"Wahai, Tuhan, ampunilah aku;
ampuni juga kedua orang tuaku;
dan sayangilah keduanya,
seperti mereka menyayangi aku ketika aku masih kecil."
Kali ini mulut anakku yang melantunkan doa itu. Tak jemu-jemu, jagoanku yang kala itu berumur empat tahunan itu mengulang-ulang permohonan itu setiap usai salat. Aku tidak tahu, dia benar-benar merasa membutuhkan atau sekadar menghafalkan pelajaran baru yang didapat dari ibu gurunya. Yang jelas, doa itu sempat menyejukkan jiwaku. Bahkan aku sedikit berbangga demi menyaksikan anakku, investasiku itu, sudah tumbuh menjadi benih laba yang dapat kupetik di hari kelak. Tenteram hatiku setiap kali mendengar lirih doa anakku itu.
Namun, kebanggaan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba hobi protesku kambuh. Ya, aku memprotes rumusan doa itu. "... seperti mereka menyayangi aku ketika aku masih kecil." Kenapa hanya ketika anakku masih kecil? Bukankah aku (akan) menyayangi dia sepanjang hayatku? Kenapa kasih sayang Tuhan yang diminta untuk dicurahkan kepadaku hanya sepadan dengan kasih sayangku kepadanya selagi dia masih kecil? Lalu, ke mana imbalan kasih sayangku kepadanya setelah dia besar nanti?
Kutanyakan kepada ibunya, hanya ekspresi bengong yang kujumpai. Kutanyakan kepada ibu guru yang mengajarinya, dogmatis jawabannya. Aku sendiri juga rajin melafalkan doa seperti itu. Dan sejauh ini aku tidak pernah mempertanyakan rumusan itu. Baru setelah merasa sebagai pihak yang didoakan itulah aku mulai protes. Barangkali aku memang masih manusia lumrah, protes hanya ketika merasa hak-haknya tidak dibayar lunas. Sementara, ketika hak-hak orang lain yang dikebiri, aku tak ambil pusing!
Lantaran kukejar ke mana-mana tak kunjung terjawab protesku, akhirnya kualamatkan pertanyaanku kepada Yang Termohon. "Wahai, Zat Yang Maha Pengasih-Penyayang, di mana akan Kausembunyikan imbalan atas kasih sayangku kepada anak-anakku setelah mereka besar nanti? Jika yang berhak atas imbalan sepadan hanya kasih sayangku ketika mereka masih kecil, apakah berarti aku tak perlu menyayangi mereka setelah besar nanti? Apakah keputusanku begitu itu Engkau benarkan juga, wahai, Ar-Rahman Ar-Rahim?"
Yang kutanya hanya Diam. Sebenarnya, aku yakin, Dia menjawab dengan penjelasan panjang lebar. Sayangnya, telinga sebebal telingaku pasti terlalu sulit untuk mampu mendengar suara-Nya yang Maha Lembut. Untungnya, walau samar-samar, aku masih diizinkan untuk menangkap senyum-Nya yang menyiratkan sindiran halus. Menurut tafsirku yang agak ngawur, senyum-Nya itu bertuliskan begini:
"Seandainya anakmu memintakan untukmu kasih sayang-Ku
yang sepadan dengan kasih sayangmu kepadanya sepanjang hayatmu,
niscaya engkau akan kecewa.
Namun, yang pasti, mustahil Aku mengasihi dan menyayangimu
hanya seperti engkau mengasihi dan menyayangi anakmu
setelah dia beranjak besar,
bahkan begitu dia melewati masa bayi.
Nanti, makin besar anakmu, engkau akan makin mengerti."
Hari demi hari kulalui bersama penasaranku yang kian membuncah. Perubahan seperti apa yang terjadi pada kasih sayangku kepada anakku ketika dia besar nanti? Tapi, bukankah anakku sudah melewati masa bayinya? Dengan demikian, bukankah aku sudah bisa merasakan perubahan itu?
***
"Heh, jangan lari-lari! Nanti kalau jatuh, lecet sedikit, nangis ...!" teriakku sore itu, ketika anakku bermain kejar-kejaran dengan teman-temannya di gang depan rumah.
Anak TK itu mengerem mendadak, lalu berbelok masuk rumah. Wajahnya ditekuk. Keningnya berkerut tebal. Kedua alisnya hampir bertumbuk. Bibirnya membentuk "v" tengkurap. Tanpa bicara, ia langsung menyelinap ke kamar. Tubuhnya diempaskan ke ranjang. Telungkup!
Sungguh berbeda! Jauh berbeda! Dulu, ketika belum mahir berjalan, dia juga sebentar-sebentar jatuh. Tapi aku tak bosan-bosan selalu menyemangatinya untuk bangun dan melangkah lagi. Dia pun menyambut yel-yelku dengan terkekeh riang. Kalau lututnya lecet dan berdarah akibat membentur paving block di jalan, kukatakan kepadanya, "Nggak apa-apa. Benturan itu akan menguatkan tulangmu. Bekas luka lecet itu akan menjadi bukti kejantananmu. Darah yang mengalir keluar itu akan menambah keberanianmu. Ayo, jalan lagi, Jagoanku!"
Kalau anakku menyeringai hendak menangis karena menahan perih di lututnya yang lecet, aku segera membesarkan hatinya. "Nggak usah ditahan. Kalau mau nangis, ya nangis saja. Tangismu itu akan memompa pertumbuhan badanmu."
Dulu dia belajar berjalan, lalu jatuh, lecet, berdarah, dan menangis. Kini dia unjuk kebolehan berlari, lalu mungkin jatuh, lecet, berdarah, dan menangis. Sama-sama jatuh, lecet, berdarah, dan menangis. Tapi ... kenapa aku menyikapinya secara berbeda? Padahal, objek sikapku pun sama?
***
Orientasi kepentinganlah yang berubah! Dulu kasih sayangku kepada anakku tulus untuk kepentingannya semata. Kini semua prioritas pertama terletak di kepentinganku sendiri.
Aku mulai mengingat-ingat interaksiku dengan bayiku ketika dia baru keluar dari rahim istriku. Begitu keluar, dia menangis. Aku menyambutnya dengan senyum ikhlas penuh syukur. Kupandangi dengan saksama sekujur tubuhnya yang mungil. Sempurna. Kian besar rasa syukurku. Memang, tak terlukis paras bintang film di wajahnya. Memang, tak terpahat otot bintang binaraga di dada, bahu, lengan, atau pahanya. Memang, tak tergambar otak profesor di dahinya. Memang, tak terukir bibir pejabat atau politisi di mulutnya. Memang, tak tergurat bakat konglomerat di telapak tangannya. Namun, semua ketiadaan itu tidak seujung kuku pun menyusutkan kebahagiaanku atas kehadirannya.
Tak jemu-jemu aku menciumi orok merah itu. Aneka aroma berbaur jadi satu. Ada bau amis darah dari perempuan yang tergolek di sebelahnya. Ada aroma wangi khas bedak bayi dari sekujur tubuh mungilnya. Ada sengatan uap hangat dari minyak telon yang membasahi dada, perut, dan punggungnya. Ada bau pesing berasal dari popok, gurita, kain gedong, selimut, bantal, guling, sprei, kasur, dan segala benda yang ada di sekelilingnya. Senyawa aneka bebauan itu serasa makin menggugah seleraku untuk lagi dan lagi menciuminya. Ciuman tulus semata-mata karena dorongan kasih sayang bertubi-tubi mendarat di kening dan pipinya.
Hari-hari berikutnya kulalui dengan penuh gairah. Penat dan lelah setelah bekerja seharian tak pernah kuhiraukan. Sampai di rumah, yang pertama kulakukan adalah memastikan keadaannya. Bila sudah kudapati ia baik-baik saja, berikutnya kucari koleksi popoknya yang pesing. Bila sudah kutemukan, lembaran-lembaran kain bertali di kedua ujungnya itu lalu kurendam sebentar di dalam air detergen, kukucek, kubilas, kuperas, dan kubentangkan di kawat jemuran. Semua kulakukan demi kepentingannya, bukan kepentinganku.
***
Kini, setelah ia beranjak agak besar, segala sikap dan tindakanku kepadanya bertumpu pada kepentinganku. Aku melarangnya ketika ia bermain kejar-kejaran dengan teman-temannya. Itu karena aku khawatir ia jatuh. Itu yang terlahir dari mulutku. Sejatinya, yang tersimpan di batinku, aku hanya tidak rela bila kekhusyukanku dalam istirahat terganggu oleh suara tangisannya. Aku tidak mau dibuat repot mengobati dan membalutkan kain perban pada lukanya. Aku tidak mau membelikan permen untuk menghiburnya agar sejenak melupakan rasa perih di kulitnya yang lecet. Aku tidak mau mengalami seribu penderitaan akibat keberaniannya unjuk kecakapan berlari.
Makin ia bertambah besar, makin besar pula hasratku untuk menundukkan kebutuhannya di bawah kepentinganku. Ketika ia tidak bisa menyelesaikan PR yang diberikan oleh gurunya, serta-merta aku memberi tahu jawabannya. Aku tidak rela anakku dianggap bodoh oleh guru dan teman-teman sekelasnya. Aku tidak ingin anakku mendapat nilai jeblok dalam pelajaran sekolahnya. Aku tidak mau guru kelasnya memanggil aku ke sekolah gara-gara nilai-nilai PR-nya di bawah rata-rata kelas. Aku tidak mau menanggung malu lantaran anakku tinggal kelas. Ujung-ujungnya, aku ingin anakku tampil sebagai pahlawan penjunjung panji-panji kebesaran namaku.
Padahal, ketika ia gagal menyelesaikan soal PR itu ia punya peluang untuk bertanya kepada guru atau teman-temannya. Di situ ia bisa berlatih berinteraksi dan mengasah keterampilan berkomunikasi dengan orang lain untuk memecahkan masalahnya. Di situ ia punya kesempatan untuk menunjukkan kelemahannya sehingga orang-orang di sekitarnya bisa memahami dan menerimanya secara objektif, apa adanya. Dari situ ia akan melihat dunia nyata yang penuh aneka warna. Dari situ ia akan belajar untuk meramalkan peluang dan tantangan yang mesti diantisipasi. Dari situ ia akan belajar mempertimbangkan pilihan-pilihan masa depan yang mesti dicermati secara jeli. Namun, semua kesempatan itu musnah akibat nafsuku untuk dipuja sebagai ayah yang hebat!
Entah, masih berapa juta kepentingan yang kusimpan sebagai amunisi untuk memberangus kebutuhannya. Tampaknya, makin besar anakku, makin banyak pula kepentinganku yang akan kuselipkan di antara kata-kata manis, "Semua ini semata-mata demi masa depanmu, Nak."
***
Pantas saja, anakku minta Allah menyayangiku "hanya" seperti aku menyayanginya ketika ia masih sangat kecil. Seandainya Dia menyayangi aku seperti kasih sayangku kepada anakku seumur hidup, pastilah aku bakal kecewa. Ya, seandainya kasih sayang-Nya kepadaku bersembunyi di balik pamrih pribadi, betapa besar kekecewaanku. Untung, Allah tidak pernah Punya pamrih!
Akhirnya, lantunan doa "Rabbigfirlī wa li wālidayya warḥamhumā kamā rabbayānī ṣagīrā" itu kembali terdengar sejuk di kedua telingaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar