Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Publika

Jepang Guru Dunia

  Pergelaran Piala Dunia 2022 baru memasuki hari ke-6. Pertandingan final baru akan berlangsung pada 18 Desember. Penyisihan grup baru akan berakhir sepekan ke depan. Para pengamat dan penggila bola mulai ramai memprediksi tim negara mana yang akan keluar sebagai juara. Beragam pendekatan mereka gunakan: analisis ilmiah, fanatisme primordial, hingga ramalan mistis. Saya bukan pengamat persepakbolaan. Bukan pula penggila bola. Jangankan menonton langsung di stadion, menonton siaran pertandingan sepak bola sambil ngopi dan ngemil di depan TV pun kalau dirata-rata tidak sampai satu kali setahun. Andaikan ditanya tentang hasil pertandingan babak penyisihan grup Piala Dunia 2022 ini—yang sudah memainkan 16 laga—saya hanya bisa menyebut dua: Jepang menang atas Jerman dan Arab Saudi menang atas Argentina. Dua kemenangan itu pun tanpa saya ingat skornya. Meski buta bola, jika ditanya siapa juara Piala Dunia di Qatar kali ini, saya punya jawaban yang jauh lebih maju daripada para pengamat je

Sepeda (Lagi)

Sepeda lagi. Kendaraan tak bermesin ini belakangan kian populer. Fungsinya tak lagi sekadar alat transportasi. Selain untuk berolahraga, kini banyak orang bersepeda sebagai hobi. Tampaknya ada juga tren bersepeda sebagai medium sosialisasi—bersosialisasi atau menyosialisasikan. Sebagai kendaraan, sepeda mengemban tugas untuk bergerak dari satu titik ke titik lain. Di dalam tugas tersebut terkandung dua fungsi: arah dan laju. Untuk mengendalikan arah dan laju itu, tiga komponen berperan secara langsung: setang, rangkaian pedal-gir-rantai, dan rem. Ketiganya menjadi penentu arah dan laju gerak putar roda. Untuk menunaikan misinya—menggerakkan roda sepeda dari titik keberangkatan ke titik tujuan—pengendara cukup mengoperasikan tiga komponen: setang, pedal, dan rem. Namun, terdapat demikian banyak komponen lain untuk menjamin ketiganya dapat beroperasi secara baik. Harus ada sumbu (as) yang menghubungkan lengan pedal kanan dan lengan pedal kiri. Diperlukan gotri-gotri sebagai bantalan untu

Melayani

Semarang, 11/10/2022 Menjelang zuhur saya bertandang ke sebuah sekolah. Saya terprovokasi oleh tawaran classroom visit yang diunggah di situs web sekolah itu. Lalu saya ingat salah satu kalimat yang ditulis Bu Muren Murdjoko di Instagram pada 10 Juli 2021. Saya menemukan kutipannya di  sebuah media daring . "Uniknya, walau bukan sekolah Islam, terlihat beberapa anak muslim salat bersama guru agama di sekolah tersebut." Begitu pengakuan ibunda Maudy Ayunda ketika mengintai sekolah yang kelak menjadi pilihan putri sulungnya itu. Yang membuka kesempatan classroom visit  ini adalah—sebagaimana eksplisit pada namanya—sekolah Islam. Saya penasaran: seperti apa aktivitas sekolah tersebut ketika tiba waktu salat? Maka saya putuskan untuk menyambanginya pada waktu zuhur. Sekolahnya punya banyak kemiripan dengan sekolah yang diceritakan Bu Muren Murdjoko. Sekolah baru. Belum banyak fasilitas fisik yang dimiliki. Bangunannya tampak sudah berumur, mungkin bekas gedung sekolah yang suda

Sepeda

  N = nama komponen; F = fungsi komponen; R = risiko bila komponen tidak ada Dalam tiga bulan terakhir, saya empat kali ditanggap untuk mementaskan cerita yang sama. Yang menanggap juga sama. Tempat pentasnya pun sama. Hanya penontonnya yang berganti pada setiap pentas. Karena ceritanya sama, empat pementasan itu juga menampilkan lakon yang sama: sepeda. Pada tiga kali pentas yang pertama, saya menampilkan 20 model sepeda unik. Ada sepeda konferensi dan sepeda pesta, yang dikendarai dan dikayuh beramai-ramai. Ada sepeda terbalik, yang berbelok ke kiri ketika setang diputar ke kanan dan sebaliknya. Ada sepeda burung pemangsa, yang dikendarai dengan posisi telungkup. Ada sepeda juggernow , yang roda depan dan setangnya ganda. Penasaran? Ah, lihatlah sendiri di sini https://www.youtube.com/watch?v=0LS41SiVEs4&t=312s . Yang tiga kali saya tampilkan itu pun hanya video di kanal YouTube Ilmuwan Top itu. Setelah menyaksikan pentas 20 sepeda unik hasil kreativitas gila itu, para pen

Dua Pusaka Abadi

  “There are only two lasting bequests we can give our children: roots and wings.” Setiap yang hidup akan mati. Demikian pula manusia. Setelah mati, manusia—mau tidak mau—melepaskan kepemilikan atas segala perbendaharaan yang semula dikuasainya. Hak kepemilikan dan pemanfaatan harta material dan imaterial yang ditinggalkannya itu berpindah kepada ahli waris. Salah satu pihak yang—karena pertalian darah—otomatis menjadi ahli waris adalah anak. Harta warisan berpeluang menjadi senjata untuk melapangkan masa depan penerimanya. Bagi ahli waris yang belum punya penghasilan atau berpenghasilan kurang dari kebutuhannya, harta warisan dapat menjadi sumber penghasilan. Dalam hal demikian, warisan berfungsi sebagai bekal untuk menyambung hidup. Bagi ahli waris yang berkecukupan, harta warisan bisa dicadangkan untuk keperluan tak terduga. Ahli waris yang memiliki keterampilan bisnis dapat menjadikan harta warisan sebagai modal usaha sehingga mendatangkan keuntungan lebih. Apa pun fungsinya,

Merawat Human Capital

Sumber gambar:  https://www.jojonomic.com/blog/human-resource-development-2/ “The formula is simple: Happy employees equal happy customers. Similarly, an unhappy employee can ruin the brand experience for not just one, but numerous customers.” ( Sharon Swift, Founder of SETTLEto) Howard Schultz, CEO Starbucks, tampaknya menerapkan rumus serupa di perusahaan yang dipimpinnya. "Kami membangun brand Starbucks pertama-tama dengan para pegawai kami, bukan dengan pelanggan. Karena kami yakin bahwa cara terbaik untuk memenuhi dan melampaui ekspektasi pelanggan adalah dengan mempekerjakan dan melatih para pegawai yang hebat, kami berinvestasi di pemberdayaan pegawai," tegas Schultz. Kepuasan pelanggan tentu menjadi idaman setiap pelaku usaha, apa pun bisnisnya. Namun, siapa sejatinya yang menciptakan kepuasan pelanggan itu? Para pegawai. Pekerja. Karyawan. Performa merekalah yang menentukan apakah pelanggan puas atas produk bisnis kita atau tidak. Richard Branson, CEO Virgin Air be

Menimbang Ulang Strategi Pemasaran Sekolah

  Sumber gambar: https://www.stevensonadvertising.com/creative-marketing-strategies-that-will-amplify-your-brand/  “Marketing: Creating Customer Value and Engagement.” Demikian judul bagian pertama buku Principles of Marketing, yang ditulis oleh Philip Kotler dan Gary Amstrong (Pearson, 2017). “Simply put, marketing is engaging customers and managing profitable customer relationships. The aim of marketing is to create value for customers in order to capture value from customers in return,” tulis dua profesor pemasaran itu, menjelaskan maksud judul tersebut. Value dan engagement menjadi dua kata kunci. Minyak penumbuh rambut, di mana-mana dan apa pun mereknya, punya khasiat yang sama: menumbuhkan rambut. Semua orang tahu itu. Adalah cara memasarkannya yang membedakan apakah sebuah merek minyak rambut dikenal luas dan laku keras atau mengendon di rak-rak toko obat tanpa pernah dilirik peminat. Sekolah punya cerita yang relatif sama. Semua orang paham bahwa sekolah adalah tempat p

TIPs Menghadapi Tugas Baru

  Junior. Belum genap satu semester saya bergabung di sekolah Y. Sebagai guru tidak tetap (GTT), tiap bulan saya menerima honor yang dihitung berdasarkan beban kerja. Variabelnya, jumlah jam mengajar per minggu. Tidak banyak tetapi—setelah digabungkan dengan honor mengajar di sekolah X—cukup untuk menghidupi diri sendiri: sewa kamar kos, makan, transportasi, prangko (belum musim pulsa atau paket data), dan lain-lain. Menginjak semester ke-2, pendapatan saya dari sekolah Y bertambah. Selain honor mengajar, ada tunjangan jabatan. Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum (Wakasek Kurikulum) lolos seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Dia harus menanggalkan statusnya di sekolah itu, beserta segala tugas dan jabatannya. Jabatan wakasek kurikulum itulah yang kemudian saya warisi. Begitu menerima kabar lolos seleksi CPNS, Pak Ut—nama lengkapnya: Utomo—berpamitan kepada Kepala Sekolah. Keduanya lalu berunding untuk menentukan pengganti Pak Ut. Keesokannya saya dipanggil oleh Kepala Sekolah.

Amung Ati Pawitane

"OK. Sabar, ya, Yu ." Terlalu irit. Berkesan pelit, bahkan. Empat kata yang semuanya hemat aksara itu ditulis untuk menjawab permohonan izin. Seorang pegawai terpaksa datang terlambat ke tempat kerja. Ada kewajiban domestik yang mesti ditunaikan terlebih dulu. Bukan kali pertama dia menghadapi kendala serupa: niatnya untuk berdisiplin terhalang oleh urusan keluarga. Mungkin sebenarnya dia sudah bosan mengulang-ulang permintaan izin datang terlambat. Tidak hanya malu kepada pimpinan dan teman sejawat, dapat dipastikan dia juga menanggung perasaan bersalah kepada institusi. Datang terlambat dan pulang lebih awal menjadi catatan buruk di hari-hari kerjanya. Sudah berbilang bulan dia berjuang untuk melewati ujian berat yang datang menghampirinya tanpa cecala itu.  Bisa jadi, tangannya menggigil kencang ketika mengetik SMS—layanan pesan singkat lewat ponsel, yang populer kala itu—untuk dikirimkan kepada pimpinannya pagi itu. Maklum, pimpinannya baru. Wajar kalau dia masih menerka