6 Apr 2013

Kurikulum 2013: Kritik Pedas bagi Guru

Peran mana yang lebih tepat untuk disandang oleh guru: sutradara atau aktor? Jika pertanyaan ini diajukan kepada guru, tentu jawabannya akan bergantung pada sikap mental si guru. Bagi guru yang bermental kreatif dan inovatif, peran sebagai sutradara tentu menjadi pilihan mantap. Sebaliknya, peran sebagai aktor merupakan pilihan nyaman bagi guru yang daya kreasi dan inovasinya rendah.

Dua peran yang berbeda secara ekstrem itulah yang menjadi pembeda mencolok antara peran guru dalam kurikulum 2013 dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kurikulum 2006 memberikan otoritas luas kepada guru untuk mengembangkan kurikulum dengan mengakomodasi potensi lokal (daerah dan sekolah). Sedangkan kurikulum 2013 yang akan segera diberlakukan, seluruh otoritas itu diambil alih oleh Pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Mencermati perombakan besar ini, layak kiranya masyarakat bertanya: ada apa gerangan? Beragam spekulasi pun muncul dalam meraba-raba jawaban atas pertanyaan tersebut. Ada yang menduga, KTSP berpotensi menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Sebagian yang lain menduga bahwa KTSP berpotensi untuk menciptakan disparitas mutu pendidikan antardaerah semakin tajam. Sementara, sebagian yang lain lagi mencoba mengevaluasi realitas unjuk kerja guru dalam pengembangan KTSP.

Spekulasi pertama tampak sebagai kekhawatiran yang berlebihan. Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi tidak sedikit pun memberikan ruang bagi satuan pendidikan (baca: guru) untuk mengembangkan “kurikulum gerakan separatisme”. Bahwa potensi daerah mendapatkan ruang apresiasi cukup tinggi dalam pengembangan kurikulum adalah benar. Namun, prinsip pengembangan KTSP juga menegaskan bahwa pengembangan kurikulum sejalan dengan motto Bhinneka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dugaan kedua juga tampak sebagai vonis prematur. Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi memberikan batasan yang cukup jelas, kompetensi apa yang mesti dicapai oleh peserta didik. Standar Proses dan Standar Penilaian memandu secara rinci bagaimana guru mesti melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran dalam rangka mencapai kompetensi yang ditetapkan. Standar Pengelolaan memuat pedoman detail bagaimana penyelenggara pendidikan mesti mengelola satuan pendidikan dalam rangka memenuhi standar nasional.

Apabila seperangkat dokumen yang termaktub di dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) itu diikuti secara konsisten dan konsekuen, dua kekhawatiran di atas tidak perlu terjadi. Lalu muncul kecurigaan: apakah selama ini SNP dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pendidikan secara makro dan pengembangan kurikulum secara mikro? Tanda tanya inilah yang melandasi analisis ketiga: satuan pendidikan (sekali lagi, baca: guru) tidak optimal dalam menjalankan perannya sebagai pengembang kurikulum.

Idealnya, KTSP benar-benar menggambarkan “lakon” pendidikan yang dipentaskan oleh sekolah dan guru-gurunya. Ibarat pementasan drama, dengan KTSP didambakan tiap-tiap sekolah menampilkan panggungnya masing-masing dengan skenario yang khas namun alur ceritanya sama secara nasional.

Kenyataannya, tidak sedikit—untuk tidak menyebut sebagian besar—sekolah yang dokumen KTSP-nya seragam, hanya berbeda nama sekolahnya. Mulai dari visi, misi, dan tujuan sekolah hingga kalender pendidikan serupa. Di unit terkecil, silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dimiliki guru antarsekolah juga sama, hanya identitas sekolah dan gurunya yang berbeda. Fakta yang lebih ironis, banyak isi dan proses pembelajaran di kelas yang hanya mengikuti skenario buku teks pegangan siswa, halaman demi halaman.

Indikasi kemandulan peran guru dan sekolah itulah yang, tampaknya, menjadi alasan kuat bagi Pemerintah untuk menarik kembali otoritas yang pernah diserahkan kepada satuan pendidikan.

Pertanyaan ikutannya adalah: efektifkah langkah drastis ini menjadi “obat” bagi mutu pendidikan nasional yang dirundung “sakit”? Dalam jangka pendek, obat instan tersebut bisa menjadi penawar. Kurikulum yang built-in dari Pusat, setidaknya, diharapkan mampu meluruskan isi, proses, dan penilaian pembelajaran. Dengan silabus dan buku kerja siswa serta buku panduan untuk guru yang rencananya didikte dari Pusat, mestinya karut marut praktik pembelajaran segera terbenahi.

Namun, dalam jangka panjang, langkah ini bisa merongrong wibawa profesi guru. Betapa tidak? Salah satu indikator guru profesional adalah cakap menyutradarai pembelajaran. Jika hanya sanggup menjadi aktor, yang segala tindakannya tinggal mengikuti arahan sutradara, berarti guru tidak memerlukan pendidikan khusus, apalagi dengan sebutan pendidikan profesi.

Jika dugaan terakhir ini benar—Pemerintah frustrasi terhadap kegagalan guru dalam memainkan peran sebagai agen pengembangan kurikulum—berarti status pendidikan kita sedang gawat darurat. Di belahan bumi mana pun, guru menjadi ujung tombak mutu pendidikan. Sesempurna apa pun kurikulum dalam tataran konseptual, toh hasilnya sangat ditentukan oleh implementasinya di ruang-ruang kelas sekolah.

Ironis, memang, bahwa di tengah ingar-bingar sertifikasi guru, justru otoritas yang memberikan ruang aktualisasi profesionalisme guru dikebiri. Tetapi, yang lebih memrihatinkan, pemegang otoritas itu sudah mandul sebelum dikebiri. Lalu dengan cara apa lagi upaya peningkatan kompetensi guru mesti dilakukan? Sebuah bahan renungan bagi semua pemangku kepentingan pendidikan, utamanya pemilik kewenangan dalam pengadaan, pengangkatan, dan pembinaan pahlawan tanpa tanda jasa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer