Tak ada seorang anak manusia pun yang bisa memilih dari rahim siapa, di mana, dan dalam keadaan bagaimana ia dilahirkan. Begitu pula aku. Bahwa orang tuaku berlimpah harta, itu anugerah-Nya yang tak mungkin kuingkari. Bahkan, aku hanya pantas bersyukur atas anugerah itu. Bahwa aku lahir dan tumbuh dengan jasmani yang normal dan bugar, itu semata bukti kemahamurahan-Nya. Bahkan, aku pantas berbangga dengan pertumbuhanku yang lebih cepat daripada anak-anak sebayaku.
Sayangnya, di balik aneka kelebihan itu, aku juga dianugerahi--yang menurut sebagian orang--kekurangan. Aku tidak tahan berlama-lama memusatkan perhatianku pada satu aktivitas atau satu objek. Berfokus pada satu hal selama 10 menit itu sudah cukup menyiksa bagiku, walau orang-orang di sekitarku menganggapnya terlalu singkat. Sepuluh menit mematri konsentrasi itu sungguh membelenggu nafsuku untuk berulah ini-itu. Sungguh aku merasa tersiksa dengan belenggu yang dipasang oleh orang-orang "normal" yang tak merestui ulahku itu.
Tangan, kaki, dan mulutku memang tak betah diam. Dan selama ini aku tak pernah merasa berdosa atas hobi sibukku itu. Teman-temanku juga seperti tidak terusik olehku. Bahkan, kadang mereka malah tertawa riang menyaksikan keusilanku. Bisa jadi, kehadiranku justru menjadi hiburan bagi mereka. Seandainya semua penghuni ruang kelasku adalah anak-anak khusyuk seperti teman yang suka duduk di bangku depanku, barangkali justru kelasku menjelma sebagai taman makam, yang tangisan saja hanya boleh disimpan di dalam hati.
Namun, anehnya, ada satu penghuni kelasku yang tampak amat tersiksa oleh kehadiranku: guruku. Sebentar-sebentar beliau membentakku sambil melotot. Kalau gagal menjawab pertanyaan beliau, sontak aku menerima berondongan omelan panjang tak bertitik-koma tentang "kesalahanku". Anehnya, giliran temanku si khusyuk yang salah menjawab, yang meluncur dari mulut guruku adalah rangkaian kata-kata yang merupakan kunci jawaban yang telah beliau rumuskan sebelumnya.
Sikap guruku makin sarkastis ketika mendapati jawabanku di dalam sejumlah tes hanya meneguhkan derajatku sebagai anak bodoh. Hari demi hari menyuguhkan wajah kekecewaan beliau terhadapku. Mungkin beliau menyesal karena mendapat takdir yang salah: menjadi guruku. Ya, kehadiranku telah menggagalkan obsesi beliau untuk mendapat pujian sebagai bintang guru, yang semua siswanya tuntas belajar. Kehadiranku telah mencederai rekam jejak prestasi beliau sebagai guru. Kehadiranku telah mengusik kenyamanan beliau dalam menjalani profesi guru yang selama ini tak pernah membuat dahi berkernyit. Kini beliau berubah menjadi sosok yang lebih sering murung, gelisah, susah tidur, cemas, jengkel, judek, dan judes! Itu semua gara-gara aku!
Hebatnya pula, pengalaman suram bersamaku kini menjadi isu abadi dalam perbincangan sehari-hari beliau dengan teman-teman sejawat beliau. Setiap kesempatan bercakap dengan warga sekolah yang lain tak pernah dibiarkan lewat tanpa menyebut namaku. Ya, tanpa bujet promosi, serta merta aku menjadi selebriti di sekolahku. Ke mana pun aku bergerak, berpuluh-puluh pasang mata menatapku dengan pengakuan sepenuh keyakinan: anak bermasalah lewat!
***
Suatu sore, sambil jalan-jalan di seputar kompleks, aku mengadu kepada ibuku. "Ma, kalau aku nggak mau sekolah lagi, boleh enggak?" tanyaku tiba-tiba. "Kasihan Bu Guru, Ma. Setiap hari beliau tersiksa gara-gara aku. Akibat dari perasaan tersiksa itu, beliau jadi suka marah-marah. Teman-temanku sering jadi sasaran pelampiasan kejengkelan beliau. Temanku yang kesohor alim dan pintar pun tak luput jadi korban. Kasihan mereka juga, Ma. Lebih baik aku nggak usah sekolah saja," rajukku.
Ibuku mendadak berhenti lalu duduk selonjor di trotoar. Aku mengikutinya. Ditatapnya tajam wajahku. "Nak, ... seandainya Mama tidak punya harapan agar kamu berubah, Mama tak akan pernah mengirimmu ke sekolah. Atau, seandainya Mama bisa melakukan sendiri segala upaya untuk membuatmu berubah, Mama pun tak akan pernah berminat untuk menyekolahkan kamu. Atau, seandainya di dunia ini tidak ada orang yang mengaku berjuluk guru, Mama juga tidak akan pernah mempercayakan panggulawenthah kamu kepada orang lain. Atau ...," ibuku menghela napas agak panjang, "seandainya Mama paham bahwa bersekolah itu hanya hak anak-anak baik dan pintar, pasti Mama pasti tak akan pernah sudi untuk bermimpi menyekolahkan kamu."
"Maksud Mama apa?" tanyaku bengong.
"Besok kamu masuk sekolah, dan tanyakan kepada Bu Guru, 'Maaf, Bu, apakah anak sebengal aku ini punya hak untuk bersekolah?' gitu."
"Kalau Bu Guru marah?"
"Kamu pamit untuk bertemu Kepala Sekolah. Kalau sudah bertemu Kepala Sekolah, tanyakan, "Maaf, Pak, masih adakah orang di sekolah ini yang mau jadi guruku?' gitu."
"Kalau Pak Kepala Sekolah ikut marah?"
"Mama antar kamu menemui Pak Menteri. Tanyakan, 'Maaf, Pak Menteri, apakah di negeri ini masih ada sekolah?' gitu."
"Lha ... kalau Pak Menteri juga marah?"
"Ambil wudu, pakai sarung, koko, dan kopiah, hadap kiblat, tundukkan wajah, tanyakan kepada Tuhan, 'Maaf, Tuhan, Engkau telah putuskan untuk memungkasi jabatan kenabian. Setelah sekian abad tidak Kauangkat nabi lagi, masih sanggupkah Engkau lahirkan ke dunia ini pewaris nilai, jiwa, dan semangat pendidik yang dulu Engkau tanam, tumbuhkan, dan suburkan di dalam pribadi-pribadi agung nan luhur itu?"
"Kalau Tuhan pun marah?"
"Maka ... Tuhan akan hancurkan seisi dunia ini. Tak peduli siswa bodoh dan bengal, guru anti-tantangan, kepala sekolah alergi terhadap pertanyaan nakal, atau menteri tak melek permasalahan! Semua dihancurkan!"
"Duh, kiamat, dong, Ma?!"
"Ya, biarlah Tuhan tunjukkan kemahaadilan-Nya. Biar kiamat tak hanya menimpa dirimu seorang."
Iya, ya, kenapa Sang Khaliq ciptakan makhluk semacam aku juga?
Semoga Allah limpahkan kesabaran, ketulusan, dan hidayah kepada warosatul anbiya'
BalasHapusamin x 3
Hapus