Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Publika

Wisuda-wisudaan

an di laman-laman media online. Ujung-ujungnya, ditegaskan bahwa anak-anak yang baru lulus dari jenjang PAUD-Dasmen itu belum layak untuk diwisuda. Lebih jauh dikatakan, wisuda-wisudaan itu justru melecehkan makna wisuda beneran yang berlaku di perguruan tinggi. Kegaduhan itu terdengar oleh pemerintah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) merespons dengan menerbitkan surat edaran yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal. Surat edaran yang ditujukan kepada para kepala dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota serta kepala satuan pendidikan itu berisi tiga butir imbauan. Hanya butir ke-1 yang secara eksplisit menyebut kata wisuda. Begini bunyinya: "memastikan satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar, dan satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah di wilayah kerja Saudara tidak menjadikan kegiatan wisuda sebagai kegiatan yang bersifat wajib dan pelaksanaan kegiatan wisuda tidak boleh membebani ora

Menjual Kenestapaan

Tetiba saya mendapat kenalan baru. Semalam ada pesan WhatsApp masuk ke ponsel saya. Pukul 20.06. Dari nomor yang saya tidak kenal. Hanya sepenggal kalimat salam. Tidak saya balas. Sengaja. Saya menunggu pesan berikutnya. Sampai pagi saya sudah dan masih melupakan salam yang belum saya jawab itu. Simpulan sementara, salam salah alamat. Atau ulah iseng belaka. Atau ... salah seorang mantan lagi kumat kangennya? Saya berangkat seperti biasanya. Pukul 06.15 sidik jari saya sudah teridentifikasi oleh mesin presensi. Pukul 06.36 ada notifikasi pesan masuk. Harus segera saya buka dan balas. Istri saya mengabarkan, dia sudah sampai di tempat kerja. Usai membalas pesan istri, saya tutup lagi layar ponsel. Selang lima menit kemudian ada pesan masuk lagi. Dari nomor yang belum saya simpan dengan nama. Ini sebagian isinya. Ups, dari nomor yang semalam berkirim salam. Yayasan pengelola panti asuhan rupanya. Membuka ladang amal saleh. Tersanjung saya demi mendapat undangan untuk turut "bercoco

Telanjur Beku

Tepat sebulan yang lalu saya menerima titah: merealisasikan obsesi tuan-tuan. Sudah berbulan-bulan impian itu mengemuka ke perbincangan, formal maupun nonformal. Pemicunya, hadiah dari lembaga mitra. Dalam kunjungannya ke lembaga kami, sekitar satu tahun yang lalu, rombongan lembaga mitra dari provinsi tetangga membawa hadiah istimewa: beberapa eksemplar buku. Kemasannya luks. Sampulnya hard cover. Isinya memakai kertas HVS supertebal. Perkiraan saya, itu HVS 120 gsm. Ukuran kuarto. Full color. Keseluruhan isinya 156 halaman. Dua halaman awal dan tiga halaman akhir kosong. Ketika ganti berkunjung ke sana, empat bulan yang lalu, kami kembali diberi buku yang sama. Beberapa eksemplar lagi. Kali ini saya merasa berhak untuk ikut membacanya. Saya pinjam satu. Hingga hari ini belum saya kembalikan. Saya masih menimbang-nimbang, mana yang lebih bermanfaat: saya kembalikan (ke sekretariat lembaga kami) atau saya tahan di laci saya buku itu. Saya tuntaskan membacanya dalam sekali duduk. Mome

Hari Kebangki(ru)tan Nasional

Twibbon Harkitnas dengan foto Bung Tomo (kok bukan dr. Soetomo?) Apa kabar, bangsa Indonesia? Beberapa hari yang lalu saya mendapati Pedoman Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-115 Tahun 2023. Lengkap dengan naskah pidato sambutan Menteri yang—dugaan saya—bertindak selaku Ketua Panitia Pusat. Di situs resmi Kementerian Kominfo . Pagi ini saya kembali menyambangi situs yang bersangkutan. Lenyap. Berkas dalam format PDF itu sudah tidak terlacak. Ketika saya ketik "Pedoman Peringatan Harkitnas PDF" di bilah pencarian, yang ditampilkan pedoman tahun 2022. Ke mana gerangan pedoman itu? Apakah ia turut ditahan oleh Kejaksaan Agung? Di dalam Pedoman disebutkan, upacara bendera peringatan Harkitnas dilaksanakan pada Senin, 22 Mei 2023. Semula, ketika membuka dan membacanya, saya sempat bertanya-tanya: kenapa tanggal 22, bukan 20? Apakah karena tanggal 20 bertepatan dengan hari Sabtu? Para narapraja tidak boleh terganggu liburannya sekadar untuk berupacara? Ah, par

Pendendam, Pengiri, Clemer

“Hari  gini nggak  bisa Excel?” Kalimat sarkastis itu terucap oleh anak buah saya, 14 atau 15 tahun silam. Saya memerlukan pengolahan data. Dengan Excel dari Microsoft itu—saya yakin—prosesnya menjadi mudah dan cepat. Sayangnya, saya belum pernah bekerja dengan perangkat pengolah angka itu. Mengeklik ikon pintasannya pun belum pernah saya lakukan. Ketika  kepepet  kebutuhan itu, saya pun pilih mengambil jalan pintas: memerintah anak buah. Kalimat sarkastis itu memantik dendam saya. Kiranya wajar kalau saya marah. Semestinya bawahan saya itu menjawab,  “Sendika dhawuh, Ndara.”  Saya pun betul-betul marah. Bergegas saya tinggalkan ruang kerja para bawahan saya. Kembali saya ke kantor. Saya marahi habis-habisan mesin pengendali minat saya. Kenapa sejak zaman DOS hingga era Windows saya tak pernah berminat untuk menjajal program pengolah angka! Pertengahan dekade 1990-an saya diutangi komputer oleh seorang teman. Sampai detik itu saya belum pernah dolanan komputer. Demi mensyukuri kemuraha

Menuju Sekolah Karakter: Implementasi #2 (5/5)

  Kepemimpinan, Pelibatan, dan Keberlanjutan Sebagaimana layaknya sebuah gerakan, pendidikan karakter membutuhkan kepemimpinan dengan multiperan. Gerakan pendidikan karakter membutuhkan sosok panutan, maka pimpinan sekolah harus hadir sebagai kampiun karakter. Gerakan pendidikan karakter membutuhkan petarung tangguh, maka pimpinan sekolah harus tampil sebagai pendekar karakter. Gerakan pendidikan membutuhkan arsitek strategi, maka pimpinan sekolah harus berperan sebagai senapati pasukan karakter. Sebagai gerakan pembudayaan, pendidikan karakter memerlukan keterlibatan segenap pemangku kepentingan. Rancang bangun pendidikan karakter yang mati-matian ditata oleh guru kelas akan berantakan bila tidak dibarengi pranata serupa di lapangan olahraga, perpustakaan, kantin, dan tempat-tempat lainnya di sekolah. Sebab itu, pimpinan mesti melibatkan seluruh komunitas sekolah dalam gerakan karakter. Keterlibatan unsur-unsur komunitas sekolah akan mencapai totalitas hanya jika masing-m

Menuju Sekolah Karakter: Implementasi #1 (4/5)

  Mimpi Bersama, Kontribusi Semua Segenap pemangku kepentingan sekolah diajak merajut mimpi yang sama:  sekolahku surgaku.  Masing-masing diberi kesempatan untuk mengidentifikasi karakter yang selayaknya dimiliki oleh setiap penghuni sekolah yang diimpikan sebagai replika surga. Lalu semua diberdayakan dan didayagunakan untuk membangun replika surga itu. Kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, murid, orang tua murid, dan pengurus yayasan (untuk sekolah swasta) membuat daftar atribut surga yang mereka dambakan. Boleh jadi, daftar tersebut akan sarat dengan atribut ideal seperti bersih, sehat, rapi, indah, aman, tertib, lancar, asri, segar, dan mantra-mantra magis sejenis yang pernah populer dalam perlombaan memperebutkan anugerah Adipura. Tiap-tiap fitur surga menuntut kontribusi amal saleh dari para penghuninya. Sekolah bersih akan terwujud hanya jika seluruh warganya cinta kebersihan. Sekolah aman akan tercipta hanya jika setiap penghuninya berperan aktif menjaga keama

Menuju Sekolah Karakter: Modus Pendidikan Karakter (3/5)

Penularan Sebut saja namanya Tom. Ia dilahirkan, dibesarkan, dan hingga dewasa tinggal di salah satu negara Eropa. Bisnis butiknya berkembang pesat ketika usianya masih 20-an. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, pemasarannya menjangkau hampir seluruh benua Eropa. Terilhami oleh pameran batik di sebuah kota mode terbesar di Eropa, Tom berminat untuk melengkapi koleksi butiknya dengan busana batik. Pada suatu musim panas, ia memutuskan untuk berlibur ke salah satu pusat kerajinan batik tulis: Yogyakarta. Di Kota Gudeg ia mengunjungi sejumlah rumah produksi batik. Di salah satu sanggar batik, Tom bertemu dengan Tin, salah seorang pembatik. Perempuan muda itu tampak menonjol dibandingkan dengan teman-teman seprofesinya. Remaja sederhana yang sekilas tampak lugu itu fasih berbahasa Inggris. Tom merasa menemukan calon mitra bisnis baru. Kecakapan komunikasi—bahasa dan etika—Tin menumbuhkan harapan lebih. Tidak sekadar menjadikannya mitra bisnis, Tom bahkan ingin

Menuju Sekolah Karakter: Definisi Karakter (2/5)

Thomas Lickona, psikolog dan begawan pendidikan karakter dari SUNY Cortland, mendefinisikan karakter sebagai  “… you do the right thing even when no one seeing.”  Kita melakukan kebenaran meskipun tidak seorang pun melihat. Jauh sebelumnya, Rasulullah Muhammad ﷺ—ketika ditanya oleh Malaikat Jibril  `alaihi as-salām:  “Apakah ihsan?”—menjawab, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihatnya, sungguh Allah pasti melihatmu.” (H.R. Bukhari: 48) Dua definisi yang berbeda secara harfiah, tetapi senada secara maknawi. Perilaku baik baru bisa disebut sebagai karakter jika telah menjadi perilaku konstan. Terhadap stimulus yang sama—apa pun situasinya—responsnya konsisten. Orang yang berkarakter jujur, misalnya, tidak akan pernah mengambil atau menerima pemberian apa pun yang bukan haknya. Selain konsistensi, pengejawantahan karakter juga ditandai dengan spontanitas. Respons seketika, seperti refleks, itulah cerminan karakter. Seseorang yang

Menuju Sekolah Karakter: Mengapa Karakter? (1/5)

Theodore Roosevelt, presiden ke-26 Amerika Serikat (1901—1909) menyampaikan,  “A man who has never gone to school may steal from a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.”  Maka, lebih lanjut ia mengingatkan,  “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society.” Seseorang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, mungkin akan mengutil suatu barang dari sebuah gerbong kereta; tetapi ketika sudah menggenggam ijazah perguruan tinggi, ia bisa merampok semua harta di seluruh rangkaian kereta. Mendidik otak seseorang tanpa mendidik moralnya, ibarat menyemai benih ancaman bagi masyarakat. Dokter Ismed, psikiater dari Kota Semarang, dalam gelar wicara di sebuah sekolah memberikan ilustrasi apik.  “Seorang pemulung yang berbakat mencuri, paling-paling hanya menggasak panci atau ember yang tergeletak di teras rumah yang tampak sepi. Sementara, pejabat yang bermental bejat, tega menggarong triliunan dana sosial ja

Ketika Sekolah (Tak) Tergoda Atribut Semu

"Kau ini bagaimana? Dipercaya jadi jago kecamatan, kok, enggak serius?" Pejabat pemegang otoritas bidang pendidikan tingkat kecamatan menegur saya. Sekitar tiga bulan sebelumnya, sekolah kami ditunjuk sebagai kontestan dalam lomba sekolah sehat (LSS) tingkat kota. Pada tahun yang sama, satu sekolah lain di kecamatan kami maju ke tingkat nasional pada ajang lomba serupa setelah menyabet gelar juara I tingkat provinsi pada tahun sebelumnya. Saya bertanya kepada kepala sekolah duta provinsi: berapa dana yang sudah dihabiskan untuk memoles wajah sekolahnya dan berapa dana yang sudah diterima sebagai hadiah juara tingkat kota dan provinsi. Jawabannya menciutkan nyali saya untuk berjibaku. Total nilai hadiah yang terkumpul tidak mencapai lima persen dari biaya permak yang sudah keluar. Saya mulai berhitung. Untuk memenuhi kriteria sekolah sehat, sekolah kami masih harus menambah sejumlah sarana dan prasarana. Kebutuhan itu tidak tercantum di dalam anggaran pendapatan