8 Apr 2012

Quo Vadis Pendidikan Karakter?

To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society. Pesan ini disampaikan oleh mendiang Theodore Roosevelt, presiden ke-26 Amerika Serikat. Secara lebih sinis, pada kesempatan lain presiden termuda yang pernah dimiliki negeri Paman Sam itu menyindir, A man who has never gone to school may steal from a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.” 

Akhir-akhir ini isu pendidikan karakter mencuat sebagai topik perbincangan yang ramai menghiasi halaman media massa. Berbagai kalangan—pejabat eksekutif, politisi, pakar dan pengamat pendidikan—seolah-olah berpacu unjuk keprihatinan. Semua seperti sudah sepakat bahwa segala bentuk keterpurukan yang melanda bangsa ini merupakan akibat kegagalan sistem pendidikan kita di dalam membangun karakter bangsa.

Di negeri kita tidak sulit untuk menemukan bukti kebenaran tesis Roosevelt tersebut. Hampir dapat dipastikan bahwa pelaku kejahatan di jalan raya yang dijuluki “bajing loncat” adalah orang-orang yang berijazah pendidikan rendah atau sama sekali tidak mengantongi ijazah. Sebaliknya, mayoritas pesakitan dalam kasus tindak pidana korupsi—dari kelas teri hingga kakap—menyandang  gelar akademik di depan atau belakang nama mereka.

Pendidikan Moral

Kegagalan sistem pendidikan kita di dalam mengemban misi character building adalah simpulan yang tak terbantahkan. Namun, perlu dirunut faktor pencetus kegagalan itu. Apakah pendidikan karakter sudah dijalankan tetapi gagal mencapai tujuan? Apakah ia hanya hadir di dalam cetak biru pendidikan tetapi gagal dijalankan sebagaimana mestinya? Ataukah grand design sistem pendidikan nasional kita memang tidak pernah menyediakan ruang bagi pendidikan karakter?

Sepanjang sejarah pendidikan nasional yang penulis alami atau ketahui, muatan pendidikan moral tidak pernah absen dari kurikulum pendidikan formal. Mata pelajaran Pendidikan Agama selalu hadir di dalam struktur kurikulum, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Demikian juga Pendidikan Kewarganegaraan, yang sempat mengalami beberapa kali perubahan nama. Pada era 1980-an, selain dua mata pelajaran tersebut, bahkan juga ada Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.

Belum lagi penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang pada masa Orde Baru menjadi menu wajib bagi siswa dan mahasiswa baru. Di depan hampir semua sekolah terpampang papan nama Gugus Depan Pramuka dan pada hari tertentu seluruh siswanya mengenakan pakaian seragam cokelat-cokelat. Bukankah Pramuka memiliki Dwi Darma dan Dasa Darma, yang berisi rumusan misi hidup sebagai acuan karakter para anggotanya?

Menilik fakta tersebut, secara ‘ilmul-yaqīn kita tidak bisa memungkiri bahwa grand design pendidikan nasional kita dari waktu ke waktu selalu sarat dengan misi pendidikan moral. Pertanyaannya adalah mengapa semua wahana pendidikan karakter itu tidak meninggalkan jejak pada output yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah kita? Ada apa dengan praktik pendidikan kita?

Dalam perkembangan mutakhir sistem pendidikan nasional, kita mengenal kurikulum berbasis kompetensi. Dengan kurikulum ini, titik berat standar nasional bukan lagi pada materi pelajaran yang harus dikuasai, melainkan pada kompetensi atau kecakapan yang mesti dicapai oleh peserta didik. Bagaimana pendidikan karakter diamanatkan oleh kurikulum yang kini sedang diterapkan? Tabel berikut menyajikan daftar kompetensi yang bermuatan pendidikan karakter untuk kelas I semester 1 sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah.

Cuplikan Standar Isi yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tersebut menggambarkan betapa kurikulum sekolah sebenarnya sarat dengan misi pendidikan karakter. Amanat untuk membangun watak itu tersebar hampir di semua mata pelajaran. Seandainya proses pendidikan benar-benar berjalan di atas rel kurikulum, betapa prima karakter anak bangsa ini?!

Untuk mengevaluasi apakah standar kompetensi tersebut dijadikan acuan di dalam praktik pendidikan, kita bisa mengamati proses pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Ketika mengajarkan perilaku jujur, misalnya, apakah guru mengajak anak-anak untuk mendiskusikan alasan mengapa kita perlu berperilaku jujur? Apakah anak-anak diberi kesempatan untuk menceritakan pengalamannya ketika berperilaku tidak jujur atau ketika menerima perlakuan tidak jujur dari orang lain? Apakah ibu/bapak guru juga menyediakan anekdot atau lembar pengamatan untuk merekam perkembangan kejujuran anak-anak, yang dapat diisi oleh gurunya sendiri, teman sekelas, orang tua, atau teman sepermainan di lingkungan rumahnya?

Ataukah anak-anak hanya dipaksa untuk menghafal bahan pelajaran yang tertulis di buku-buku teks pelajaran, yang setiap pagi dan siang memaksa punggung mereka terbungkuk-bungkuk membawanya ke dan dari sekolah? Materi hafalan itu biasanya mencakup seputar pengertian jujur, contoh-contoh perilaku jujur, manfaat dari perilaku jujur, akibat dari ketidakjujuran, dan sekelumit cerita rekaan tentang seorang anak yang berperilaku jujur.

Jika proses pembelajaran sudah berjalan seperti ilustrasi pertama tetapi gagal membangun karakter jujur pada siswa, patut dicurigai andil komponen pendidikan di luar sekolah terhadap kegagalan tersebut. Namun, bila potret pembelajaran di sekolah tercermin pada ilustrasi kedua di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter gagal membumi di tataran praksis kurikulum.

Kompetensi Guru

Secara tekstual, kurikulum sekolah sudah mendeskripsikan impian pendidikan karakter. Secara lebih gagah mimpi itu juga dapat dibaca pada rumusan visi dan misi tiap-tiap satuan pendidikan. Bila ternyata mimpi-mimpi indah itu hanya mengawang-awang di langit, evaluasi terhadap kompetensi guru menjadi sebuah keniscayaan. Kurikulum, meski sudah dirancang berbasis kompetensi, tidak akan menuai kompetensi siswa seperti yang diimpikan jika tidak dioperasikan oleh guru-guru kompeten.

Meningkatkan kompetensi guru menjadi tanggung jawab bersama. Pemerintah, lembaga penyelenggara pendidikan guru, dan berbagai lembaga nonpemerintah yang dibentuk untuk menggerakkan sumberdaya pendidikan memikul tanggung jawab ini. Pola pendidikan dan pelatihan guru—pre-service maupun in service—mesti mengalami reformasi. Langkah-langkah inisiasi pendidikan karakter melalui penyusunan kurikulum eksplisit maupun modul tidak memberikan banyak harapan bila tidak didahului dengan membangun kompetensi guru sebagai pendidik karakter.

Kepada segenap elemen bangsa perlu dikumandangkan pesan Cicero, “Within the character of the citizen lies the welfare of the nation.” Di dalam karakter warga negara terletak kesejahteraan bangsa. Kepada setiap guru Indonesia mesti diyakinkan kesadaran, “You are a character educator!” Ya! Wahai, guru Indonesia, Anda adalah seorang pendidik karakter!

7 Apr 2012

Ayahku Seorang Pendidik

Tetangga depan rumah kami dulu punya empat orang anak: tiga perempuan dan satu laki-laki. Tidak seperti anak-anak sebayanya di desa kami, anak lelaki tetanggaku itu tak kenal pekerjaan anak desa. Dia tidak pernah terlihat memikul air dari umbul di seberang desa untuk memenuhi keperluan dapur. Memikul hasil bumi dari sawah atau ladang juga tak pernah dilakukan. “Nikmatnya” memikul pupuk kandang ke tanah garapan orang tuanya pun tak pernah dirasakan. Paling-paling, sesekali dia ikut teman-teman sebayanya beramai-ramai menggembala sapi di padang rumput.

4 Apr 2012

Bias dalam Sertifikasi Guru

Ketika mendengar kata "sertifikat", lazimnya orang mengasosiasikannya dengan "pengakuan". Sertifikat hak milik tanah, misalnya, dipahami sebagai pengakuan bahwa sebidang tanah sebagaimana disebut spesifikasinya adalah milik orang atau badan yang identitasnya tertera di dalam dokumen tersebut. Keterangan lokasi, ukuran, dan gambar situasi tanah yang tertera di sertifikat mesti sesuai dengan fakta yang terbukti di lapangan. Selisih sekecil apa pun antara data di sertifikat dan fakta di lapangan akan berbuntut panjang bila kelak terjadi sengketa menyangkut status tanah tersebut.

Populer