“Bata.”
“Semen.”
“Pasir.”
“Besi.”
“Apa lagi?”
“Batu.”
“Apa lagi?”
“Kapur.”
“Apa lagi?”
Semua diam. Mencoba berpikir. Mengingat-ingat. Atau membayangkan. Dan ... berakhir buntu. Zonk.
Nama-nama material bangunan itu disebut bersahutan untuk menjawab pertanyaan: apa saja unsur-unsur pembentuk tembok.
Sebelumnya, kepada mereka—pasukan anak-anak muda—saya tanyakan, “Apa yang paling Anda kagumi dari semua elemen yang ada di ruangan ini?” Jawaban mereka beragam. Eternit. Jendela. Pintu. Gorden. Lantai (ubin). Lampu. Kursi. Meja. Kaligrafi. Pilar. Masing-masing disertai alasan.
Dalam sekian kali pertemuan—berganti-ganti pasukan—jawaban yang muncul selalu itu-itu saja. Baru dalam pertemuan terakhir, Sabtu, 17 Mei 2025, ada seorang kadet menyodorkan pilihan berbeda: fondasi. Alasannya pun mantap: fondasi menopang seluruh unsur bangunan beserta semua isi ruangan.
“Fondasi. Di mana dia berada?” kejar saya. “Terlihatkah?”
Kebetulan kami berada di lantai tiga. Tentu, fondasi gedung tidak tampak dari ruang yang kami tempati. Bahkan, seandainya berkumpul di lantai satu—di luar gedung sekalipun—dijamin kami tidak akan bisa melihat fondasi bangunannya. Sisi samping luarnya sudah tertutup tiga lapisan: plester, aci, dan cat. Sisi atasnya sudah tertumpuk pilar-pilar dan tembok.
Begitulah nasib fondasi gedung. Hadir paling dulu. Beban tugasnya paling berat: menyangga semua elemen bangunan selainnya. Tanggung jawabnya tidak main-main. Sekokoh apa pun pilar, dinding, dan atap gedung, tidak ada artinya kalau fondasinya lembek. Namun, begitu bangunan jadi, tidak ada penghuni maupun pengunjung yang melirik keberadaannya. Bahkan peranannya pun terlupakan.
Beruntung, hari itu saya mendapati salah seorang kadet yang jeli mengapresiasi fondasi. Tak luput, jawaban itu saya manfaatkan sebagai bahan wejangan untuk 13 calon kombatan. “Bersiaplah untuk mengalami nasib seperti fondasi. Jika sewaktu-waktu organisasi Anda menerima penghargaan, yang dipanggil naik ke panggung hanya pimpinan. Seberapa besar pun kontribusi Anda dalam peraihan prestasi organisasi itu, tidak bakal ada media yang memajang foto Anda bersanding dengan trofi, medali, piagam, atau plakat penghargaan itu.”
Para kadet tersenyum tipis. Saya tidak berani menafsirkan arti senyuman mereka.
Seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, saya menanyakan unsur-unsur material yang terlibat di dalam pembentukan fondasi. Lagi-lagi, kejelian pasukan terakhir itu teruji: melebihi para pendahulunya. Semen, pasir, batu, kapur, besi tetap disebut. Saya kejar “Apa lagi?” Eh, ada yang menyahut, “Air.” Saya ulangi, “Apa?” Wow, hampir semua menjawab serentak, “Air!”
Akhirnya tertebak juga teka-teki saya setelah sekian purnama luput dari perhatian para taruna dalam sekian angkatan. Saya makin bernafsu untuk menghujani mereka dengan serangkaian pertanyaan. Apa jadinya seandainya adonan pasir, semen, dan batu split itu tidak diberi air? Lalu, di mana air itu sekarang? Apa yang terjadi seandainya air tidak mau pergi dari lepa?
Cerdas! Ke-13 kandidat menjawab semua pertanyaan secara akurat. Lantang. Bersemangat.
“Siapkah Anda menjadi ‘air’ selama mengabdi di ‘bangunan’ organisasi Anda kelak?”
Saya lupa jawaban mereka. Yang tersisa tinggal perasaan harap-harap cemas menanti jawaban mereka dalam wujud aksi nyata. Mulai dua hari setelah ketemu saya itu.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar