Di Sinilah Saya Berdiri1)
Erica Goldson
(seorang valedictorian2) sebuah
SMA di AS)
Alkisah, seorang murid Zen3)—yang
masih muda namun ulet—menghampiri gurunya dan bertanya, “Jika saya bekerja
sangat keras dan rajin, berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk mencapai
Zen?” Sang Guru berpikir sejenak, kemudian menjawab, “Sepuluh tahun.” Si murid bertanya
lagi, “Bagaimana kalau saya bekerja sangat, sangat keras dan memaksa diri saya
untuk belajar dengan cepat, berapa lama waktu yang saya butuhkan?” Jawab sang
Guru, “Ya, dua puluh tahun.” “Lalu, jika saya benar-benar, sungguh-sungguh
melakukannya, berapa lama?” tanya si murid lagi. “Tiga puluh tahun,” jawab sang
Guru. “Duh, saya tidak mengerti,” keluh si murid, yang tampak mulai kesal.
“Setiap kali saya menyatakan bahwa saya akan bekerja lebih keras, justru Anda
katakan waktu yang saya butuhkan lebih lama. Kenapa Anda berkata begitu?” Jawab
sang Guru, “Bila Anda arahkan tatapan salah satu mata ke tujuan, maka tinggal
satu mata Anda yang tertuju ke jalan.”
Inilah dilema yang saya hadapi di dalam sistem pendidikan Amerika. Kita
terlalu terpaku pada tujuan, entah agar lulus tes atau lulus tercepat di kelas
kita. Namun, dengan cara begini, justru kita tidak benar-benar belajar. Kita
lakukan apa saja demi mencapai tujuan belaka.