28 Apr 2012
Anak-Ibu-Ayah Berbagi Impian
20 Apr 2012
Diputus, ... Syukurin!
16 Apr 2012
Untung, Sempat Nyicil!
Ketika kecil dulu, aku sering dikudang oleh Simbok (panggilan untuk ibu dalam tradisi keluarga kami). Kudangan beliau tidak berbeda jauh dari impian kebanyakan masyarakat petani tradisional desa: mbesuk gedhe dadi dhokter.
Aku berani memastikan, kala itu Simbok tidak memikirkan konsekuensi yang harus ditanggung untuk mengantarkan anaknya mewujudkan kudangan tersebut. Seandainya sempat berpikir tentang hal itu, pasti beliau tidak bakal berani mengungkapkan kudangan sembrono begitu. Kelak aku pun sempat protes karena ternyata beliau tidak wani nggetih untuk mewujudkan kudangannya sendiri. Sebagai pelampiasan kekecewaan itu, kuabadikan cita-cita besar beliau dalam corak tulisan tanganku. Ya, tulisan tanganku mirip tulisan dokter di resep obat.
Baru setelah jadi orang (bukan anak-anak lagi, maksudku), aku memahami maksud kudangan Simbok, yang kini sudah berusia senja. Kudangan itu setidaknya berguna sebagai pelecut agar aku tumbuh bersama impian besar. Dan ... benar-benar gairahku terpantik oleh kekudangan itu. Anganku sering melambung tak terkendali.
Ada janji tersimpan rapi di balik khayalanku. Kalau sudah besar kelak, aku akan membahagiakan Simbok dan Bapak. Dengan berprofesi sebagai dokter, pasti tidak begitu sulit untuk memanjakan kedua orang tua. Apalagi, hanya kemanjaan ala orang-orang desa. Rumah berdinding gedek hadiah Simbah akan segera kusulap menjadi loji termegah di kampung kami, melebihi kemegahan rumah Pak Lurah. Mobil priyayi nyaris tanpa bunyi akan setia membawa Simbok dan Bapak ke pasar untuk membeli pakaian dan perhiasan paling cantik. Keesokan harinya, kendaraan yang tak terbeli oleh harga seluruh ternak milik para tetangga sekampung itu kembali mengantarkan mereka ke pesta pernikahan kerabat di kampung sebelah. Bapak dan Simbok akan segera pensiun sebagai petani gurem, yang setiap musim tanam tiba selalu tercekik utang benih segala macam tanaman dan pupuk yang ditawarkan secara paksa oleh rentenir berlabel KUD.
Imajinasiku tumbuh seliar itu bukan tanpa alasan. Rekam jejak hasil belajarku di sekolah kiranya cukup untuk bekal bermimpi jadi dokter. Kalau toh gagal jadi dokter seperti kudangan Simbok, aku layak untuk mengejar cita-citaku sendiri: insinyur. Itu juga profesi yang cukup potensial untuk membahagiakan orang tua kelak. Namun, selepas SMP aku mesti mengubur dalam-dalam mimpiku untuk memilih salah satu dari dua profesi itu. Sekolah yang dipilihkan untukku tidak memungkinkan mengantarku ke gerbang sekolah dokter ataupun insinyur. Akhirnya, aku pun harus mencari akal untuk mengabadikan cita-citaku. Singkatan gelar insinyur kuabadikan dalam tanda tanganku.
Kendati sudah kehilangan dua alternatif mimpi, aku tak patah arang. Masih menggebu hasratku untuk dapat membuat kedua orang tuaku tersenyum dengan baktiku kelak. Pokoknya, tiada rotan, akar pun jadi. Yang penting, aku harus mengurangi—kalau tidak bisa menghilangkan—kepayahan Simbok dan Bapak seperti yang bertahun-tahun kusaksikan.
***
Untung, janjiku itu hanya kusimpan di benakku sendiri. Tak seorang pun pernah mendengarnya, termasuk telingaku sendiri. Belum lagi lulus sekolah, aku sudah kecantol seorang bidadari (eh, bidadari itu orang atau bukan, ya?). Menghidupi diri sendiri saja belum cukup, aku nekat menantang tanggung jawab untuk memikul kebutuhan anak orang. Utang untuk biaya maskawin saja belum lunas, aku sudah keburu punya anak.
Alih-alih merenovasi rumah tinggal orang tua, untuk mengangsur ongkos kontrak rumah saja aku justru harus mengiris beberapa petak ladang mereka. Jangankan menyediakan "mobil dinas" untuk mereka, untuk membayar uang muka sepeda motor saja aku malah tak sungkan-sungkan menuntun anak sapi mereka ke pasar.
Ketika anakku berumur dua tahun lebih dua bulan, Bapak meninggal. Aku di-tilap-kan. Beliau sakit beberapa hari, aku tidak mendengar kabarnya. Beliau sudah membujur kaku tanpa napas, aku gagal dilacak. Sampai jasadnya dikubur rapat-rapat di perut bumi, aku belum nongol di antara kerumunan pelayat. Jauh di luar dugaan, sejumlah tetanggaku berhasil mengendus persembunyianku. Tak mau membuang-buang waktu, mereka membawaku meluncur ke rumah orang tuaku.
Sekitar empat jam kami menempuh perjalanan dari tempat persembunyianku ke kampung halamanku yang sudah 12 tahun kutinggalkan. Sampai di desa kelahiranku, aku melihat sebuah payung baru tertancap di tanah makam. "Itu pasti kuburan Bapak." Kucoba menyembunyikan air mata duka. Kutahan untuk tak ada isak tangis. Sampai di rumah, yang kudapati tinggal suasana lengang. Simbok, kelima saudaraku, ipar-iparku, keponakan-keponakan, serta beberapa paman dan bibiku menyambut kehadiranku yang terlampau terlambat.
Inikah kutukan yang pas untuk anak senista aku? Jangankan turut memandikan dan mengafani, untuk ikut menyalati jenazah Bapak saja aku tak kebagian kesempatan!
Ketika malam telah larut, ketika orang-orang yang kecapekan mulai terlelap tidur, ketika suara dengkuran mulai terdengar bersahut-sahutan, baru aku membiarkan air mataku meleleh keluar. Kucoba untuk berdoa. Kucoba melafalkan doa yang pernah diajarkan oleh guru-guruku.
"Wahai, Tuhan, ampunilah aku;
ampuni juga kedua orang tuaku;
sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangi aku ketika aku masih kecil."
Tiba-tiba bibirku mengatup rapat. Lidahku kelu. Bagaimana aku berani memohon agar Tuhan menyayangi kedua orang tuaku? Bukankah Dia sudah terlampau banyak mencurahkan kasih sayang-Nya kepada mereka? Bukankah Tuhan tak pernah menghentikan aliran rahmat-Nya seumur hidup mereka? Bukankah Tuhan tak pernah mencabut kembali kasih sayang-Nya yang pernah dilimpahkan kepada mereka?
Demi mendengar permohonanku, seolah-olah Tuhan menamparku dengan jawaban sarkastik, "Tidak malukah kau memintakan kasih sayang-Ku untuk kedua orang tuamu? Tidak tampakkah olehmu aliran kasih sayang-Ku kepada mereka yang tak pernah putus selama ini? Bukankah kau yang semestinya membalas kasih sayang mereka? Bukankah mereka mencurahkan kasih sayang kepadamu tidak sebatas ketika kau masih kecil? Bukankah kau terus menguras kasih sayang mereka hingga kau setua ini? Dan ... bukankah mereka tak pernah jenuh atau enggan untuk meneruskan kasih sayang-Ku kepadamu, wahai, hamba yang tolol?"
Duh, Gusti! Berhari-hari aku tak berani mengulang doa itu. Sampai akhirnya pujian seorang tetanggaku berhasil membesarkan hatiku.
"Memang tidak sia-sia didikan bapakmu dulu, Kang. Sudah bertahun-tahun menjadi orang kota, setiap pulang ke kampung kau masih tidak lupa ngangsu untuk mengisi gentong sampai penuh. Bapakmu benar-benar berhasil memupuk anak-anaknya," komentar tetanggaku itu ketika bertemu dengan aku, yang tengah memikul sepasang jerigen berisi air di jalan.
Sejak itu aku kembali berani berdoa, memintakan kasih sayang-Nya untuk kedua orang tuaku, terutama Bapak, yang sudah berpulang. Ya, semoga sisa-sisa memar di kedua pundakku bekas beban pikulan, kapal di kedua telapak tanganku bekas alu dan pukulan kedelai, serta bekas luka sayatan sabit yang bertaburan di punggung tanganku layak kupamerkan kepada Tuhan sebagai bukti cicilan baktiku kepada Bapak dan Simbok. Cicilan baktiku itu semoga cukup sebagai sumbu keberanianku untuk mengiba kepada-Nya.
Tak terbayangkan, seandainya semasa kecil dulu aku tidak "dipupuk" oleh Bapak dan Simbok dengan cara seperti itu, mungkin seumur hidup aku tak punya catatan cicilan bakti anak kepada orang tua.
Terima kasih, Pak. Matur nuwun, Mbok. Thank You, Allah, Engkau anugerahkan kepadaku sepasang orang tua tradisional, yang sanggup mendidik anak-anaknya secara bersahaja.
14 Apr 2012
Juara Sejati
- Dapatkah Anda menyebut nama-nama Miss Universe (ratu sejagad) lima tahun terakhir? Atau, para Putri Indonesia lima tahun terakhir?
- Mampukah Anda menyebut nama-nama aktor dan aktris pemenang Piala Oscar lima tahun terakhir? Atau, para peraih Piala Citra dalam FFI tahun terakhir saja?
- Sanggupkah Anda menyebut lima nama orang terkaya sejagad yang terakhir dirilis majalah Forbes? Atau, lima orang terkaya di Indonesia tahun terakhir?
12 Apr 2012
Tuhan Pangling
Matahari terbit dari
barat. Sinarnya terang berkilau, membuat semua mata merasa silau. Perlahan sang bagaskara
terus turun dari singgasananya. Jaraknya makin dekat ke bumi, anggota
keluarganya yang selama ini ditimang-timang dalam kehangatan dan kecerahan
cahayanya. Makin lama makin mendekat. Tinggal tersisa jeda sejengkal di atas
kepala orang berdiri.
Sengatan panasnya
membakar hangus segala benda, menembus segenap lapisan dinding pelindung makhluk semesta. Jalinan atmosfer
robek compang-camping kehilangan rupa. Rajutan ozon koyak menganga di
mana-mana. Seluruh mantel penghalang tak kuasa membendung radiasi sinar ultra
dan infra dari sang bola raksasa. Tiada yang tersisa. Benua es yang berjuta
tahun tidur nyenyak di dua kutub dunia mendadak cair. Lebur. Leleh. Luluh. Lantak.
Bumi berguncang
keras. Seluruh planet turut bergetar dahsyat. Resonansinya menimpa segenap
benda luar angkasa. Serentak berguguran. Rontok. Jagat raya memuntahkan segala
isi perutnya. Bongkah-bongkah bebatuan berhamburan keluar meninggalkan relung
persemayaman mereka. Satu, dua, tiga, …, berjuta bongkah menyembul bersamaan lalu meluncur kencang
dan terbang di udara. Gravitasi bumi menariknya kembali turun. Tak mau menunggu
giliran, rombongan batu-batu sebesar Gunung Semeru jatuh berbarengan. Pecah
segala yang ditimpa. Hancur segala yang diterjang.
Gunung-gunung
tercerabut dari akarnya.
Tingkahnya bak kapas tertiup angin lesus. Magma muncrat menjadi lava pijar.
Lava meleleh menjadi lahar. Disapu angin dan hujan, lahar hanyut lalu mengendap
di hulu sungai. Tak kuasa menampung guyuran air dari langit, sungai mengalirkan
endapan lahar ke hilir. Kelebihan volume muatan, hilir sungai muntah.
Marah. Adonan lahar diempaskan
ke sawah, ladang, kebun, dan rumah-rumah di perkampungan. Semua berubah seketika.
Gedung yang semula berdiri megah, rumah yang semula bertampang mewah, jembatan
yang semula membentang gagah, dalam sekejap musnah. Yang tersisa tinggal
puing-puing reruntuk simbol-simbol kepongahan makhluk serakah berbaur dengan
sampah.
Sudah terlalu lama
tanah warisan Adam dibiarkan tercemar. Tumpahan isi sungai tak sanggup diserap.
Sudah menjadi putusan hukum alam bahwa air tak bisa dilarang mengejar posisi
yang lebih rendah. Berbondong-bondong air merayap menyusuri lembah, ngarai, dan
jurang. Pantang menyerah hingga mencapai kolam raksasa penampungan akhir.
Merasa terjajah oleh
tamu asing, air samudra bergolak berontak. Tanpa komando, riak-riaknya berbaris
kompak membentuk gelombang raksasa. Ombak bergulung-gulung menghimpun segenap
energi, berarak melompati batas lautan. Segala yang dijumpai di daratan menjadi
sasaran amuknya. Penghuni daratan yang menjadi korban hajarannya menamainya
tsunami. Nama yang tak segarang murkanya.
Situasi makin
genting tak terkendali. Manusia kalang kabut mencari perlindungan. Bagai
anai-anai berhamburan keluar dari liangnya menyambut pagi setelah semalam
berselimut hujan. Kaum ibu yang tengah menyusui melemparkan bayi merah dari
timangannya. Yang sedang hamil menggugurkan paksa janin yang bersemayam
tenteram di rahimnya. Semua lari tunggang langgang. Kepanikan bersenyawa dengan
kelelahan. Langkah gontai. Tubuh sempoyongan bak pendekar mabuk akibat
overdosis ciu oplosan.
Anak-anak menjerit
bersahutan memanggil ayah atau ibunya. Para remaja berteriak-teriak memanggil
kekasihnya. Yang dewasa beradu lantang mengundang kerabatnya. Si tua bangka
meronta sumbang mengundang ahli warisnya. Rakyat jelata merintih mengiba
perlindungan penguasa. Panglima perang membentak-bentak para serdadu agar siaga
dengan senjata lengkap.
Para bendahara diperintah direkturnya untuk mencairkan honor paranormal yang
disewa untuk menolak bala yang melanda tiba-tiba.
Namun, semua upaya
sia-sia. Rupanya ini bukan sembarang bencana. Ini penghulu segala malapetaka.
Pamungkas kehancuran. The Ultimate Catastrophe. Qiyamat al-Kubra.
***
Kakek-kakek renta
bersimpuh putus asa. Tubuhnya yang rapuh dibiarkan teronggok sia-sia di antara
puing-puing bangunan segala rupa. Tangannya melambai lemas memanggil Sosok yang
berkelebat secepat kilat di depannya. Sosok Penuh Wibawa tapi cuek tanpa tegur
sapa.
“Tuhan, … tolong saya,” rintihnya
memelas.
“Tuhan, katamu?”
jawab Yang Dipanggil, ketus. “Memangnya kau ini siapa?”
“Lho, masa Tuhan
lupa dengan hamba-Nya?” si renta balik bertanya. Nadanya protes.
“Bukankah kau dulu
juga demen melupakan Tuhanmu, wahai, pencandu dunia? Ketika Nama-Ku
dipanggil-panggil oleh kekasih-Ku, kau tak cemburu. Sementara orang-orang di
sekitarmu bergegas menemui Aku, kau masih saja larut dalam kesibukanmu
menghimpun dinar, dolar, ringgit, dan rupiah pujaanmu. Kali lain, Nama-Ku
dipanggil-panggil lagi, kau tak acuh dan terus menikmati keasyikanmu bersenda
gurau dengan para kolega dan kroni bisnismu. Padahal sahabat-sahabatmu yang
lain berebut menempati barisan depan untuk bercengkerama dengan Aku. Pada saat
lain lagi, Nama-Ku kembali dikumandangkan, kau bergeming di peraduanmu.
Kaulanjutkan tidur pulasmu pasca kaupuaskan nafsu birahimu bersama pasangan
gelapmu. Sedangkan para tetangga sebelah vila persembunyianmu segera bangkit,
berdandan rapi, dan berebut mencumbui Aku. Masih pantaskah hari gini kau
merasa layak untuk mengaku
sebagai hamba-Ku?”
***
Di petak yang lain,
seorang wanita paruh baya duduk terpuruk lesu sambil tak henti-henti meronta.
Tampaknya ia menangis menyesali kehancuran menara sukses bisnisnya yang nyaris
menyundul langit.
“Tuhan, … Tuhan!” teriaknya,
memanggil Sosok Agung yang melintas di sebelahnya.
“Apa? Kau memanggil
tuhanmu? Bukankah tuhanmu sudah luluh lantak bersama sirnanya keangkuhanmu?”
“Lhoh, bukankah
Engkaulah Tuhan itu?”
“Sejak kapan kau
mengenal Aku sebagai Tuhanmu, wahai, pemuja harta?”
“Masa, Tuhan tidak mengenaliku?
Atau, Tuhan lupa padaku? Padahal setiap tahun aku menyisihkan laba bisnisku
untuk biaya perjalanan ziarah ke rumah-Mu, lho, Tuhan.”
“Ya, ya, ya …. Tapi,
kau tak acuh ketika Aku sakit. Bahkan, ketika Aku hampir mati kelaparan, kau
pun abai tak peduli.”
“Ah, Tuhan bisa
saja. Masa,
Tuhan sakit, malah hampir mati kelaparan lagi?”
“Begitulah. Gelimang
harta menyilaukan penglihatanmu. Jadi, kau tak peka melihat kehadiran-Ku. Yang
kauziarahi setiap tahun itu hanya simbol rumah-Ku. Sedangkan Aku selalu hadir menyelinap di balik raga hamba-Ku yang papa. Nah,
ingatlah. Berapa orang pegawai perusahaanmu jatuh sakit setiap tahun? Berapa
orang di antara mereka yang harus tercekik hutang untuk melunasi ongkos rumah
sakit? Bahkan, berapa yang merelakan seluruh hartanya ludes terjual untuk
menebus biaya pengobatan? Tega-teganya kau setiap tahun melawat ke negeri
seberang yang kaupuja-puja sebagai Tanah Suci, sementara mereka mengerang
kesakitan raga dan ragad? Bukankah pundi-pundi bisnismu itu kaukumpulkan
dengan memeras keringat mereka?”
“O, … maafkan hamba atas
kelalaian itu, Tuhan. Please, … deh. Lalu kapan Tuhan menderita kelaparan?”
“Lagi-lagi
penglihatanmu tertutup tumpukan harta yang menjelma jadi tuhanmu. Sejumlah
tetanggamu meregang nyawa menahan lapar. Makan sekali mereka gunakan untuk
hidup tiga atau empat hari. Sementara, kau sehari tiga atau empat kali keluar masuk
resto atau kafe
bintang lima demi menjamu rekan-rekan bisnismu yang tak bakal kelaparan tanpa
kautraktir. Seumur hidup kau cuek terhadap Aku. Lalu, hari gini kau
merasa layak memanggil Aku Tuhan?”
***
Di salah satu sudut
bekas kota metropolitan, berdiri termangu seorang pensiunan guru. Batinnya
menggerutu. Dia mencoba menghitung-hitung jasanya selama 40 tahun mengabdi di
beberapa sekolah. Dia mulai menyebut nama murid-muridnya yang sudah sukses
menjadi orang. Ada yang menjadi pejabat di pemerintahan. Ada yang menjadi
aparat hukum terkenal. Ada yang menjadi pengusaha kaya raya. Yang menjadi
politisi beken juga ada. Artis kesohor pun ada.
Dia berharap deretan
nama-nama besar itu bisa menjadi penolongnya pada hari yang penuh kepayahan
ini. Dia yakin profesinya yang mulia sebagai pendidik generasi penerus dan
pewaris bangsa itu bisa menjadi payung yang menaunginya dari azab pedih pada
hari nahas
ini. Maka, begitu melihat kelebat Sosok Sempurna, dia pun tak sungkan
memanggil-Nya. Panggilannya santun, khas intonasi guru.
Seperti yang
sudah-sudah, Tuhan tampak tidak berkenan dengan panggilannya.
“Tidak sadarkah kau
bahwa selama 40 tahun menjadi guru, kautelantarkan Aku ketika Aku menjelma
sebagai murid-muridmu yang kauanggap bodoh? Kaubangga-banggakan segelintir
bekas muridmu yang menuai sukses di hari kelak. Sementara, terhadap ratusan
bahkan ribuan muridmu yang mengidap DPR (daya pemahaman rendah), kau tak ambil
peran. Kau justru bangga dengan hobimu memberikan rapor merah kepada mereka.
Kau merasa puas ketika pada akhir tahun bisa mempermalukan mereka dengan vonis tinggal
kelas. Bagaimana kau tak malu untuk menyebut Aku sebagai Tuhanmu pada hari gini?”
Astagfirullah ….
Tabik.
10 Apr 2012
MP3 atau MP4?
9 Apr 2012
Malu kepada Penjaja Mendoan
Mendoan adalah sejenis tempe yang amat tipis. Di “negara” asalnya, mendoan memang didesain tipis sejak dari awal pencetakannya. Setelah dikupas kemasannya yang terdiri atas dua lapis, daun pisang di lapisan dalam dan daun jati di lapisan luar, tempe mendoan mesti diangkat secara hati-hati. Kalau tidak, ia akan mudah patah karena ketipisannya. Dilumuri adonan tepung terigu berbumbu lalu digoreng, mendoan menjadi camilan lezat untuk ukuran masyarakat sekelas saya.
8 Apr 2012
Berguru kepada Abang Becak
Teman yang satu ini sungguh beruntung. Ia punya seorang
ayah. Satu-satunya ayah yang dimilikinya itu bekerja sebagai pengemudi becak.
Beliau dan teman-teman seprofesi boleh iri. Pengemudi kapal terbang ada namanya: pilot. Pengemudi kapal laut punya sebutan khusus: nakhoda. Pengemudi kereta api punya julukan: masinis (sekalipun berkelamin perempuan, ia tidak dijuluki mbaksinis). Pengemudi mobil—segala jenis mobil—disebut sopir. Pengemudi dokar, andong, atau delman punya nama: kusir atau sais.
Quo Vadis Pendidikan Karakter?
To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society. Pesan ini disampaikan oleh mendiang Theodore Roosevelt, presiden ke-26 Amerika Serikat. Secara lebih sinis, pada kesempatan lain presiden termuda yang pernah dimiliki negeri Paman Sam itu menyindir, “A man who has never gone to school may steal from a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.”
Akhir-akhir ini isu pendidikan karakter mencuat sebagai topik perbincangan yang ramai menghiasi halaman media massa. Berbagai kalangan—pejabat eksekutif, politisi, pakar dan pengamat pendidikan—seolah-olah berpacu unjuk keprihatinan. Semua seperti sudah sepakat bahwa segala bentuk keterpurukan yang melanda bangsa ini merupakan akibat kegagalan sistem pendidikan kita di dalam membangun karakter bangsa.
Di negeri kita tidak sulit untuk menemukan bukti kebenaran tesis Roosevelt tersebut. Hampir dapat dipastikan bahwa pelaku kejahatan di jalan raya yang dijuluki “bajing loncat” adalah orang-orang yang berijazah pendidikan rendah atau sama sekali tidak mengantongi ijazah. Sebaliknya, mayoritas pesakitan dalam kasus tindak pidana korupsi—dari kelas teri hingga kakap—menyandang gelar akademik di depan atau belakang nama mereka.
Pendidikan Moral
Kegagalan sistem pendidikan kita di dalam mengemban misi character building adalah simpulan yang tak terbantahkan. Namun, perlu dirunut faktor pencetus kegagalan itu. Apakah pendidikan karakter sudah dijalankan tetapi gagal mencapai tujuan? Apakah ia hanya hadir di dalam cetak biru pendidikan tetapi gagal dijalankan sebagaimana mestinya? Ataukah grand design sistem pendidikan nasional kita memang tidak pernah menyediakan ruang bagi pendidikan karakter?
Sepanjang sejarah pendidikan nasional yang penulis alami atau ketahui, muatan pendidikan moral tidak pernah absen dari kurikulum pendidikan formal. Mata pelajaran Pendidikan Agama selalu hadir di dalam struktur kurikulum, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Demikian juga Pendidikan Kewarganegaraan, yang sempat mengalami beberapa kali perubahan nama. Pada era 1980-an, selain dua mata pelajaran tersebut, bahkan juga ada Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.
Belum lagi penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang pada masa Orde Baru menjadi menu wajib bagi siswa dan mahasiswa baru. Di depan hampir semua sekolah terpampang papan nama Gugus Depan Pramuka dan pada hari tertentu seluruh siswanya mengenakan pakaian seragam cokelat-cokelat. Bukankah Pramuka memiliki Dwi Darma dan Dasa Darma, yang berisi rumusan misi hidup sebagai acuan karakter para anggotanya?
Menilik fakta tersebut, secara ‘ilmul-yaqīn kita tidak bisa memungkiri bahwa grand design pendidikan nasional kita dari waktu ke waktu selalu sarat dengan misi pendidikan moral. Pertanyaannya adalah mengapa semua wahana pendidikan karakter itu tidak meninggalkan jejak pada output yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah kita? Ada apa dengan praktik pendidikan kita?
Dalam perkembangan mutakhir sistem pendidikan nasional, kita mengenal kurikulum berbasis kompetensi. Dengan kurikulum ini, titik berat standar nasional bukan lagi pada materi pelajaran yang harus dikuasai, melainkan pada kompetensi atau kecakapan yang mesti dicapai oleh peserta didik. Bagaimana pendidikan karakter diamanatkan oleh kurikulum yang kini sedang diterapkan? Tabel berikut menyajikan daftar kompetensi yang bermuatan pendidikan karakter untuk kelas I semester 1 sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah.
Cuplikan Standar Isi yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tersebut menggambarkan betapa kurikulum sekolah sebenarnya sarat dengan misi pendidikan karakter. Amanat untuk membangun watak itu tersebar hampir di semua mata pelajaran. Seandainya proses pendidikan benar-benar berjalan di atas rel kurikulum, betapa prima karakter anak bangsa ini?!
Untuk mengevaluasi apakah standar kompetensi tersebut dijadikan acuan di dalam praktik pendidikan, kita bisa mengamati proses pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Ketika mengajarkan perilaku jujur, misalnya, apakah guru mengajak anak-anak untuk mendiskusikan alasan mengapa kita perlu berperilaku jujur? Apakah anak-anak diberi kesempatan untuk menceritakan pengalamannya ketika berperilaku tidak jujur atau ketika menerima perlakuan tidak jujur dari orang lain? Apakah ibu/bapak guru juga menyediakan anekdot atau lembar pengamatan untuk merekam perkembangan kejujuran anak-anak, yang dapat diisi oleh gurunya sendiri, teman sekelas, orang tua, atau teman sepermainan di lingkungan rumahnya?
Ataukah anak-anak hanya dipaksa untuk menghafal bahan pelajaran yang tertulis di buku-buku teks pelajaran, yang setiap pagi dan siang memaksa punggung mereka terbungkuk-bungkuk membawanya ke dan dari sekolah? Materi hafalan itu biasanya mencakup seputar pengertian jujur, contoh-contoh perilaku jujur, manfaat dari perilaku jujur, akibat dari ketidakjujuran, dan sekelumit cerita rekaan tentang seorang anak yang berperilaku jujur.
Jika proses pembelajaran sudah berjalan seperti ilustrasi pertama tetapi gagal membangun karakter jujur pada siswa, patut dicurigai andil komponen pendidikan di luar sekolah terhadap kegagalan tersebut. Namun, bila potret pembelajaran di sekolah tercermin pada ilustrasi kedua di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter gagal membumi di tataran praksis kurikulum.
Kompetensi Guru
Secara tekstual, kurikulum sekolah sudah mendeskripsikan impian pendidikan karakter. Secara lebih gagah mimpi itu juga dapat dibaca pada rumusan visi dan misi tiap-tiap satuan pendidikan. Bila ternyata mimpi-mimpi indah itu hanya mengawang-awang di langit, evaluasi terhadap kompetensi guru menjadi sebuah keniscayaan. Kurikulum, meski sudah dirancang berbasis kompetensi, tidak akan menuai kompetensi siswa seperti yang diimpikan jika tidak dioperasikan oleh guru-guru kompeten.
Meningkatkan kompetensi guru menjadi tanggung jawab bersama. Pemerintah, lembaga penyelenggara pendidikan guru, dan berbagai lembaga nonpemerintah yang dibentuk untuk menggerakkan sumberdaya pendidikan memikul tanggung jawab ini. Pola pendidikan dan pelatihan guru—pre-service maupun in service—mesti mengalami reformasi. Langkah-langkah inisiasi pendidikan karakter melalui penyusunan kurikulum eksplisit maupun modul tidak memberikan banyak harapan bila tidak didahului dengan membangun kompetensi guru sebagai pendidik karakter.
Kepada segenap elemen bangsa perlu dikumandangkan pesan Cicero, “Within the character of the citizen lies the welfare of the nation.” Di dalam karakter warga negara terletak kesejahteraan bangsa. Kepada setiap guru Indonesia mesti diyakinkan kesadaran, “You are a character educator!” Ya! Wahai, guru Indonesia, Anda adalah seorang pendidik karakter!
7 Apr 2012
Ayahku Seorang Pendidik
Tetangga depan rumah kami dulu punya empat orang anak: tiga perempuan dan satu laki-laki. Tidak seperti anak-anak sebayanya di desa kami, anak lelaki tetanggaku itu tak kenal pekerjaan anak desa. Dia tidak pernah terlihat memikul air dari umbul di seberang desa untuk memenuhi keperluan dapur. Memikul hasil bumi dari sawah atau ladang juga tak pernah dilakukan. “Nikmatnya” memikul pupuk kandang ke tanah garapan orang tuanya pun tak pernah dirasakan. Paling-paling, sesekali dia ikut teman-teman sebayanya beramai-ramai menggembala sapi di padang rumput.
4 Apr 2012
Bias dalam Sertifikasi Guru
Ketika mendengar kata "sertifikat", lazimnya orang mengasosiasikannya dengan "pengakuan". Sertifikat hak milik tanah, misalnya, dipahami sebagai pengakuan bahwa sebidang tanah sebagaimana disebut spesifikasinya adalah milik orang atau badan yang identitasnya tertera di dalam dokumen tersebut. Keterangan lokasi, ukuran, dan gambar situasi tanah yang tertera di sertifikat mesti sesuai dengan fakta yang terbukti di lapangan. Selisih sekecil apa pun antara data di sertifikat dan fakta di lapangan akan berbuntut panjang bila kelak terjadi sengketa menyangkut status tanah tersebut.
Populer
-
Sumber gambar: kompas.com Usai menumpang salat Zuhur, saya mampir ke ruang kelas 2. Seorang anak laki-laki sedang mengambil nasi dan sayur u...
-
Tulisan ini disadur dari 11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010) Apa pendidika...
-
Fathir dan Cemara “Kamu sudah wudu, belum?” tanya Fathir kepada temannya yang baru usai buang air kecil. “Setelah pipis, wudu dulu,” lanjutn...
-
Senin, 8 April 2024. Hari kedua terakhir puasa. Sidang isbat memang belum digelar. Namun, saya sudah memastikan diri untuk berlebaran pada R...
-
Fillio berpose di gerbang Sekolah usai berlari dari rumahnya pada liburan akhir tahun ajaran "23 Juli 2024: sebelum jam 6, Fillio dan m...