31 Des 2024

Ingatan Mantan

Ki-ka: Asih, Partini, Gw, Sekti, Sri

"Neng Semarang apa Praci, Kang?"  tanya Sri melalui telepon.

"Praci," jawab saya singkat.

"Sip. Iki kanca-kanca arep nggoleki Harni. Engko tak bablas neng Praci."

"O, neng mBendungan? Karo sapa wae?"

"Asih, Partini, karo Mbak Anik."

Deg satu! Bukankah Mbak Anik (Anik Winarti) sudah meninggal beberapa tahun silam? Oh, pasti ini Anik yang satunya: Sekti Sumarni. Panggilannya memang Anik.

Deg dua! Istri saya telanjur mengundang juru pijat. Janjinya, Mbak Veni (mungkin ejaan namanya salah) akan datang pukul 11. Sri bertelepon sekitar pukul 11.10. Istri saya gundah. Jangan-jangan, salah satu dari empat calon tamunya itu mantan anu suaminya. Atau, malah empat-empatnya mantan.

Bukan! Bukan itu. Istri saya bingung mesti berbuat apa. Di rumah (rumah suwung sejak Simbok mau diboyong ke rumah Mbakyu ketiga sekitar 4 tahun yang lalu) hanya ada dua botol besar air putih. Ups, masih ada segelas teh dan setengah gelas kopi. Juga ada sepiring nasi dan seperangkat lauk-pauk. Semua itu paket sarapan kiriman Mbakyu pembarap.

Istri saya sedang malas. Kompor dibiarkan terbungkus plastik hitam (fungsi aslinya, kantong sampah) dan teronggok di sentong. Sejak Lebaran yang lalu, kompor itu tidak pernah keluar dari persemayamannya. Saya, yang 1—2 hari dalam 1 atau 2 bulan tetirah di rumah suwung itu, juga tidak pernah membuka sarung kompor. Gara-gara mbakyu-mbakyu saya terlalu bernafsu untuk memanjakan adik ragilnya.

Tepat ketika si Sri mengakhiri percakapan via telepon, Mbak Veni datang. Istri saya makin panik. Saya ambil keputusan darurat: biar para mantan diterima di rumah Mbakyu ketiga saja. Ada dua kepentingan. Pertama, di rumah Mbakyu ada banyak orang. Setidaknya, ada yang bisa nggodhog wedang. Kedua, para mantan punya waktu untuk menunda pingsan. Bila datang langsung ketemu istri saya, mereka saya khawatirkan tidak kuat melihat aura kecantikan bidadari pesaing mereka itu.

Saya segera berkabar kepada dua keponakan, "Kancaku SPG (cèwèk 4) arêp réné. Êngko mèn njujug kulon (rumah Mbakyu—Gw) waé, ya? Ki mau otw sêka Nogiri, mèh nggolèki kanca nèng Wuryantoro sik."

Ponsel saya berbunyi, "Tit-tit." Itu notifikasi 10 menit menjelang waktu zuhur. Saya berkemas seperlunya, lalu berangkat ke masjid. 

"Desamu jenenge apa, Kang? Iki wis tekan Eromoko," kabar si Sri, berbarengan ketika muazin mengumandangkan ikamah.

"Engko tak-share loc. Iki jik neng mesjid," sahut saya.

Eromoko itu kecamatan di antara Wuryantoro (Harni) dan Pracimantoro (saya). Jaraknya ke kampung halaman saya sekitar 15 kilometer.

Pulang dari masjid, saya mampir ke rumah Mbakyu ketiga. Kepada Mbakyu saya kabarkan posisi calon tetamu. Saya juga mengirimkan peta lokasi rumah Mbakyu ke ponsel si Sri. Lalu saya pulang—kembali ke vila suwung, maksudnya. Tidak lama. Saya hanya butuh ganti kostum, lalu pamit kembali ke rumah Mbakyu. Kebelet ketemu pasukan mantan? Bukan! Sama sekali tidak. Saya hanya tidak kuat berlama-lama melihat istri saya tanpa bisa berbuat apa-apa. Tahu, kan, bagaimana posisi orang ketika diurut?

Motor saya tinggal. Biar nanti dipakai istri saya, usai pijit, menyusul ke rumah Mbakyu. Saya cukup jalan kaki saja.

Pas. Kami tiba bersamaan. Belasan meter lagi saya sampai di rumah Mbakyu. Sebuah mobil menepi ke kanan jalan depan rumah Mbakyu. Saya yakin, itu Asih. Saya tidak hafal nomor polisi dan merek mobilnya. Saya cuma hafal bau keringat pemiliknya (padahal, sudah 15 tahun hidung saya tidak bisa menghidu). Saya berikan isyarat agar belok ke kanan, masuk ke halaman rumah Mbakyu. Namun, mobil telanjur terlewat. Akhirnya Asih membelokkan mobilnya ke gang sebelah timur rumah Mbakyu. Ateret.

Mumpung istri saya belum datang, kami berfoto. Empat mantan mengapit saya. Dua di kiri, dua di kanan. Mereka melaporkan kegagalannya untuk menemukan Harni. Mereka mencari mantan pesaing itu di Genukharjo, dusun sebelah utara Bendungan (kampung Harni). 

"O, desane Harni sebelahe. Bendungan. Tapi, neng ndesane, celukane Harni ke Endang," sela saya.

Ups, ternyata salah seorang yang ditanyai sempat memastikan: Harni atau Endang Suharni. Yang mencari keukeuh: (Su)Harni. Tanpa "Endang".

Duh! Padahal, di kelas 3 dulu, Asih, Sri, dan Partini—seperti halnya saya—sekelas dengan Harni. Dalam obrolan sehari-hari, Harni sering menyebut dirinya Endang. Nama resminya memang hanya Suharni. Tapi, konon di tanah tumpah darahnya dia lebih masyhur sebagai Endang. Entah bagaimana sejarahnya. Yang jelas, julukan "Endang" itu masih lekat di ingatan saya. Sebaliknya, nama beken Harni itu sama sekali tidak nyanthol di memori ketiga pesaing yang memburunya itu.

Begitulah memang, barangkali, fitrahnya: ingatan tiga orang kompetitor tidak se-momot dan seteguh ingatan seorang mantan.

"Ya wis, engko balike nggoleki meneh," tekad mereka.

Jam 1 lebih, istri saya datang menyusul. Bercakap sebentar, lalu empat mantan berpamitan. Benar, kan, mereka tidak tahan berlama-lama? Apalagi, istri saya habis dipermak juru spa. Pasti auranya makin bikin keder pesaing yang dikalahkannya.

Usai "petik anggur" (dianggurake, tanpa suguhan) di rumah Mbakyu, rombongan putri 0,5% domas (domas = 800) melanjutkan pelesiran ke Bukit Dewa Dewi. Itu perbukitan batu kapur yang disulap jadi kebun alpukat dan didesain sebagai taman rekreasi. Alpukatnya belum berbuah, tetapi tiap hari sudah banyak pengunjung berdatangan. Ada yang datang pagi-pagi untuk menikmati sensasi matahari terbit. Ada yang datang petang untuk menyaksikan matahari terbenam. Ada yang datang malam-malam, mungkin hendak berburu kuntilanak atau genderuwo.

Dari dusun saya, Bukit Dewa Dewi hanya berjarak sekitar 3 kilometer ke timur. Namun, saya malah belum pernah menginjakkan kaki di sana. Kata saudara dan tetangga saya yang punya lapak bakso bakar di sana, sampai hari ini destinasi wisata itu masih dibuka secara cuma-cuma. Pengunjung, kalau membawa kendaraan, hanya perlu membayar retribusi parkir. Saya, sebagai orang kota, tidak tega berwisata ke tempat gratisan begitu.

Entah, setelah dari Bukit Dewa Dewi mereka hendak melancong ke mana lagi. Yang jelas, mereka masih menyimpan dendam untuk meremedi pencarian seorang mantan: Harni. Dua password sudah mereka kantongi: Endang Suharni dan Bendungan.

Menjelang magrib, si Sri melakukan panggilan video ke ponsel saya. Harni muncul di layar ponsel saya. Alhamdulillah. Mereka berhasil menemukan persembunyian Harni. Ternyata kedatangan mereka ke dusun saya hanya untuk mengambil password itu. Tiwas geer: saya mengira mereka kangen mantannya.

Tidak terbayang betapa girangnya mereka. Sudah 35 tahun mereka berpisah. Hiruk pikuk media sosial belum berhasil mengundang Harni keluar dari sarangnya.

"Endang" Suharni (tengah, gamis hitam) bersama para mantan

Tiga hari sesudahnya, Ahad (29/12) teman-teman berkumpul di rumah Asih. Itu pertemuan berkala. Penggiat dan pegiatnya teman-teman yang tinggal di Wonogiri dan sekitarnya.

Ketika bertemu di Praci, Kamis (26/12) siang itu, Asih mengabarkan rencana anjangsana di rumahnya itu. Entah, saya senang atau gela mendengar kabar itu. Pantas bagi saya untuk merasa senang demi menjadi saksi kesetiaan teman-teman merawat silaturahmi. Sekaligus saya gela: dua kali tidak bisa ikut kumpul mantan yang berlangsung pas saya mudik.

Dua bulan yang lalu pertemuan serupa juga diselenggarakan ketika saya mudik. Satu hari sebelumnya, saya berkegiatan di Wonogiri. Dari pagi hingga tengah malam. Demi bertemu Simbok, usai acara saya meluncur ke Praci. Sampai di rumah Mbakyu pukul 01.15. Tidak tega mengusik kelelapan tidur, saya pilih merebahkan tubuh di lincak di teras. Sepulang subuhan, baru saya ketemu Simbok. Berat rasanya kalau kurang dari 6 jam kemudian saya harus pamit. Lebih baik saya sendiri yang gela daripada membuat Simbok gela. 

"Konflik" serupa terulang. Kali ini acara kumpul mantan berlangsung ketika saya sudah puas "ngempeng", sebenarnya. Cuma, kami harus melanjutkan silaturahmi dengan keluarga istri di Klaten. Mumpung istri bisa ikut mudik. Kami jadwalkan, Sabtu pindah ke Klaten dan Ahad kembali ke Semarang. Persinggahan di Klaten terpencar di empat kecamatan. Satu hari satu malam terasa sangat mepet. Dilalah kali ini ada dua kondisi yang mengharuskan kami bolak-balik dari dan ke tiga keluarga. Sampai-sampai salah satu keluarga urung kami jangkau.

Beruntung, saya tidak mengagendakan hadir di pertemuan para mantan di rumah Asih itu. Andai ya, pasti gela saya jadi berlipat ganda.

Begitu melihat Harni muncul pada foto pertemuan di rumah Asih, saya lega. Kehadiran Harni serasa menjadi penawar gela saya lantaran gagal maNING bergabung dalam pertemuan itu.

Salut untuk Asih, Partini, Sekti, dan Sri, yang gigih—sampai rela meremedi—mencari sahabat karib (sekaligus musuh bebuyutan) lama mereka. Salut untuk segenap mantan yang ulet dan telaten nglumpukake balung pisah setelah sekian lama tercerai berai. Apresiasi untuk para pereka cipta teknologi yang mampu mempertemukan para mantan, yang tidak pernah terbayang sebelumnya.

Terima kasih kepada Bu Aci (ibunda Nadia) dan kawan-kawan, yang 8 tahun silam memaksa saya memegang telepon pintar. Tanpa paksaan mereka, mungkin sampai hari ini saya masih nyaman dengan ponsel jadul yang hanya menyediakan fitur panggilan suara dan layanan pesan singkat (SMS). Saya kembali terhubung dengan mantan-mantan juga setelah dipaksa memegang ponsel berbasis Android itu.

Salut, apresiasi, dan terima kasih untuk semua yang menjadi lantaran terjalinnya silaturahmi para mantan. Last but not least, syukur sepenuh tasbih dan tahmid kepada Sang Khalik atas kesempatan untuk melintasi aneka zaman.


Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer