bias dalam Sertifikasi Guru

Ketika mendengar kata "sertifikat", lazimnya orang mengasosiasikannya dengan "pengakuan". Sertifikat hak milik tanah, misalnya, dipahami sebagai pengakuan bahwa sebidang tanah sebagaimana disebut spesifikasinya adalah milik orang atau badan yang identitasnya tertera di dalam dokumen tersebut. Keterangan lokasi, ukuran, dan gambar situasi tanah yang tertera di sertifikat mesti sesuai dengan fakta yang terbukti di lapangan. Selisih sekecil apa pun antara data di sertifikat dan fakta di lapangan akan berbuntut panjang bila kelak terjadi sengketa menyangkut status tanah tersebut.

Populer