2 Okt 2024

Meningkahi Celoteh Alumni

Belakang (ki-ka): Surya, Faiz, Gw
Depan (ki-ka): Zidan, Dzaky

Anak-anak datang lagi. Berempat. Jumlahnya berkurang satu dibanding 3 tahun 7 bulan sebelumnya. Namun, ada satu personel baru pada kunjungan kali ini. Faiz—Muhammad Faiz Azhari, lengkapnya—kala itu tidak ikut. Faiq dan Ferdy, yang dahulu ikut, kini tidak bergabung. Setibanya di "pedepokan", Dzaky sempat menelepon Ferdy dan mengundangnya untuk menyusul. Ferdy, tetangga saya selisih dua gang, menyatakan siap. Namun, niat itu akhirnya urung. Ada kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.

Sehari sebelumnya, Jumat (27/09/2024) Surya berkabar, "Besok di rumah, Pak? Kalau ada waktu, saya dan teman-teman akan main."

"Malam, ada," balas saya. "Siapa saja yang bergabung?"

"Zidan, Dzaky, Faiz."

Saya gagal menghadirkan bayangan Faiz yang disebut itu. Surya mengirimkan foto Faiz. Disertai nama 2/3 lengkap dan kelasnya ketika masih menjadi murid saya dahulu. Begitu tahu nama belakangnya, saya ingat. Maklum, hampir di setiap angkatan ada nama Faiz. Tidak jarang pula ada lebih dari satu Faiz di satu angkatan.

Pada sambangan terdahulu, mereka baru lulus. Sarjana muda. Umur kesarjanaannya, yang muda. Kecuali Dzaky, yang masih berkutat dengan skripsinya. Surya sudah bekerja, tetapi sekadar membunuh waktu, katanya. Zidan masih berburu peluang. Ferdy sudah berlabuh di kantor bapaknya. Ijazahnya cocok untuk membantu bapaknya di kantor akuntan publik (KAP).

Sekarang semua sudah bekerja. Dzaky mengajar di sebuah sekolah tahfiz Al-Qur'an. Pas dengan ijazah sarjananya: pendidikan agama Islam, UNISSULA, Semarang. Zidan bekerja di PT Telkom. Masih ada "hubungan kekerabatan" dengan pendidikannya: teknik elektro, Universitas Brawijaya, Malang. Faiz menjadi analis data di perusahaan ekspedisi JNE, berbekal ijazah sarjana teknik komputer dari Universitas Telkom, Bandung. Saya sempat menanyakan linieritas antara pekerjaan dan ijazahnya. Surya—sarjana hubungan internasional dari Universitas Pertamina, Jakarta—bergabung di perusahaan konsultan teknologi informasi.

Meski lulus terakhir, Dzaky berani menyalip teman-temannya. Ia sudah menjadi bapak untuk dua orang anak. Istrinya, tetangga saya beda blok. Untungnya, saya tidak mendapat kabar tentang pernikahannya. Ha-ha. Surya berencana menikah Desember tahun ini. Zidan dan Faiz masih mencari bekal, kata mereka. Duh, jangan-jangan mereka belum punya hati? Bukankah gêgarané wong akrami ... amung ati pawitané? Atau, justru hati mereka ganda, jadi terlalu hati-hati? Ah, ....

Entah dari mana awalnya, akhirnya obrolan kami sampai di tema seksi: pendidikan. Ya, bagi saya, pendidikan itu tema seksi. Terlalu banyak lorong gelap. Di dalam lorong gelap itu semak-semak saling memilin membentuk gulungan-gulungan ruwet. Saya tidak menyangka, anak-anak Gen Z doyan mengunyah isu-isu yang membuat kening berkerut.

Surya mengenang pengalaman pahitnya 11 tahun silam. Ia korban keruwetan sistem zonasi. Ketika lulus SMP, ia terlempar ke SMA yang cukup jauh dari rumahnya. Faiz punya cerita lain. Ia harus puas masuk SMA yang bukan pilihan utama. Rumahnya lebih dekat ke sekolah pilihan utama. Tapi, sistem zonasi mengukur jaraknya dari sekolah sebelumnya: pondok pesantren di luar kota.

Zidan dan Dzaky tidak mengantongi pengalaman lucu seperti itu. Dahulu mereka kerasan di sekolah "luar negeri". Tapi, malam itu mereka ikut geli menertawakan dua kawannya yang menjadi korban sistem zonasi setengah hati.

Entah juga siapa yang memulai, topik obrolan beralih ke kenangan detik-detik akhir yang mereka jalani di sekolah yang sama. Ada yang menanyakan rahasia di balik lompatan luar biasa yang dialami Surya. Saya ceritakan sebagian dari rekaman ini. Saya tambahkan juga cerita yang saya cut dari rekaman itu.

"Surya salah di soal nomor 9. Begini, soalnya: Sebuah truk mengangkut beras sekian ton dari toko A. Sampai di toko B, beras diturunkan sekian kilogram. Di toko C, sekian kuintal beras dinaikkan ke truk. Berapa kuintal beras muatan truk sekarang?" urai saya. "Tidak biasanya Surya salah mengerjakan soal seperti itu. Tapi, hari itu dia salah."

Lalu saya ceritakan interaksi saya dengan Surya, pagi sebelum Surya meninggalkan suatu tempat menuju ruang ujian.

"Jadi, kegagalan Surya menyelesaikan soal nomor 9 itu akibat dari kesalahan gurunya," sambung saya. "Tapi, saya bersyukur. Kesalahan saya yang berdampak pada kesalahan Surya di satu nomor itu justru menyelamatkan saya."

Saya syarahkan kesimpulan saya itu. Anak-anak terbelalak. Agar Pembaca tidak ikut-ikutan terbelalak, tidak usah saya tulis syarah itu.

Kisah itu akhirnya memantik minat mereka untuk mengulik topik paling sensitif di dalam tema seksi: guru. Adrenalin saya terpacu. Saya ladeni pertanyaan-pertanyaan dan komentar-komentar yang mereka lontarkan. Hingga akhirnya, ... saya terjebak. Rahasia ini terkuak. Mereka kembali terbelalak. Agar tidak menyusul terbelalak, Pembaca tidak usah tergoda untuk membuka rahasia itu.

Ups, jarum terpendek jam yang menempel di dinding "pedepokan" kami sudah hampir menyentuh angka 1. Anak-anak berpamitan. Terima kasih, Anak-Anak. Kalian sudi merawat irama ombak di kepala saya. Selama ombak masih beriak, pertanda isi kepala belum menjadi es—beku

Faiz dan Zidan, jangan lama-lama menyusul Dzaky. Menyalip Surya juga boleh. Masih ada dua tikungan purnama sebelum Surya resmi mengambil alih hak perwalian mojang Bogor Desember nanti.


Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer