23 Nov 2013

Mengintip Dapur Pendadaran Guru di Finlandia (Bagian 1)

(Refleksi Hari Guru Nasional)

Senin lusa, 25 November 2013, bangsa kita memperingati Hari Guru Nasional (HGN). Memang, sebagai wujud apresiasi terhadap jasa profesi yang satu ini, hampir setiap negara di dunia memiliki hari guru nasional masing-masing. Bahkan, di tingkat dunia pun ada Hari Guru Internasional, yang jatuh pada 5 Oktober (di negara kita tentu kalah tenar oleh peringatan Hari TNI, yang jatuh pada tanggal yang sama).
Mengawali renungan ini, sejenak kita simak penggalan sambutan Mendikbud dalam peringatan HGN 2013 dan HUT ke-68 PGRI seperti dikutip berikut ini.
“....
Kalau kita cermati struktur penduduk kita pada tahun 2010, terdapat 46 juta anak usia 0 sampai 9 tahun dan 44 juta anak usia 10 sampai 19 tahun. Jadi, sekarang ini kalau kita ingin mempersiapkan generasi 2045, tidak ada pilihan lain kecuali harus memperkuat layanan, baik akses maupun kualitas pendidikan kita, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pada tahun 2045, mereka akan berusia 35 sampai 44 tahun dan 45 sampai 55 tahun. Merekalah yang akan memimpin dan mengelola bangsa dan negara yang kita cintai ini. Mereka harus kita bekali dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan zamannya. Mereka harus memiliki kemampuan berpikir orde tinggi, kreatif, inovatif, berkepribadian mulia, dan cinta pada tanah air, serta bangga menjadi orang Indonesia, sebagaimana yang digagas dalam Kurikulum 2013.
....
Kita ingin agar anak-anak kita di mana pun berada dan apa pun latar belakang sosial dan ekonominya dapat memperoleh layanan pendidikan setinggi mungkin. Pendidikan tersebut harus terjangkau dan berkualitas. Guru dan tenaga kependidikan menjadi faktor penentunya sehingga mau tidak mau harus kita tingkatkan ketersediaan dan profesionalitasnya.
Sengaja tema yang diambil dalam peringatan HGN tahun 2013 dan HUT ke-68 PGRI ini adalah “Mewujudkan Guru yang Kreatif dan Inspiratif dengan Menegakkan Kode Etik untuk Penguatan Kurikulum 2013”. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan yang saya sebutkan di atas.
Sekarang ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang melakukan penataan sistem pendidikan guru, pelatihan berkelanjutan, pelindungan, dan peningkatan kesejahteraan guru. Saya juga memberikan dukungan penuh agar PGRI bisa menjadi organisasi profesi guru yang kuat sehingga menghasilkan guru yang mampu mengembangkan kemampuannya secara mandiri, mampu sebagai sumber inspirasi dan keteladanan, kreatif, inovatif, dan menegakkan kode etik guru sebagai profesi. Kita semua berharap para guru dan tenaga kependidikan kita menjadi pembelajar dan pendidik sejati.
....”
Sederet obsesi yang tertuang dalam sambutan Pak Menteri di atas patut disambut dengan optimisme untuk segera mengentaskan wajah pendidikan bangsa kita dari kubangan lumpur keterpurukan. Di sisi lain, sambutan tersebut sekaligus merupakan pengakuan secara jujur bahwa guru dan organisasi profesinya, yang usianya sudah setua Negara, belum mampu menunaikan tanggung jawab profesinya. Atau, dapat dinyatakan bahwa guru-guru secara individual dan PGRI secara kolektif masih gagal—meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Anies Baswedan—melunasi janji kemerdekaan.
Seperti tersurat pada paragraf terakhir kutipan di atas, Pemerintah tengah sibuk melakukan pembenahan menyangkut kualitas guru. Sekadar komparasi, tulisan ini mencoba menyajikan ikhtisar sistem pendidikan guru di Finlandia. Sebagaimana dikenal secara luas, selama dekade terakhir Finlandia berhasil menyedot perhatian dunia dalam diskursus mutu pendidikan. Konsistensi peringkatnya dalam empat periode (2000, 2003, 2006, dan 2009) pengujian oleh PISA (Programme for International Student Assessment), Finlandia tidak pernah bergeser dari peringkat lima tertinggi. Uji petik mutu oleh PISA ini mengukur kompetensi peserta didik usia 15 tahun dalam tiga bidang: literasi (membaca), matematika, dan sains. Mirip Finlandia, selama ini Indonesia juga konsisten berada di dalam lingkaran peringkat 10 besar terendah. Kita boleh berharap keajaiban berkenan menghampiri prestasi anak-anak bangsa kita dalam tes PISA tahun 2012, yang hasilnya akan segera dirilis pada Desember 2013 nanti.
Dalam berbagai kesempatan, sejumlah pejabat, pakar, dan praktisi pendidikan di Finlandia mengakui bahwa kunci utama keberhasilan mereka dalam membangun mutu pendidikan adalah guru. Tak pelak, para pemikir, pengamat, dan pegiat pendidikan dari seantero dunia—terutama negara-negara berlabel “maju” yang merasa tersalip—memasang mata dan telinga untuk menelusuri kemudian merekam jejak negara itu dalam nggulawentah guru-gurunya.

Merekrut (Hanya) yang Terbaik
Secara konsisten, hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa guru merupakan profesi paling diidamkan oleh kaum muda Finlandia. Setiap tahun beribu-ribu lulusan SMA (demi penyederhanaan, jenjang pendidikan di sana saya sebut dengan penamaan ala sini) berebut tempat kuliah di fakultas keguruan. Anehnya lagi, hanya mereka yang tergolong “grade A graduates” yang berani melamar untuk menjadi mahasiswa calon guru. Dan lebih ajaib lagi, kompetisi paling ketat terjadi pada pendaftaran calon mahasiswa pendidikan guru sekolah dasar (PGSD). Tingkat persaingan masuk program studi ini mencapai rasio 1 : 10.
Ada apa gerangan? Tergiur gaji besar? Belum ada penilaian oleh pengamat domestik (Finlandia) maupun asing yang mengiyakan dugaan ini. Menurut ukuran nasional, gaji guru Finlandia hanya menempati kisaran rata-rata pendapatan kaum profesional kelas menengah. Sementara, menurut survey OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) tahun 2011 yang dirilis pada 2013, gaji mereka juga hanya setara dengan rata-rata gaji guru di negara-negara OECD. Penasaran dengan angkanya? Menurut laporan OECD tersebut, gaji guru SD pemula di Finlandia 30.587 USD per tahun; sedangkan rata-rata OECD 28.854. (Maaf, mesin currency converter saya mendadak error ketika menkurskan angka-angka itu ke dalam rupiah! Beruntung, survei itu mencatat angka 1.638 di “papan skor” Indonesia, sehingga mesin saya itu kembali normal. Rupanya, mesin buatan luar negeri itu sudah diprogram untuk hanya dipakai di dalam negeri sini: tidak support untuk mengkurskan gaji guru lebih dari 4 digit dalam dolar menjadi rupiah!)
Terlepas dari perbandingannya dengan Indonesia, gaji benar-benar bukan magnet penting yang menyedot minat kaum muda Finlandia untuk berebut kesempatan menjadi guru. Teridentifikasi tiga faktor yang lebih penting daripada sekadar gaji: (1) prestis sosial yang tinggi, (2) otonomi profesional di sekolah, dan (3) etos mengajar sebagai pengabdian kepada masyarakat dan demi kepentingan publik. Kaum muda Finlandia memandang guru sebagai karier yang sejajar dengan profesi lain, di mana orang bekerja secara independen dan berpijak pada pengetahuan ilmiah dan keterampilan yang mereka peroleh melalui pendidikan tinggi.
Prestis sosial yang tinggi terbangun oleh prosedur seleksi yang ketat dan sangat kompetitif. Untuk dapat mengenyam pendidikan calon guru, seorang lulusan SMA harus lolos dalam sejumlah tahapan seleksi. Pertama, mereka diseleksi berdasarkan hasil ujian matrikulasi, prestasi akademik selama di SMA, dan prestasi nonakademik di luar sekolah. Tahap kedua, mereka yang lolos seleksi tahap pertama harus menyelesaikan ujian tulis untuk mengukur penguasaan mereka atas buku-buku pedagogi yang ditentukan. Berikutnya, mereka menjalani magang dalam aktivitas klinik di replika situasi sekolah. Di sini mereka diobservasi secara saksama untuk menilai kecakapan mereka dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Terakhir, calon yang lolos masih harus menjalani tes wawancara, yang antara lain diminta untuk menjelaskan alasan mereka memutuskan untuk menjadi guru.
Otonomi kerja diperoleh dari kebijakan Pemerintah yang memberikan kewenangan penuh kepada guru untuk mengambil inisiatif pedagogis yang menurutnya perlu dilakukan. Pemerintah memang menetapkan dan memberlakukan standar nasional, tetapi hanya dalam hal tujuan (standar kompetensi). Sementara, urusan metodologi diserahkan kepada kreativitas guru. Dan, bekal penguasaan teori dan pengalaman praktik yang diperoleh selama masa pendidikan—ditambah refleksi bersama sejawat, senior, akademisi, dan organisasi profesi—menjadi garansi bahwa kapasitas dan kapabilitas guru cukup mumpuni dalam merancang dan menerapkan pendekatan, strategi, metode, teknik, dan prosedur pembelajaran bermutu.
Sementara, keberhasilan bangsa Finlandia dalam menumbuhsuburkan semangat mengabdi lewat profesi kepengajaran hingga menjadi obsesi kolektif kaum mudanya kiranya patut dicatat dengan tinta emas. Bahwa mengajar adalah sebuah pengabdian, mungkin sudah mencapai aklamasi internasional. Artinya, masyarakat di belahan dunia mana pun, sejak dan sampai kapan pun, mengakui kebenaran jargon tersebut. Tantangannya adalah bagaimana mengangkat jargon klise tersebut ke derajat mulia dan menjelmakannya menjadi mantra sakti yang mampu menyihir anak-anak muda berbakat hingga merasa terpanggil untuk melakoninya.
Boleh jadi, pengalaman Gerakan Indonesia Mengajar ketika diserbu pelamar calon pengajar muda sebanyak lebih dari 25 kali jumlah yang dibutuhkan untuk angkatan pertama (2010) merupakan fenomena yang patut “dicurigai” sebagai virus kebangkitan semangat mengajar sebagai pengabdian untuk membenahi wajah Ibu Pertiwi! Betapa fantastis, kala itu 1.383 kaum muda berbakat dan energetik menyatakan kesamaptaannya untuk menjadi relawan, mengajar anak-anak bangsa di pelosok-pelosok Negeri minim fasilitas untuk sekadar hidup layak! Terlalu sayang, bila gejala ini gagal dicerap oleh segenap komponen Bangsa secara kolektif!


Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer