1 Apr 2014

Ketika Valedictorian Menggugat Sistem Pendidikan di Negerinya

Di Sinilah Saya Berdiri1)
Erica Goldson
(seorang valedictorian2) sebuah SMA di AS)

Alkisah, seorang murid Zen3)—yang masih muda namun ulet—menghampiri gurunya dan bertanya, “Jika saya bekerja sangat keras dan rajin, berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk mencapai Zen?” Sang Guru berpikir sejenak, kemudian menjawab, “Sepuluh tahun.” Si murid bertanya lagi, “Bagaimana kalau saya bekerja sangat, sangat keras dan memaksa diri saya untuk belajar dengan cepat, berapa lama waktu yang saya butuhkan?” Jawab sang Guru, “Ya, dua puluh tahun.” “Lalu, jika saya benar-benar, sungguh-sungguh melakukannya, berapa lama?” tanya si murid lagi. “Tiga puluh tahun,” jawab sang Guru. “Duh, saya tidak mengerti,” keluh si murid, yang tampak mulai kesal. “Setiap kali saya menyatakan bahwa saya akan bekerja lebih keras, justru Anda katakan waktu yang saya butuhkan lebih lama. Kenapa Anda berkata begitu?” Jawab sang Guru, “Bila Anda arahkan tatapan salah satu mata ke tujuan, maka tinggal satu mata Anda yang tertuju ke jalan.”
Inilah dilema yang saya hadapi di dalam sistem pendidikan Amerika. Kita terlalu terpaku pada tujuan, entah agar lulus tes atau lulus tercepat di kelas kita. Namun, dengan cara begini, justru kita tidak benar-benar belajar. Kita lakukan apa saja demi mencapai tujuan belaka.
Di antara Anda barangkali ada yang berpikir, “Lho, jika Anda lulus tes, atau menjadi valedictorian, bukankah Anda belajar sesuatu?” Betul, memang, Anda belajar sesuatu, tetapi tidak belajar semua yang Anda bisa dapatkan. Mungkin Anda hanya belajar menghafal nama, tempat, dan tanggal lalu Anda lupakan lagi agar otak Anda kembali bersih untuk persiapan menghadapi tes berikutnya. Sekolah tidak menjadikan dirinya sebagaimana mestinya. Kini, sekolah menjadi tempat bagi kebanyakan orang untuk mencanangkan bahwa tujuan mereka adalah untuk lulus secepat mungkin.
Hari ini saya sudah mencapai tujuan itu. Saya lulus. Saya mesti memandang ini sebagai pengalaman positif, apalagi menjadi yang terbaik di kelas saya. Tetapi, bila direnungkan, tidak layak saya katakan bahwa saya lebih cerdas daripada teman-teman saya. Saya harus mengakui bahwa saya sekadar menjadi yang terbaik dalam melaksanakan apa yang diperintahkan kepada saya dan dalam mematuhi sistem. Kini, saya berdiri di sini, dan saya dikira bangga karena telah menyelesaikan masa indoktrinasi ini. Pada musim gugur nanti saya berangkat menuju babak berikutnya yang sudah disiapkan untuk saya agar kelak mendapatkan selembar dokumen kertas yang menyatakan bahwa saya cakap untuk bekerja. Namun, saya berani bertaruh bahwa saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, seorang petualang—bukan seorang buruh. Seorang buruh adalah seseorang yang terjebak dalam pengulangan demi pengulangan—budak sistem yang dirancang untuknya. Tetapi saat ini saya sudah berhasil membuktikan bahwa saya adalah budak terbaik. Saya kerjakan apa yang diperintahkan kepada saya. Sementara teman-teman yang lain duduk di kelas sambil corat-coret tidak karuan sehingga kelak menjadi seniman, saya duduk di kelas untuk mencatat dan kelak menjadi peserta tes yang andal. Sementara teman-teman yang lain datang ke kelas tanpa mengerjakan PR lantaran waktu mereka habis untuk membaca sesuai dengan minat masing-masing, saya tidak pernah melalaikan tugas. Sementara teman-teman yang lain menggubah musik dan mengarang lirik lagu, saya memutuskan untuk mengikuti pelajaran tambahan, sekalipun saya tidak pernah membutuhkannya. Jadi, saya heran, kok mau-maunya saya menjalani semua ini. Tentu, saya berhasil mendapatkan apa yang saya inginkan. Tetapi, setelah itu, lalu apa yang saya dapatkan darinya? Setelah saya meninggalkan bangku sekolah, akankah saya meraih sukses atau selamanya menjadi pencundang? Saya tidak tahu apa yang saya ingin lakukan dengan hidup saya; saya tidak punya minat karena saya memandang setiap mata pelajaran sebagai pekerjaan, dan saya unggul dalam semua mata pelajaran semata-mata demi menjadi yang terunggul, bukan demi belajar. Dan terus terang, sekarang saya menjadi cemas.
John Taylor Gatto, seorang pensiunan guru dan aktivis penentang wajib belajar, menyatakan, “Kita bisa memupuk kualitas terbaik di masa muda—rasa ingin tahu, petualangan, keceriaan, kapasitas wawasan yang menakjubkan—cukup dengan cara lebih luwes dalam hal waktu, teks, dan tes—dengan cara memercayakan pendidikan anak-anak kepada orang dewasa yang benar-benar kompeten, dan dengan cara memberi setiap siswa otonomi yang mereka butuhkan untuk mengambil risiko sewaktu-waktu. Tetapi kita tidak melakukannya.” Di antara dinding-dinding beton ini kita dituntut seragam. Kita dilatih untuk jago dalam setiap tes terstandar, dan mereka yang tidak setuju dan punya cara pandang yang berbeda akan diabaikan dalam skema pendidikan negeri ini dan karenanya, mereka dipandang sebelah mata.
H.L. Mencken menulis dalam The American Mercury edisi April 1924 bahwa tujuan pendidikan umum (di Amerika) bukanlah untuk membekali anak-anak muda dengan pengetahuan dan membangkitkan kecerdasan mereka. ... Tak ada yang sanggup melepaskan diri dari kenyataan ini. Tujuannya ... adalah sekadar untuk menekan sebanyak mungkin orang hingga mencapai titik aman yang sama, melahirkan dan membentuk warga negara dengan standar yang sama, dan memberangus perbedaan pendapat dan orisinalitas. Itulah tujuan pendidikan Amerika Serikat. (Gatto)
Untuk melukiskan gagasan ini, tidakkah Anda risau untuk mengkaji makna “berpikir kritis”? Adakah yang benar-benar dapat disebut sebagai “berpikir tidak kritis?” Berpikir adalah memproses informasi untuk mengembangkan gagasan. Tetapi jika kita tidak kritis ketika memproses informasi tersebut, apakah kita benar-benar berpikir? Atau, apakah kita, tanpa berpikir, serta merta menerima pendapat orang lain sebagai kebenaran?
Hal ini terjadi pada saya. Dan jika bukan karena kebetulan ada seorang guru bahasa Inggris senior yang mengajar di kelas sepuluh, Donna Bryan, yang mengizinkan saya membuka pikiran dan mengajukan pertanyaan sebelum menerima doktrin dalam buku teks, saya pasti sudah sekarat. Kini saya tercerahkan, namun pikiran saya terlanjur cacat. Saya mesti kembali melatih diri saya sendiri dan selalu ingat betapa sinting sesungguhnya tempat yang berlagak sok waras ini.
Dan kini saya berada di sebuah dunia yang diliputi kekhawatiran, sebuah dunia yang memberangus keunikan yang bersemayam di dalam diri kita masing-masing, sebuah dunia di mana kita dapat memilih untuk merestui omong kosong korporatisme dan materialisme yang biadab atau menuntut perubahan. Kita tidak tercerahkan oleh sistem pendidikan yang diam-diam menyiapkan kita untuk pekerjaan yang dapat diotomatisasikan, untuk pekerjaan yang tidak perlu dikerjakan, untuk perbudakan yang tidak membuka peluang untuk berprestasi. Kita tidak punya pilihan dalam hidup jika uang menjadi pangkal motivasi kita. Motivasi kita mestinya bersumber dari gairah. Namun, peluang ini hilang ketika kita memasuki sistem yang hanya memasung kita, bukan menginspirasi kita.
Kita ini lebih daripada sekadar rak-rak buku robotik, yang dipaksa untuk sekadar mengulang-ulang fakta yang diajarkan kepada kita di sekolah. Kita masing-masing sangat khas, setiap manusia di planet ini begitu khas, sehingga tidakkah kita berhak untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, berhak menggunakan pikiran kita untuk membuat inovasi ketimbang sekadar menghafal, berhak untuk mengembangkan kreativitas ketimbang sekadar melakukan kegiatan sia-sia, berhak untuk melakukan perenungan ketimbang sekadar ikut-ikutan? Kita berada di sini bukan untuk meraih gelar kemudian mendapatkan pekerjaan, agar kita bisa memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh dunia industri. Masih ada yang lebih daripada itu, dan masih lebih banyak lagi.
Yang paling menyedihkan adalah bahwa kebanyakan siswa tidak sempat merenung seperti saya. Kebanyakan siswa dipasung dengan teknik-teknik cuci otak yang sama untuk menghasilkan tenaga kerja yang puas dengan bekerja demi kepentingan korporasi-korporasi besar dan pemerintah yang suka bersekongkol. Celakanya lagi, mereka sama sekali tidak menyadari hal ini. Saya tidak akan pernah bisa memutar balik masa 18 tahun ini. Saya tidak bisa hengkang ke negeri lain yang memiliki sistem pendidikan yang lebih mencerahkan ketimbang memasung. Bagian hidup saya ini sudah berlalu, dan saya ingin memastikan bahwa tidak akan ada lagi anak yang potensinya terberangus oleh kekuasaan yang doyan mengeksploitasi dan mengendalikan. Kita adalah pemikir, pemimpi, penjelajah, seniman, pengarang, dan perekayasa. Kita adalah apa pun yang kita inginkan—tetapi hanya jika kita punya sistem pendidikan yang memberdayakan kita, bukannya yang justru memperdaya kita. Sebatang pohon bisa tumbuh hanya jika akar-akarnya diberi media tanam yang subur.
Untuk Anda yang berada di luar sana, yang terpaksa melanjutkan duduk di belakang meja dan bertekuk lutut kepada ideologi otoritarian dari para pengajar, jangan berkecil hati. Anda masih punya kesempatan untuk bangkit, bertanya, bersikap kritis, dan menciptakan perspektif Anda sendiri. Tuntutlah suasana yang memungkinkan Anda mengembangkan kemampuan intelektual dan membebaskan pikiran Anda, bukan yang justru membelenggu. Tuntutlah agar alasan, “Kamu harus mempelajari ini untuk menghadapi tes nanti,” ini tidak cukup layak untuk Anda. Pendidikan adalah wahana yang dahsyat, jika digunakan secara tepat, lebih fokus pada belajar ketimbang mengejar nilai bagus.
Untuk mereka yang bekerja di dalam sistem yang saya kutuk ini, saya tidak bermaksud untuk menghina. Saya hanya ingin memotivasi. Anda punya kekuatan untuk mengubah kebobrokan sistem ini. Saya tahu, Anda bukan guru atau administratur yang senang melihat murid-murid Anda mengalami kejenuhan. Anda tidak boleh menerima begitu saja perintah atasan yang mengatur apa yang harus Anda ajarkan dan bagaimana Anda mengajarkannya lalu menghukum Anda jika Anda tidak mematuhinya. Potensi kami dipertaruhkan.
Untuk Anda yang hari ini segera meninggalkan lembaga ini, saya katakan, jangan lupakan apa yang sudah terjadi di ruang-ruang kelas kita. Jangan wariskan itu kepada adik-adik kelas Anda. Kita ini harapan masa depan yang baru dan tidak akan membiarkan tradisi ini berlanjut. Kita akan robohkan tembok kecurangan ini agar tumbuh taman pengetahuan di seantero Amerika. Andai terdidik secara benar, kita akan memiliki kekuatan untuk melakukan apa pun, dan—keuntungannya—kita akan gunakan kekuatan itu hanya untuk kebajikan, karena kita terdidik untuk menjadi orang beradab dan bijaksana. Kita tidak akan menerima sesuatu yang tidak bermakna. Kita akan ajukan pertanyaan, dan kita akan menuntut kebenaran.
Maka, inilah sikap saya. Saya tidak berdiri seorang diri sebagai valedictorian. Saya dibentuk oleh lingkungan saya, oleh semua teman saya yang sedang duduk di sini menyaksikan saya. Saya tidak dapat menunaikan tugas ini tanpa kalian semua. Sejatinya, kalian semualah yang telah membuat saya menjadi seperti sekarang ini. Kalian semua adalah pesaing saya, tetapi sekaligus tulang punggung saya. Dengan demikian, kita semua adalah valedictorian.
Saat ini saya diminta untuk mengucapkan selamat berpisah kepada lembaga ini, mereka yang mempertahankannya, dan mereka yang memihak maupun yang menentang saya. Namun, saya berharap ucapan “selamat berpisah” ini lebih dimaknai sebagai “sampai jumpa lagi” kelak ketika kita semua bekerja sama untuk mengawal haluan pedagogis ini. Namun, pertama-tama, mari kita punguti lebih dulu serpihan-serpihan kertas itu yang menyatakan bahwa kita cukup cerdas untuk mengerjakannya.




1) terjemahan bebas dari Here I Stand, pidato Erica Goldson pada upacara perpisahan dari sekolahnya pada 25 Juni 2010, sebagaimana diunggah di http://americaviaerica.blogspot.com/p/speech.html

2) lulusan terbaik yang dipercaya untuk menyampaikan pidato perpisahan

3) aliran Buddha Mahayana yang meyakini bahwa pencerahan dan ketenteraman jiwa dapat dicapai melalui meditasi dan intuisi daripada melalui iman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer