Langsung ke konten utama

Qada 3.000

Senin, 8 April 2024. Hari kedua terakhir puasa. Sidang isbat memang belum digelar. Namun, saya sudah memastikan diri untuk berlebaran pada Rabu, 10 April 2024.

Sekira pukul 10 pagi saya berangkat dari rumah, Semarang. Tepatnya, kami berangkat bareng. Cuma, saya terpisah dari rombongan. Istri, anak ragil kami, dan Mamak diantar tetangga—satu keluarga—naik mobil. Saya naik WinAir seorang diri.

Sejak baru sampai Ungaran saya sudah merasakan kantuk. Saya coba mengusirnya dengan bermonolog. Bahasa Koreanya, ngomyang. Atau, bahasa Inggrisnya, ndleming. Saya lafazkan selawat berulang-ulang. Masih mengantuk. Saya ganti melafazkan serangkaian surah yang saya hafal. Serangan kantuk tak kunjung pudar. Saya berteriak-teriak. Cukup kencang. Alhamdulillah, kantuk mereda.

Sampai di kawasan Bawen, kantuk kambuh. Kian parah. Beberapa kali saya mengalami microsleep. Beberapa kali di antara beberapa kali microsleep itu saya menyelonong ke tengah, atau bahkan ke sisi kanan jalan. Tentu bersama WinAir-100 tunggangan saya.

Dalam kondisi demikian, biasanya saya mengambil salah satu tindakan penyelamatan: mampir tidur di masjid atau ngopi di warung. Kali ini, dua-duanya saya hindari. Kalau beristirahat tidur, saya akan tertinggal jauh dari rombongan yang bermobil. Padahal, saya harus mengawal rombongan itu dari Klaten ke kampung halaman saya. Kalau harus ngopi, sayang. Puasa tinggal satu setengah hari lagi.

Antara Bawen—Jatinom, sudah tak terbilang saya mengalami microsleep. Beruntung, tiap kali WinAir menyelonong ke kanan tidak terjadi sesuatu yang mencelakakan. Selepas pasar Jatinom, azan Zuhur mulai terdengar bersahut-sahutan. Saya pacu motor untuk mengejar jemaah Zuhur di Masjid Al-Furqon Macanan, perbatasan Jatinom-Ngawen. Masjid ini menjadi tempat singgah favorit karena cukup ramah musafir.

Kurang beruntung. Saya sampai di Masjid bersamaan dengan salam imam. Setelah buang air, saya pun berwudu. Byarrr! Dunia mendadak terang benderang. Kantuk yang saya tahan sepanjang berpuluh-puluh kilometer serasa tercabut sempurna.

Rasa segar bertahan hingga saya sampai di Wedi, lokasi yang kami sepakati sebagai titik pertemuan saya dan rombongan keluarga. Rencananya, istri saya meminjam motor kakaknya. Jadi, dari Klaten rombongan terpecah menjadi tiga: dua motor dan satu mobil.

Sesampai di Wedi, saya segera berkabar kepada istri, yang sudah lebih dulu tiba di rumah kakaknya. Tidak lupa saya selipkan pesan, "Nggak usah lama-lama." Istri saya menyanggupi.

Lebih dari 15 menit saya menunggu, berteduh di bawah rerimbun pohon trembesi di tepi jalan raya Wedi—Bayat. Kantuk kembali menyerang.

"Ternyata motornya lagi diservis," tulis istri lewat pesan WhatsApp. "Apa sampeyan duluan saja?" sambungnya.

Tawaran yang bagus. Kalau saya bisa sampai di rumah lebih awal, itu lebih baik. Yang kami tuju adalah rumah kosong. Dihuni orang hanya ketika saya pulang kampung. Dengan datang lebih awal, saya bisa menyiapkan kondisinya agar layak didatangi tamu. Setidaknya, keluarga tetangga yang berbaik hati mengantar keluarga saya tidak menyangka rumah kami sebagai rumah hantu.

Saya menstarter WinAir, lalu melanjutkan perjalanan. Jalan Wedi—Cawas bergelombang dan banyak berlubang. Cocok untuk pengendara yang tengah mengantuk. A blessing in disguise. Kondisi kurang menguntungkan yang berbalik menjadi keberuntungan. Benar-benar mujarab. Kantuk saya auto-sirna.

Dari Cawas hingga Watukelir, jalan lumayan mulus. Beruntung, sebagian besar ruas jalannya bercor beton. Rasa kantuk terusir oleh guncangan yang lebih kencang daripada jalan aspal.

Kantuk kembali menghampiri saya setelah melewati tanjakan Banyubiru, beberapa ratus meter setelah pasar Watukelir. Makin mendekati Manyaran, rasa kantuk terasa makin berat. Belasan kali WinAir keluar dari lintasan semestinya. Padahal, jarak yang saya tempuh belum sampai 10 kilometer.

Saya mulai menimbang-nimbang untung-rugi jika memanfaatkan dispensasi untuk musafir: berbuka puasa dan menggantinya setelah Lebaran. Memang sah kalau saya berbuka. Jarak yang saya tempuh memenuhi kriteria safar. Tapi, saya sama sekali tidak lapar. Haus pun tidak. Saya juga tidak merasakan kelelahan. Lagi pula, perjalanan tinggal kurang tiga kecamatan lagi. Hanya saja, saya mengidap kantuk berat yang menyimpan bahaya.

Ada angkringan di kiri jalan sebelum pasar Manyaran. Saya mengerem, menepi, dan berhenti di samping tenda. Ragu. Saya urungkan niat membatalkan puasa. "Tinggal tiga langkah lagi!" bisik saya keras-keras kepada diri sendiri.

"Innā lillāhi ...," gumam saya, agak berteriak.

Roda depan WinAir nyaris mencium bokong mobil yang tengah berhenti hendak berbelok ke kanan, ke pasar. Seketika saya memutuskan untuk mencari warung kopi.

Setelah melewati pasar, saya selalu melirik ke kiri. Ada angkringan. Cukup ramai. Sayang, telaknya di trotoar. Beberapa motor terparkir di ruas jalan. Saya kurang berminat. Beberapa puluh meter kemudian ada ruko. Antara bangunan ruko dan jalan ada halaman yang cukup untuk parkir. Di salah satu petak terdapat kedai minum. Saya hampiri.

"Wonten kopi, Mbak?" tanya saya kepada penjaga kedai.

"Wonten, Pak," sahutnya, "Ngersakke kopi napa, nggih?"

"Es kopi mawon," jawab saya.

Segelas es kopi hitam saya teguk sedikit demi sedikit. Sambil menikmati sesuatu yang lain. Tuntas dua-duanya. Mbak penjaga kedai lenyap dari pandangan. Ganti seorang lelaki yang berjaga.

"Pinten, Mas?"

"Tigang ewu."

Entah benar-benar khasiat kopi atau sekadar sugesti, saya mendadak kehilangan rasa kantuk. Perjalanan dari Manyaran sampai rumah di Praci saya tempuh dengan mata kinclong.

Konsekuensinya, kopi 3.000 rupiah itu kelak harus saya tebus dengan puasa sehari.


Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da