Langsung ke konten utama

Wisuda-wisudaan

an di laman-laman media online. Ujung-ujungnya, ditegaskan bahwa anak-anak yang baru lulus dari jenjang PAUD-Dasmen itu belum layak untuk diwisuda. Lebih jauh dikatakan, wisuda-wisudaan itu justru melecehkan makna wisuda beneran yang berlaku di perguruan tinggi.

Kegaduhan itu terdengar oleh pemerintah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) merespons dengan menerbitkan surat edaran yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal. Surat edaran yang ditujukan kepada para kepala dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota serta kepala satuan pendidikan itu berisi tiga butir imbauan. Hanya butir ke-1 yang secara eksplisit menyebut kata wisuda. Begini bunyinya: "memastikan satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar, dan satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah di wilayah kerja Saudara tidak menjadikan kegiatan wisuda sebagai kegiatan yang bersifat wajib dan pelaksanaan kegiatan wisuda tidak boleh membebani orang tua/wali peserta didik".

Dari redaksinya tersirat, pemerintah—dalam hal ini Kemdikbudristek—tidak alergi terhadap seremoni wisuda di jenjang PAUD-Dasmen. Pertimbangan yang melatarbelakangi terbitnya surat edaran tersebut semata-mata faktor biaya. Wisuda sah dan halal sepanjang tidak membebani orang tua atau wali murid. Gugatan yang berpangkal pada makna wisuda ditolak.

Sebagai orang yang belum pernah diwisuda dan menyaksikan upacara wisuda, saya iseng-iseng menyelisik arti kata wisuda. Jujugan saya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Begini definisi yang saya temukan di KBBI daring:




Berangkat dari arti wisuda menurut KBBI, saya sempat bertanya (dibaca "mempertanyakan" pun boleh): ketika anak-anak lulus TK diwisuda, mereka diresmikan atau dilantik menjadi atau sebagai apa, ya? Mencari-cari sampai ke ujung Google, saya tidak menemukan jawabannya. Akhirnya saya rumuskan sendiri jawaban itu—secara ngawur, tentu. Anak lulus TK dilantik menjadi calon murid SD/MI atau sederajat. Anak lulus SD dilantik menjadi calon murid SMP/MTs atau sederajat. Remaja lulus SMP diresmikan sebagai calon murid SMA/SMK/MA/MAK atau sederajat. Remaja lulus SMA diresmikan sebagai calon mahasiswa, pengusaha, pekerja, penganggur, atau apa saja.

Sekalipun kesannya ngawur, jawaban tersebut punya model penyebutan yang sahih. Lulusan D-I diwisuda (baca: diresmikan) sebagai ahli pratama, lulusan D-II ahli muda, D-III ahli madya, dan D-IV sarjana terapan. Lulusan S-1 diwisuda sebagai sarjana, S-2 magister, S-3 doktor. Lulusan program pendidikan profesi diwisuda (baca: dilantik) menjadi dokter, insinyur, akuntan, dan sebagainya. Para wisudawan sudah pasti menjadi dokter, doktor, magister, sarjana (terapan), ahli madya, dan seterusnya. Sementara, para wisudawan yang lulus dari TK, SD, SMP, SMA (masing-masing ditambahi keterangan "atau sederajat") masih berstatus calon. Mereka belum pasti menyandang status yang mengikuti kata "calon" itu.

Karena wisuda dapat diartikan sebagai "peresmian", harap maklum jika sejumlah perguruan tinggi juga suka mewisuda program studi yang diselenggarakannya—meskipun sudah lama beroperasi. Foto dokumenter berikut ini bukti jejaknya.

Yang diwisuda programnya?

Sebelum menutup tulisan ini, saya perlu mengoreksi kesalahan informasi yang telanjur tertulis di paragraf sebelumnya. Bohong kalau saya mengaku belum pernah diwisuda. Faktanya, saya pernah diwisuda. Bukti autentiknya ada, masih tersimpan primpen. Di dokumen resmi dan sah menurut hukum negara itu juga tertera jelas gelar saya: S.U.Ami.

Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da