18 Nov 2012

Jakarta: (Masih) 1 Enaknya!

Kalau Pembaca mengerti matematika, niscaya tidak salah membaca judul tulisan ini.

Untuk membunuh kesepian, menjelang magrib (16/11) aku mengirim SMS kepada keponakan. Lepas isya datang panggilan dari nomornya. Jebul, yang menelepon suaminya. Ia menawari aku untuk singgah ke rumahnya, di Bekasi. Mulanya aku sungkan. Maklum, aku mesti menanti kedatangan rombongan teman-teman dari Solo, yang baru sampai Indramayu. Namun, ia terus merayu. Kebetulan ada bumbu yang membuat rayuannya makin sedap: ayah mertuanya (kakak iparku) juga ada di Bekasi. Kena, deh! Aku pun jadi bernafsu untuk mengiyakan permintaannya.

Sekitar pukul 8 malam menantu keponakanku tiba di Ragunan. Kupelototi sepeda motornya. "Helme siji thok, Mas?" tanyaku.

"Boten napa-napa, Pak, mpun biasa," jawabnya.

Sudah biasa? Apa maksudnya? Bukankah baru satu kali kepalaku kopyor akibat terjangan sepeda motor orang mabuk? Itu pun terjadi ketika kepalaku berlapiskan helm full face, lho! Lha, kok, dibilang sudah biasa? Dasar, keponakan kurang 'raja' (maaf, ini bukan tulisan Arab; jangan dibaca dari kanan ke kiri! lho, malah seperti disuruh?!)!

Demi membuat keponakan lega, alias menghindari gela, aku nyengklak di belakang tukang ojek, eh, menantu keponakanku. Motor distarter. Knalpot menggeru. Masuk gigi satu. Gas dipicu. Roda berputar maju. Dari gigi satu pindah two lalu telu. Kendaraan terus melaju. Berpacu dengan waktu. Yang mengemudi menantu keponakanku. Yang membonceng aku. (Kalau membacanya sambil ngguyu, beteke ben dialem ayu. Pembaca yang berjalu dilarang ikut-ikutan kemayu! Nesu? Wagu! Idu? Saru! Eh, kuwalik; iki sasi sura, dudu saru.)

"Ibukota, lihatlah, orang sakti lewat menjelajah jalananmu!" batinku sesumbar. Aku jadi rajin menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memamerkan kesaktianku: membonceng motor tak berhelm. Tentu, di balik itu aku was-was. Jangan-jangan ada polisi patroli mengenali bahwa putih-putih di kepalaku ini bukan helm, melainkan tunggak uban yang tersisa hanya sekitar 0,2 inci. 

Lho?! Ada pesaing! Satu, dua, tiga, ... empat belas pengendara sepeda motor berboncengan. Penumpangnya mirip aku: tak berhelm. Eee, ... aku baru mengerti maksud "mpun biasa" yang dikatakan keponakanku. Di Ibukota, naik sepeda motor tanpa helm di kepala, melaju kencang di jalan raya, ... itu sudah menjadi hal biasa. Keponakanku masih layak untuk dimaklumi: menjemput aku langsung dari tempat kerja, tidak sedia helm. Lha, perempuan-perempuan muda dan cantik yang berseliweran di kanan-kiriku malah cuma menenteng helmnya dengan tangan-tangan halus mereka. Weladalah! Pantas saja, sering kujumpai poster di spanduk dan baliho bertuliskan "Pakai helm tidak mengurangi kecantikan Anda!"

Tiba di perempatan. Lampu merah menyala terang. Sangat jelas. Tidak samar. Segala jenis kendaraan masih terus merangsek maju. Berhenti hanya kalau kalah cepat dari kendaraan yang meluncur dari samping. Kemacetan semakin parah. Tak ada yang sudi mengalah. Semua takut terlambat sampai di rumah. Begitulah, seolah-olah. Padahal, yang sesungguhnya hanyalah beradu gagah. Owalah! Payah!

Lalu lintas makin padat saja. Antrean panjang menyesaki seluruh ruas jalan. Tak mau dianggap kalahan, roda depan dipaksa memanjat dinding pembatas lintasan. Jalur busway disalahmanfaatkan. Jadi ajang balapan amatiran. Padahal, di atas jalur itu terpampang rambu dengan huruf-huruf besar (atau, huruf besar-besar? yang banyak hurufnya atau besarnya?): "JALUR KHUSUS BUSWAY". Ya, barangkali karena penduduk Ibukota didominasi orang Jawa blasteran Londo Inggris, "busway" dibaca "whose wae". Artinya, jalur khusus itu milik siapa saja.

Ya, melancong dua hari di Ibukota, akhirnya aku sampai di satu kesimpulan: Jakarta (masih) 1 enaknya. Dalam matematika, 1/4 lazim dibaca seperempat, 1 liter boleh dibaca seliter. Orang Jawa biasa mengeja 1 wengi sebagai sawengi, 1 latar = salatar. Jadi, judul di atas boleh (baca: mesti) dibaca "Jakarta Masih Seenaknya" alias "Jakarta Isih Sakepenake Udele Dhewek."

Pantas saja, Solo dan Belitong merasa perlu untuk mengekspor pemimpin mereka ke sana!

2 komentar:

  1. wah pak teguh ne ke jakarta ga kabar2 dng saya...
    padahal deket kl pak teguh di daerah ragunan....

    ups....btw pak teguh masih ingat dng saya tidak ya?
    saya slamet temen maen karambol pak teguh sebelum pulang kerja...di LPI Hidayatullah semarang....

    BalasHapus

Populer