![]() |
Para pendaki jalan kesabaran dan kelegawaan |
“Menulis sebagai Terapi,” jawab saya spontan ketika ditanya tajuk acaranya.
Tak disangka, ternyata jawaban sekenanya itu dipakai sebagai judul klip video dokumentasi kegiatan Sekolah. Ya, pada Sabtu, 22 Maret 2025, saya menggelar jagongan bersama sepuluh orang penulis. Apa pun derajat kepenulisan yang sudah mereka capai, mereka layak untuk saya sebut penulis. Nyatanya, hampir semuanya menelurkan satu keping tulisan setiap pekan.
Barangkali mereka menduga saya akan mengobral ilmu dan seni menulis dalam pertemuan itu. Maklum, saya tidak menyampaikan agenda dan format acaranya. Saya suka begitu. Agar menjadi kejutan dan menimbulkan keterkejutan.
Yang terjadi justru sebaliknya. Saya menggali pengalaman mereka. Saya minta mereka melakukan refleksi. Saya silakan mereka mengungkap tiga hal. Pertama, apa hal-hal negatif yang mereka temui selama menjalani “tirakat” menulis. Kedua, apa hal-hal positif yang mereka alami selama melakoni “ritual” menulis. Ketiga, apa manfaat dan kerugian yang mereka rasakan akibat berjibaku terjun ke dunia penulisan.
Total terkumpul 40 hal negatif dan 76 hal positif yang saya terima dari kesepuluh mitra jagongan saya pagi itu. Tentu, dari jumlah itu ada shared experiences—lebih dari satu orang mengalami hal-hal negatif atau positif yang sama. Saya biarkan daftar pengalaman mereka sepanjang itu. Pengalaman-pengalaman yang sama tidak saya lebur jadi satu. Sementara, daftar manfaat dan kerugian yang mereka ungkapkan lebih pendek. Saya tidak mencatatnya. Berbeda dari dua segmen refleksi sebelumnya, refleksi manfaat dan kerugian itu mereka—atas permintaan saya—ungkapkan secara lisan. Saya tidak tahu, ada yang sempat merekam atau tidak.
“Menjadi lebih sensitif terhadap sikap anak-anak,” aku Pak Adhit.
Boleh jadi, pengalaman Pak Adhit itu juga dirasakan oleh semua koleganya. Kesepuluh penulis itu guru-guru—termasuk Kepala Sekolah—di sebuah sekolah rintisan. Saya sebut rintisan karena usianya masih balita. Pemantik ide tulisan mereka adalah perilaku anak-anak. Setiap saat para guru-penulis itu menjadi “paparazi”, menguntit pergerakan anak didik mereka. Ketika mendapati perilaku murid yang menyentuh kesadaran pedagogis, mereka merekamnya baik-baik. Rekaman peristiwa itu kemudian diolah hingga terpetik pesan yang layak untuk dijadikan pelajaran (lesson learned).
Bu Indah punya pengalaman menggelitik. “Struktur menulis lebih rapi, bahkan sampai terbawa ketika menulis pesan WA,” lapornya.
Rupanya Bu Guru yang belum genap setahun bergabung di “klub guru berani menulis” itu kecanduan menulis dengan ragam bahasa baku. Pengakuannya itu sudah tervalidasi. Salah seorang temannya sempat memprotes bahasa medsos Bu Indah yang terasa formal. Wah, bisa-bisa profesi Bu Indah mudah terdeteksi hanya lewat percakapan di media sosial.
Jadi terkenang profil bahasa guru pada zaman saya jadi murid. Dalam percakapan sehari-hari, di dalam maupun di luar sekolah, bahasa para guru begitu santun dan tertata. Dengan kolega di sekolah, mereka selalu bercakap dengan bahasa Jawa halus (krama inggil). Dengan tetangga di kampung, mereka juga menghindari pemakaian bahasa ngoko. Mitra wicara yang baru pertama bertemu pun mudah menebak bahwa ia sedang berbincang dengan seorang guru.
“Saat menulis saya membutuhkan ketenangan (tidak ada pekerjaan dalam waktu berdekatan). Karena saya tipe orang yang menulis satu tulisan dalam sekali duduk. Jika disambi yang lain, biasanya terlupa apa yang mau ditulis,” keluh Bu Eva.
Pantas, Bu Guru yang lembut (kalem dan antiribut) itu sempat absen beberapa pekan. Tulisannya tidak kunjung nongol. Saya sempat berprasangka dia ngambek. Rupanya hanya faktor “kekhusyukan” itu musababnya. Syukurlah.
Bu Eva tidak sendiri. Banyak penulis, maestro sekalipun, yang seperti itu. Penyelesaian satu tulisan, dari awal sampai akhir, tidak boleh disela aktivitas lain. Sekali terjeda, ide tulisan jadi berantakan.
Bu Puput mengungkap kegemasannya, “Sering kali merasa bingung jika ada beberapa kata yang perlu diperbaiki dan hanya diblok tanpa ada keterangan.”
Memang, “dukun” yang ngawat-awati “laku tirakat” mereka terbilang menggemaskan. Selain galak bin kejam, ia juga kelewat pelit. Raja tega sekaligus dewa lokek. Ketika menemukan kesalahan, si “dukun” tidak langsung memberitahukan apa kesalahannya dan bagaimana pembetulannya. Alih-alih berjuluk corrector, ia justru bangga hanya menjadi coretor. Coret sana coret sini, lalu membiarkan “cantrik”-nya memeras otak untuk menemukan sendiri koreksinya.
Beruntung, Bu Puput masih mendapati sejumlah hal positif. Salah satunya, “Mendapatkan banyak sekali kosakata baru,” katanya. Dia telat lahir, sih. Coba, seandainya usianya sebaya saya, pasti dia rajin membuka kamus atau tesaurus. Buat apa? Apalagi kalau bukan dalam rangka merakit kalimat-kalimat sastrawi? Remaja zaman itu, cowok maupun cewek, berlomba-lomba mengidentifikasi dirinya sebagai pensyair. Ya, muda-mudi era itu miskin harta. Hanya bisa mengobral kata-kata. Maka, puisi—begitu anggapan mereka, bukan “kami”, lo—menjadi modal utama.
“Menjadi suka mengoreksi tulisan-tulisan di berbagai tempat,” aku Pak Aruf. Lebih lanjut ia menulis, “Seperti: postingan di IG, pamflet, dll.” Bagi sebagian orang, sikap korektif seperti itu barangkali dianggap sebagai efek positif. Namun, tidak demikian dengan Pak Aruf. Baginya, sikap itu justru terasa eksesif dan negatif. Maklum, adabnya telanjur halus sejak dalam pikiran. Hobi barunya memelototi bahasa media itu membuatnya takut tergelincir ke jurang tajassus.
Dampak negatif juga menimpa ritme kerjanya sendiri. “Menjadi kurang cepat saat mengerjakan sesuatu karena lebih berhati-hati,” katanya.
Sementara itu, Pak Kambali merasakan efek positif yang tak terduga sebelumnya. “Pernah dibukukan dan dapat penghargaan dari LPI (Lembaga Pendidikan Islam Hidayatullah, penyelenggara sekolah yang dipimpinnya—Gw),” tulisnya. Ia memang tidak pernah bermimpi bahwa tulisan-tulisannya bakal menjelma menjadi buku. Pun setelah kumpulan tulisan satu tahun pertama itu jadi buku, kepala sekolah nan sufi itu tidak menyangka akan mendapat apresiasi dari atasannya.
Kepercayadirian makin terpompa. Sebuah penerbit menawarkan kerja sama penerbitan dan penjualan buku yang ditulisnya bersama Bu Wiwik. Pak Kambali menerima tawaran itu. Manfaat lain pun tak bisa ditolak untuk menghampirinya. “Dapat royalti dari Mutiara Aksara,” akunya lebih lanjut.
Di sisi lain, ia mengaku makin tampak mudah lupa. Bahkan dengan tawaduk ia menyatakan, “Makin tampak keterbatasan ilmu saya.”
Bu Wiwik, co-founder gerakan menulis di sekolahnya, merasakan efek negatif serupa. “Merasa kurang berkembang. Kesalahan yang sama masih sering terulang,” keluhnya. Seperti Pak Kambali—Kepala Sekolah cum founder utama gerakan menulis—Bu Wiwik mudah lupa: mengulang kesalahan yang pernah dicoret-coret pada tulisan sebelumnya.
Efek positif dirasakan Bu Wiwik terkait statusnya sebagai guru. “Lebih percaya diri ketika meminta anak-anak menulis,” tuturnya, “Bu Guru juga menulis, kok.” Tak terbantahkan, memang, bahwa murid-murid lebih mudah menggugu instruksi guru kalau si guru sendiri menjadi contoh yang layak untuk ditiru.
Menulis juga terbukti bisa menjadi katarsis. Bu Layla mengungkapkan, “Mendapatkan tempat atau media untuk mencurahkan pikiran sehingga secara psikis perasaan menjadi lega.” Banyak praktisi konseling yang memanfaatkan menulis sebagai medium terapi untuk meringankan depresi yang dialami kliennya.
Di samping itu, Bu Layla masih merasakan sejumlah efek psikologis yang lain: berpikir kritis dan terstruktur, melatih fokus, menguatkan daya ingat, dan menanamkan sikap perhatian (attentiveness) terhadap hal-hal kecil.
Namun, bukan berarti nihil efek negatif yang dialami Bu Layla. “Waktu banyak terpakai untuk kegiatan individual sehingga minim keterlibatan dalam kegiatan sosial,” protesnya. Dia masih menambahkan, “Menulis itu proses perangkaian kata. Dampaknya, jadi tampak berbelit ketika berkomunikasi secara lisan.”
Bu Yunita mengalami hal negatif seperti yang dikeluhkan Bu Puput. Dia merasa sering gagal mencermati pesan koreksian yang dimaksud oleh “Mbah Dukun”. Selain itu, dia juga merasa kesulitan untuk memarafrasakan kalimat yang hendak dia tulis. Bahkan, akunya, “Terkadang sudah ada ide untuk menuliskan suatu cerita, tetapi tiba-tiba buntu di pertengahan cerita.”
Tidak melulu negatif, dampak yang dirasakan Bu Yunita. Dia mengaku memperoleh banyak nilai positif dalam keterampilan berbahasa dan menulis. “Mendapat wawasan baru tentang penggunaan KBBI. Belajar lebih terampil tentang penulisan kalimat berdasarkan EYD. Belajar bagaimana menyusun cerita dengan baik sehingga pembaca terbawa pada alur cerita,” tulisnya. Bahkan ada bonus di luar kaidah kebahasaan dan seni penulisan. Dia mencatat, “Mendapat ilmu-ilmu baru tentang manajemen kelas.”
Tidak jarang para guru-penulis itu menceritakan bagaimana mereka mereaksi perilaku anak-anak. Banyak intervensi guru yang terbukti efektif merehabilitasi perilaku anak sekaligus merestorasi hubungan antarmurid. Namun, adakalanya intervensi guru justru kontraproduktif. Yang efektif layak dijadikan best practice dan ditiru oleh sejawat. Sebaliknya, yang kontraproduktif perlu dikoreksi. Ini pun pelajaran berharga bagi mereka.
Mirip Bu Eva, Bu Shoffa butuh suasana khusyuk untuk menulis. Ini rentetan keluhannya: “Belum bisa menulis di mana saja dan kapan saja. Saat akan menulis, harus mempersiapkan diri dan waktu terlebih dahulu. Saat punya bahan yang menarik, terkadang tidak bisa segera mengungkapkan lewat tulisan. Sehingga terlewat. Dan akhirnya tidak dituangkan dalam tulisan.”
Bedanya dari Bu Eva, Bu Shoffa mengutarakan, “Saat membuat tulisan, membutuhkan waktu beberapa tahap, bahkan sampai hari. Tidak selesai dalam satu waktu.”
Pengalaman positifnya, Bu Shoffa menyebut ini: menambah kosakata baru, mengambil ibrah dari tiap tulisan bapak/ibu guru, dan mengetahui kejadian yang kita tidak turut menyaksikan secara langsung.
Segenap pengalaman, baik positif maupun negatif, yang diperoleh para pejuang literasi itu bonus dan efek samping belaka. “Sejatinya, yang saya inginkan dari Teman-Teman hanya belajar sabar dan legawa,” kata saya setelah tamat membaca dan menyimak refleksi mereka. Betapa tidak! Perjalanan untuk menjadi guru-penulis yang mereka lalui begitu sarat penderitaan. Kadang mendaki tebing terjal berbalut bebatuan kasar dan tajam. Kadang terperosok di kubangan lumpur pekat nan dalam.
Bagi Bu Wiwik dan Pak Kambali, perjuangan yang menguras energi dan stamina itu barangkali sudah tidak begitu kentara dampak psikologisnya. Keduanya sudah menerima peringatan dini sebelum mulai melakoni “tirakat”. Lalu, memasuki semester kedua menjalani “ritual” menulis sepekan sekali, mereka mendapat penguatan azam lewat tulisan ini. Dan ... terbukti, mereka sanggup menularkan motivasi itu kepada rekan-rekan sejawat yang bergabung setelahnya.
Justru saya yang patut dipertanyakan: sanggupkah menjadi model dalam membangun kesabaran dan kelegawaan? Bukankah pengalaman-pengalaman negatif yang diakui sepuluh guru cum jurnalis itu otomatis menuntut saya untuk menghadapinya dengan sabar dan legawa?
Jadi, menulis berperan sebagai terapi kesabaran dan kelegawaan?
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar