(Refleksi Hari Guru
Nasional)
Senin lusa, 25 November 2013, bangsa kita memperingati Hari
Guru Nasional (HGN). Memang, sebagai wujud apresiasi terhadap jasa profesi yang
satu ini, hampir setiap negara di dunia memiliki hari guru nasional
masing-masing. Bahkan, di tingkat dunia pun ada Hari Guru Internasional, yang
jatuh pada 5 Oktober (di negara kita tentu kalah tenar oleh peringatan Hari TNI,
yang jatuh pada tanggal yang sama).
Mengawali renungan ini, sejenak kita simak penggalan
sambutan Mendikbud dalam peringatan HGN 2013 dan HUT ke-68 PGRI seperti dikutip
berikut ini.
“....
Kalau kita cermati struktur penduduk kita pada tahun
2010, terdapat 46 juta anak usia 0 sampai 9 tahun dan 44 juta anak usia 10
sampai 19 tahun. Jadi, sekarang ini kalau kita ingin mempersiapkan generasi
2045, tidak ada pilihan lain kecuali harus memperkuat layanan, baik akses
maupun kualitas pendidikan kita, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD),
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pada tahun 2045,
mereka akan berusia 35 sampai 44 tahun dan 45 sampai 55 tahun. Merekalah yang
akan memimpin dan mengelola bangsa dan negara yang kita cintai ini. Mereka harus
kita bekali dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan zamannya.
Mereka harus memiliki kemampuan berpikir orde tinggi, kreatif, inovatif,
berkepribadian mulia, dan cinta pada tanah air, serta bangga menjadi orang
Indonesia, sebagaimana yang digagas dalam Kurikulum 2013.
....
Kita ingin agar anak-anak kita di mana pun berada dan
apa pun latar belakang sosial dan ekonominya dapat memperoleh layanan
pendidikan setinggi mungkin. Pendidikan tersebut harus terjangkau dan berkualitas.
Guru dan tenaga kependidikan menjadi faktor penentunya sehingga mau tidak
mau harus kita tingkatkan ketersediaan dan profesionalitasnya.
Sengaja tema yang diambil dalam peringatan HGN tahun
2013 dan HUT ke-68 PGRI ini adalah “Mewujudkan Guru yang Kreatif dan Inspiratif
dengan Menegakkan Kode Etik untuk Penguatan Kurikulum 2013”. Hal ini dimaksudkan
untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan yang saya sebutkan di atas.
Sekarang ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
sedang melakukan penataan sistem pendidikan guru, pelatihan berkelanjutan,
pelindungan, dan peningkatan kesejahteraan guru. Saya juga memberikan dukungan penuh
agar PGRI bisa menjadi organisasi profesi guru yang kuat sehingga
menghasilkan guru yang mampu mengembangkan kemampuannya secara mandiri, mampu
sebagai sumber inspirasi dan keteladanan, kreatif, inovatif, dan menegakkan kode
etik guru sebagai profesi. Kita semua berharap para guru dan tenaga
kependidikan kita menjadi pembelajar dan pendidik sejati.
....”
Sederet obsesi yang tertuang dalam sambutan Pak Menteri di
atas patut disambut dengan optimisme untuk segera mengentaskan wajah pendidikan
bangsa kita dari kubangan lumpur keterpurukan. Di sisi lain, sambutan tersebut
sekaligus merupakan pengakuan secara jujur bahwa guru dan organisasi profesinya,
yang usianya sudah setua Negara, belum mampu menunaikan tanggung jawab
profesinya. Atau, dapat dinyatakan bahwa guru-guru secara individual dan PGRI
secara kolektif masih gagal—meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Anies
Baswedan—melunasi janji kemerdekaan.
Seperti tersurat pada paragraf terakhir kutipan di atas,
Pemerintah tengah sibuk melakukan pembenahan menyangkut kualitas guru. Sekadar
komparasi, tulisan ini mencoba menyajikan ikhtisar sistem pendidikan guru di
Finlandia. Sebagaimana dikenal secara luas, selama dekade terakhir Finlandia
berhasil menyedot perhatian dunia dalam diskursus mutu pendidikan. Konsistensi
peringkatnya dalam empat periode (2000, 2003, 2006, dan 2009) pengujian oleh
PISA (Programme for International Student Assessment), Finlandia tidak
pernah bergeser dari peringkat lima tertinggi. Uji petik mutu oleh PISA ini
mengukur kompetensi peserta didik usia 15 tahun dalam tiga bidang: literasi
(membaca), matematika, dan sains. Mirip Finlandia, selama ini Indonesia juga
konsisten berada di dalam lingkaran peringkat 10 besar terendah. Kita boleh
berharap keajaiban berkenan menghampiri prestasi anak-anak bangsa kita dalam
tes PISA tahun 2012, yang hasilnya akan segera dirilis pada Desember 2013
nanti.
Dalam berbagai kesempatan, sejumlah pejabat, pakar, dan
praktisi pendidikan di Finlandia mengakui bahwa kunci utama keberhasilan mereka
dalam membangun mutu pendidikan adalah guru. Tak pelak, para pemikir, pengamat,
dan pegiat pendidikan dari seantero dunia—terutama negara-negara berlabel “maju”
yang merasa tersalip—memasang mata dan telinga untuk menelusuri kemudian
merekam jejak negara itu dalam nggulawentah guru-gurunya.
Merekrut (Hanya) yang Terbaik
Secara konsisten, hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa
guru merupakan profesi paling diidamkan oleh kaum muda Finlandia. Setiap tahun
beribu-ribu lulusan SMA (demi penyederhanaan, jenjang pendidikan di sana saya
sebut dengan penamaan ala sini) berebut tempat kuliah di fakultas keguruan.
Anehnya lagi, hanya mereka yang tergolong “grade A graduates” yang berani
melamar untuk menjadi mahasiswa calon guru. Dan lebih ajaib lagi, kompetisi
paling ketat terjadi pada pendaftaran calon mahasiswa pendidikan guru sekolah
dasar (PGSD). Tingkat persaingan masuk program studi ini mencapai rasio 1 : 10.
Ada apa gerangan? Tergiur gaji
besar? Belum ada penilaian oleh pengamat domestik (Finlandia) maupun asing yang
mengiyakan dugaan ini. Menurut ukuran nasional, gaji guru Finlandia hanya
menempati kisaran rata-rata pendapatan kaum profesional kelas menengah.
Sementara, menurut survey OECD (Organisation for Economic Cooperation and
Development) tahun 2011 yang dirilis pada 2013, gaji mereka juga hanya
setara dengan rata-rata gaji guru di negara-negara OECD. Penasaran dengan
angkanya? Menurut laporan OECD tersebut, gaji guru SD pemula di Finlandia
30.587 USD per tahun; sedangkan rata-rata OECD 28.854. (Maaf, mesin currency
converter saya mendadak error ketika menkurskan angka-angka itu ke
dalam rupiah! Beruntung, survei itu mencatat angka 1.638 di “papan skor”
Indonesia, sehingga mesin saya itu kembali normal. Rupanya, mesin buatan luar
negeri itu sudah diprogram untuk hanya dipakai di dalam negeri sini: tidak support
untuk mengkurskan gaji guru lebih dari 4 digit dalam dolar menjadi rupiah!)
Terlepas dari perbandingannya
dengan Indonesia, gaji benar-benar bukan magnet penting yang menyedot minat
kaum muda Finlandia untuk berebut kesempatan menjadi guru. Teridentifikasi tiga
faktor yang lebih penting daripada sekadar gaji: (1) prestis sosial yang
tinggi, (2) otonomi profesional di sekolah, dan (3) etos mengajar sebagai
pengabdian kepada masyarakat dan demi kepentingan publik. Kaum muda Finlandia
memandang guru sebagai karier yang sejajar dengan profesi lain, di mana orang
bekerja secara independen dan berpijak pada pengetahuan ilmiah dan keterampilan
yang mereka peroleh melalui pendidikan tinggi.
Prestis sosial yang tinggi
terbangun oleh prosedur seleksi yang ketat dan sangat kompetitif. Untuk dapat
mengenyam pendidikan calon guru, seorang lulusan SMA harus lolos dalam sejumlah
tahapan seleksi. Pertama, mereka diseleksi berdasarkan hasil ujian matrikulasi,
prestasi akademik selama di SMA, dan prestasi nonakademik di luar sekolah. Tahap
kedua, mereka yang lolos seleksi tahap pertama harus menyelesaikan ujian tulis
untuk mengukur penguasaan mereka atas buku-buku pedagogi yang ditentukan.
Berikutnya, mereka menjalani magang dalam aktivitas klinik di replika situasi
sekolah. Di sini mereka diobservasi secara saksama untuk menilai kecakapan
mereka dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Terakhir, calon yang lolos
masih harus menjalani tes wawancara, yang antara lain diminta untuk menjelaskan
alasan mereka memutuskan untuk menjadi guru.
Otonomi kerja diperoleh dari
kebijakan Pemerintah yang memberikan kewenangan penuh kepada guru untuk
mengambil inisiatif pedagogis yang menurutnya perlu dilakukan. Pemerintah
memang menetapkan dan memberlakukan standar nasional, tetapi hanya dalam hal
tujuan (standar kompetensi). Sementara, urusan metodologi diserahkan kepada
kreativitas guru. Dan, bekal penguasaan teori dan pengalaman praktik yang diperoleh
selama masa pendidikan—ditambah refleksi bersama sejawat, senior, akademisi,
dan organisasi profesi—menjadi garansi bahwa kapasitas dan kapabilitas guru cukup
mumpuni dalam merancang dan menerapkan pendekatan, strategi, metode, teknik,
dan prosedur pembelajaran bermutu.
Sementara, keberhasilan bangsa Finlandia
dalam menumbuhsuburkan semangat mengabdi lewat profesi kepengajaran hingga
menjadi obsesi kolektif kaum mudanya kiranya patut dicatat dengan tinta emas.
Bahwa mengajar adalah sebuah pengabdian, mungkin sudah mencapai aklamasi internasional.
Artinya, masyarakat di belahan dunia mana pun, sejak dan sampai kapan pun,
mengakui kebenaran jargon tersebut. Tantangannya adalah bagaimana mengangkat
jargon klise tersebut ke derajat mulia dan menjelmakannya menjadi mantra sakti
yang mampu menyihir anak-anak muda berbakat hingga merasa terpanggil untuk
melakoninya.
Boleh jadi, pengalaman Gerakan
Indonesia Mengajar ketika diserbu pelamar calon pengajar muda sebanyak lebih
dari 25 kali jumlah yang dibutuhkan untuk angkatan pertama (2010) merupakan
fenomena yang patut “dicurigai” sebagai virus kebangkitan semangat mengajar
sebagai pengabdian untuk membenahi wajah Ibu Pertiwi! Betapa fantastis, kala
itu 1.383 kaum muda berbakat dan energetik menyatakan kesamaptaannya untuk
menjadi relawan, mengajar anak-anak bangsa di pelosok-pelosok Negeri minim
fasilitas untuk sekadar hidup layak! Terlalu sayang, bila gejala ini gagal dicerap
oleh segenap komponen Bangsa secara kolektif!
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar