“Sampean itu sudah wali tenan, Pak.”
Sagino melontarkan celetukan itu ketika bertemu saya di teras masjid. Beberapa detik sesudah azan Magrib tuntas mengumandang. Kami sama-sama baru tiba. Saya dari arah utara, naik WinAir. Sagino—kerabat saya dari jalur Bapak—berjalan kaki dari arah selatan.
Sekitar 3 jam sebelumnya, ratusan pasang mata terbelalak menyambut kedatangan saya. Saya tidak menghiraukan pikiran yang berkecamuk di kepala mereka. Setelah memarkir WinAir, saya melangkah cepat menuju rumah. Saya salami orang-orang yang berdiri atau duduk di sepanjang rute yang saya lewati. Yang tidak terjangkau oleh tangan saya hanya kebagian isyarat lambaian tangan, anggukan kepala, atau tatapan mata.
Berita duka saya terima pukul 13.01. Lewat telepon. Sekitar pukul 14.45 saya sudah sampai di rumah duka. Itu pun saya sudah sempat mandi di rumah lain, 300-an meter dari rumah duka. Jadi, sebenarnya saya sudah tiba sekitar pukul 14.30.
Jarak dari domisili saya ke rumah duka—menurut peta Google, lewat rute yang biasa saya lalui—155 kilometer. Dalam hitungan Google, waktu tempuhnya 4 jam 8 menit. Saya biasa menempuhnya dalam 5—6 jam. Kalau otot-otot saya lagi protes, bisa sampai 7 jam. Kalau WinAir lagi kerasukan, bisa hanya 3 jam.
Ya, 3 jam itu waktu tempuh tersingkat yang pernah saya capai ketika mudik dari kampung perantauan ke kampung kelahiran. Dus, mustahil sepeda motor 97 cc berumur 22 tahun itu bisa saya pacu dengan kecepatan rata-rata lebih dari 100 km/jam. Eits, masih mungkin. Dengan kekuatan supranatural.
Ya, hanya kekuatan supranatural yang bisa memperjalankan saya dari ujung tenggara Kota Semarang ke ujung selatan Kabupaten Wonogiri dalam waktu kurang dari 2 jam. Prasangka berlebihan itulah yang menyusup ke benak Sagino. Barangkali juga tebersit di ratusan kepala pelayat yang menyaksikan kedatangan saya.
“Wong saya tadi dari Klaten, kok,” jawab saya.
“Oalah ...,” sahut Sagino sambil terkekeh.
Jumat (02/05/2025) pagi saya berangkat dari Semarang. Sampai di Klaten pukul 10 lebih. Saya dapati beberapa potong pakaian teronggok di kursi. Saya tanyakan kepada si empunya—kakak ipar, kakaknya istri saya: pakaian bersih atau kotor. Dijawab: kotor. Saya pungut. Ada dua potong lagi: kaus dan celana pendek. Tersampir di kabel yang terbentang dari tiang ke dinding. Saya ambil sekalian. Saya rendam di air sabun. Lalu menimba air untuk mengisi tiga ember. Gobyos. Istirahat.
“Alhamdulillah, tekan Tangkisan,” kabar saya kepada istri. Lewat pesan WhatsApp.
“Alhamdulillah. Lo, mampir Tangkisan segala, Mas?” balas istri saya, 11 menit kemudian.
Istri saya layak untuk kaget. Dalam rencana—istri saya juga yang mengatur—tidak ada agenda mampir di Klaten. Namun, di tengah perjalanan ada dorongan kuat untuk mampir. Sekadar memastikan keadaan Kakak baik-baik saja.
Istri cepat-cepat mengingatkan bahwa bungkusan yang dititipkan tadi untuk Simbok. Saya mengerti. Saya bilang, setelah salat Jumat segera meluncur ke Pra(n)ci(s)mantoro.
Ketika ditelepon oleh “Obeng” Wanto, pukul 13.01 itu, saya sudah bersiap meninggalkan Klaten. Jaket sudah melekat di tubuh. Tinggal helm yang belum menempatkan diri di posisi mahkota. Kepada adik sebuyut dari jalur Bapak itu saya berjanji untuk segera berangkat.
Saya bangkit dari duduk untuk mengambil helm, yang tercantol di tiang. Pandangan saya menyapu seantero ruangan—rumah limasan tanpa sekat-sekat kamar. Duh, ada dua lembar sarung di dipan Kakak. Tangan saya gatal, hendak mengeksekusinya hingga menyusul deretan baju dan celana yang sudah terbentang di tali jemuran. Namun, kaki saya sudah tak sabar untuk secepatnya memancal selah WinAir. Sebagaimana ukurannya yang lebih besar, nafsu kaki untuk menstarter motor mengalahkan niat tangan untuk mencuci sarung.
Tidak terpantau berapa kecepatan laju WinAir yang membawa tubuh saya. Eh, nyawa saya ikut juga, dhing. Jarum spidometernya tidak pernah beranjak dari angka 50. Ketika motor berhenti pun, jarum itu tidak pernah bergeser ke angka 0.
Sampai di Cawas saya berhenti. Ada hajat yang tidak bisa ditunda. Sebelum kembali naik ke sadel, saya sempatkan menengok ponsel. Ada pesan tertulis dari keponakan. Mengabarkan kepergian ayahnya. Kentara sekali gugupnya. Hanya tiga kata. Terpisah menjadi tiga kali pengiriman. Pertama, “Pak”. Kedua, “Bp”. Terakhir, “Sedo”. Semuanya tanpa tanda baca.
Saya balas, “Tulung, aku ditunggu.” Saya kabarkan kalau saya sudah sampai di Cawas. Saya sertakan tautan live location. Agar terpantau pergerakan saya.
Sampai di depan rumah duka, saya tidak mengerem WinAir. Justru saya pacu lebih kencang lajunya. Saya tidak rela bertemu banyak orang dalam kondisi lusuh. Aroma peluh saya bisa membuat mereka pingsan. Saya lewatkan orang-orang yang berdiri di tepi jalan—mengatur lalu lintas—tanpa tegur sapa.
Saya njujug rumah Simbok. Rumah suwung sejak Simbok bersedia tinggal bersama Mbakyu—sahib musibah hari itu—sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu. Setelah mandi dan ganti baju, baru saya menuju ke rumah duka.
Jelaslah bahwa saya bisa sampai di rumah duka dalam waktu kurang dari 2 jam setelah kakak ipar—suami Mbakyu—mengembuskan napas terakhir itu bukan lantaran karamah kewalian. Untung, 3 jam setelah pertemuan di rumah duka itu, Sagino segera bertemu saya lagi. Kalau tidak, gelar wali itu tentu akan berumur lebih panjang. Setidaknya, di dalam prasangka Sagino.
Meski batal bergelar wali, sore itu saya sempat merasakan aura kewalian. Kehadiran saya menjelang asar itu disambut jabat tangan ratusan orang. Coba, seandainya saya setia pada rencana semula: tidak mampir di Klaten. Pasti terbalik: saya yang menyambut kedatangan para pelayat itu.
Meski hanya seperdelapan hari menjadi tersangka wali, saya tetap berharap agar doa-doa saya untuk almarhum Kang Tusiran diijabahkan oleh Allah, Sang Maha Pengampun, Maha Penyayang, Maha Penyelamat, dan Maha Pembebas.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar